PMK Nomor 9/PMK.03/2018 Tanggal 23 Januari 2018 Tentang Perubahan Atas PMK Nomor 243/PMK.03/2014 Tentang Surat Pemberitahuan (SPT)
PMK
Nomor 9/PMK.03/2018 Tanggal 23 Januari 2018 Tentang Perubahan Atas PMK Nomor 243/PMK.03/2014 Tentang Surat Pemberitahuan (SPT) terdiri dari :
a. Pasal I terdiri dari :
1. Pasal 1
4. Pasal 8
5. Pasal 9A
6. Pasal 10
7. Pasal 11
8. Pasal 16 A
9. Pasal 20
10. Pasal 21 A
11. Pasal 21 B
12. Pasal 21 C
13. Pasal 21 D
14. Pasal 21 E
15. Pasal 23
16. Pasal 23 A
17. Pasal 23 B
18. Pasal 26 A
- PMK Nomor 9/PMK.03/2018 telah diubah dengan PMK-18/PMK.03/2021 Tanggal 17 Februari 2021 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Serta Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan dalam Pasal 104
1. Pasal 1
2. Pasal 3
3. Pasal 3A
4. Pasal 8
5. Pasal 9A
6. Pasal 10
7. Pasal 11
8. Pasal 16 A
9. Pasal 20
10. Pasal 21 A
11. Pasal 21 B
12. Pasal 21 C
13. Pasal 21 D
14. Pasal 21 E
15. Pasal 23
16. Pasal 23 A
17. Pasal 23 B
18. Pasal 26 A
b. Pasal II
c. Lampiran
Menimbang :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 243/PMK.03/2014 TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN (SPT)
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
(1) Penyampaian SPT oleh Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, dapat dilakukan:
a. secara langsung;
b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
c. dengan cara lain.
(2) Cara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan melalui:
a. perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
b. saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan perkembangan teknologi informasi.
(2a) Saluran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. laman Direktorat Jenderal Pajak;
b. laman penyalur SPT elektronik;
c. saluran suara digital yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk Wajib Pajak tertentu;
d. jaringan komunikasi data yang terhubung khusus antara Direktorat Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak; dan
e. saluran lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3) Atas penyampaian SPT melalui saluran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diberikan bukti penerimaan elektronik.
(4) Dihapus.
(5) Dihapus.
(6) Wajib Pajak badan yang diwajibkan untuk menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1), wajib menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 melalui saluran tertentu.
(7) Pengusaha Kena Pajak yang diwajibkan untuk menyampaikan SPT Masa PPN dalam bentuk dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), wajib menyampaikan SPT Masa PPN melalui saluran tertentu.
(8) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan Wajib Pajak tertentu selain Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) untuk menyampaikan SPT melalui saluran tertentu.
(9) Direktorat Jenderal Pajak tidak memberikan bukti penerimaan SPT terhadap Wajib Pajak yang diwajibkan untuk menyampaikan SPT melalui saluran tertentu, namun Wajib Pajak bersangkutan menyampaikan SPT selain melalui saluran tertentu.
(10) Terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dianggap tidak menyampaikan SPT.
(1) Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh untuk Bagian Tahun Pajak, wajib menyampaikan SPT tersebut paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Bagian Tahun Pajak.
(2) Wajib Pajak badan yang memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh untuk Bagian Tahun Pajak, wajib menyampaikan SPT tersebut paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Bagian Tahun Pajak.
(1) Wajib Pajak orang pribadi atau badan, baik yang melakukan pembayaran pajak sendiri maupun yang ditunjuk sebagai pemotong atau pemungut PPh, wajib melaporkan:
a. PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong;
b. PPh Pasal 4 ayat (2) yang dibayar sendiri;
c. PPh Pasal 15 yang dipotong;
d. PPh Pasal 15 yang dibayar sendiri;
e. PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang di potong;
f. PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong; dan/atau
g. PPh Pasal 25 dibayar,
dengan menyampaikan SPT Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(2) Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e tidak berlaku dalam hal jumlah PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong pada Masa Pajak yang bersangkutan nihil, kecuali nihil tersebut dikarenakan adanya Surat Keterangan Domisili (Certificate Of Domicile).
(2a) Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong pada Masa Pajak Desember nihil, kewajiban untuk melaporkan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e tetap berlaku.
(3) Wajib Pajak yang melakukan pembayaran PPh Pasal 25 dan telah mendapat validasi dengan nomor transaksi penerimaan negara dianggap telah menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 sesuai dengan tanggal validasi.
(4) Wajib Pajak dengan angsuran PPh Pasal 25 nihil dikecualikan dari kewajiban pelaporan SPT Masa PPh Pasal 25.
(5) Wajib Pajak badan tertentu sebagai pemungut pajak wajib melaporkan PPh Pasal 22 yang dipungut dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 22 paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(6) Bendahara wajib melaporkan PPh Pasal 22 yang dipungut dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 22 paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(7) Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak, PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, dan PPN kegiatan membangun sendiri dengan menggunakan SPT Masa PPN, paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(8) Pemungut PPN wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah dipungut, ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemungut PPN terdaftar paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(8a) Pemungut PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dikecualikan dari kewajiban pelaporan SPT Masa PPN, dalam hal pada suatu Masa Pajak tidak terdapat transaksi yang wajib dipungut PPN dan/atau PPnBM.
(9) Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu SPT Masa, wajib menyampaikan SPT Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah berakhirnya Masa Pajak terakhir.
(2) Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(2a) Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pembayaran PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri dan telah mendapat validasi dengan nomor transaksi penerimaan negara dianggap telah melaporkan PPN yang terutang tersebut sesuai dengan tanggal validasi.
(3) Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang telah disetor, paling lama akhir bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
(4) Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pembayaran PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan telah mendapat validasi dengan nomor transaksi penerimaan negara dianggap telah melaporkan PPN yang terutang tersebut sesuai dengan tanggal validasi.
8. Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 16A sehingga berbunyi sebagai berikut:
1) Wajib Pajak yang menyampaikan pemberitahuan perpanjangan penyampaian SPT Tahunan wajib menyampaikan SPT Tahunan dalam batas waktu perpanjangan sebagaimana tertera dalam pemberitahuan tersebut.
(2) Dalam hal SPT Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan nilai PPh kurang bayar yang lebih kecil dari nilai pajak yang telah disetor dalam Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), atas kelebihan pembayaran tersebut dapat:
a. diajukan permohonan pemindahbukuan; atau
b. diminta kembali melalui permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
a. surat pemberitahuan Pemeriksaan; atau
b. surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka,
kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
(2) Pernyataan tertulis dalam pembetulan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam SPT yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan membetulkan SPT.
(3) Dalam hal pembetulan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan SPT harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam SPT Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, Wajib Pajak dapat membetulkan SPT Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
(5) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(6) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
a. SPT ditandatangani oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang KUP;
b. SPT disampaikan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang selain Rupiah, terhadap Wajib Pajak yang telah mendapatkan izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan dengan mata uang selain Rupiah;
c. SPT sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) Undang-Undang KUP;
d. SPT Lebih Bayar disampaikan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun setelah berakhirnya Masa Pajak, Tahun Pajak, atau Bagian Tahun Pajak dan telah ditegur secara tertulis; dan
e. SPT disampaikan sebelum Direktur Jenderal Pajak melakukan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka, atau menerbitkan surat ketetapan pajak.
(1) Berdasarkan Penelitian SPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 A, atas penyampaian SPT secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a ke Kantor Pelayanan Pajak atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal SPT telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 A, diberikan bukti penerimaan; atau
b. dalam hal SPT tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 A, SPT dikembalikan kepada Wajib Pajak.
(2) Surat permintaan kelengkapan SPT tidak dapat diterbitkan terhadap SPT Wajib Pajak yang telah diberikan bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(1) Berdasarkan penelitian SPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 A, atas penyampaian SPT melalui pos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dan melalui cara lain berupa jasa ekspedisi atau jasa kurir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), huruf a, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal SPT telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 A, tanda bukti dan tanggal pengiriman surat dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penyampaian SPT;
b. dalam hal SPT tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 A huruf a, huruf b, huruf d, dan huruf e, Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat pemberitahuan SPT dianggap tidak disampaikan; atau
c. dalam hal SPT tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 A huruf c, Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat permintaan kelengkapan SPT.
(2) Wajib Pajak harus menyampaikan kelengkapan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ke Kantor Pelayanan Pajak dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung setelah surat permintaan kelengkapan SPT disampaikan.
(3) Penyampaian kelengkapan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan:
a. secara langsung;
b. melalui pas dengan bukti pengiriman surat;
c. perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
d. cara lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(4) Atas penyampaian kelengkapan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf d diberikan bukti penerimaan.
(5) Bukti pengiriman surat untuk penyampaian kelengkapan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan huruf c dianggap sebagai bukti penerimaan kelengkapan SPT.
(6) Tanggal penyampaian kelengkapan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau tanggal pengiriman kelengkapan SPT yang tercantum dalam bukti pengiriman surat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dianggap sebagai tanggal penerimaan SPT.
(7) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan kelengkapan SPT dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kantor Pelayanan Pajak menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak yang menyatakan bahwa SPT dianggap tidak disampaikan.
(1) Berdasarkan penelitian SPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 A, atas penyampaian SPT melalui saluran tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal SPT telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 A, bukti penerimaan elektronik yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak merupakan bukti penerimaan SPT;
b. dalam hal SPT tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 A huruf a, huruf b, huruf d, dan huruf e, Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat pemberitahuan SPT dianggap tidak disampaikan; atau
c. dalam hal SPT tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 A huruf c, Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat permintaan kelengkapan SPT.
(2) Wajib Pajak harus menyampaikan kelengkapan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ke Kantor Pelayanan Pajak dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung setelah surat permintaan kelengkapan SPT disampaikan.
(3) Penyampaian kelengkapan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan:
a. secara langsung;
b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat;
c. perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
d. cara lain yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak.
(4) Atas penyampaian kelengkapan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf d diberikan bukti penerimaan.
(5) Bukti pengiriman surat untuk penyampaian kelengkapan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan huruf c dianggap sebagai bukti penerimaan kelengkapan SPT.
(6) Tanggal penyampaian kelengkapan SPT yang tercantum dalam bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau tanggal pengiriman kelengkapan SPT yang tercantum dalam bukti pengiriman surat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dianggap sebagai tanggal penerimaan SPT.
(7) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan kelengkapan SPT dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kantor Pelayanan Pajak menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak yang menyatakan bahwa SPT dianggap tidak disampaikan.
Dokumen berupa:
a. Surat pemberitahuan SPT dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 C ayat (1) huruf b dan ayat (7), dan Pasal 21D ayat (1) huruf b dan ayat (7); dan
b. surat permintaan kelengkapan SPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21C ayat (1) huruf c, dan Pasal 21D ayat (1) huruf c,
dibuat dengan menggunakan format sesuai dengan contoh tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
11. Pasal 22 dihapus.
12. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Terhadap SPT yang telah diberikan bukti penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 B dan bukti pengiriman surat yang dianggap sebagai tanda bukti penyampaian SPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 C, dilakukan perekaman SPT ke dalam basis data perpajakan.
13. Di antara Pasal 23 dan Pasal 24 disisipkan 2 (dua) pasal yakni Pasal 23A dan Pasal 23B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Dalam hal SPT yang disampaikan oleh Wajib Pajak merupakan SPT dengan status lebih bayar dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, jangka waktu penyelesaian permohonan pengembalian dihitung sejak tanggal SPT diterima lengkap.
Dalam hal penyampaian SPT tidak dapat dilakukan melalui sistem informasi administrasi Direktorat Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Pajak menetapkan prosedur tertentu dalam rangka penyampaian SPT dimaksud.
14. Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 26A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Kewajiban penyampaian SPT melalui saluran tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6) dan ayat (7), berlaku untuk SPT yang disampaikan sejak bulan April 2018.
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
- PMK Nomor 9/PMK.03/2018 Tanggal 23 Januari 2018 merupakan perubahan dari Atas PMK Nomor 243/PMK.03/2014 Tentang Surat Pemberitahuan (SPT).
PMK Nomor 9/PMK.03/2018 Tanggal 23 Januari 2018 Tentang Perubahan Atas PMK Nomor 243/PMK.03/2014 Tentang Surat Pemberitahuan (SPT) selengkapnya sebagai berikut :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9/PMK.03/2018
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 243/PMK.03/2014 TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN (SPT)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
a. bahwa ketentuan mengenai Surat Pemberitahuan (SPT) telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT);
b. bahwa untuk menyederhanakan administrasi pengelolaan Surat Pemberitahuan (SPT) untuk mendukung kemudahan dalam berusaha (ease of doing business) dan memberikan kepastian hukum dalam penerimaan Surat Pemberitahuan (SPT), perlu melakukan perubahan ketentuan mengenai Surat Pemberitahuan (SPT) sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (la), ayat (1b), ayat (2), ayat (3c), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (8), Pasal 4 ayat (5), Pasal 6 ayat (2), dan Pasal 7 ayat (2) huruf h Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang, serta Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 6 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT);
Mengingat :
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1974);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 243/PMK.03/2014 TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN (SPT)
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1974), diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan angka 12 Pasal 1 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
2. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
4. Pajak Penghasilan yang selanjutnya disingkat PPh adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh.
5. Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disingkat PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
6. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disingkat PPnBM adalah Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
7. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
8. Surat Pemberitahuan yang selanjutnya disingkat SPT adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
9. SPT Tahunan adalah SPT untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
10. SPT Masa adalah SPT untuk suatu Masa Pajak.
11. Perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum yang memberikan jasa pengiriman surat jenis tertentu termasuk pengiriman SPT ke Direktorat Jenderal Pajak.
12. Penelitian dalam Penerimaan SPT yang selanjutnya disebut Penelitian SPT adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian SPT dan lampiran-lampirannya.
2. Ketentuan ayat ( 1 ) Pasal 3 diubah, dan ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat (3), sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
4. Pajak Penghasilan yang selanjutnya disingkat PPh adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh.
5. Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disingkat PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
6. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disingkat PPnBM adalah Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
7. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
8. Surat Pemberitahuan yang selanjutnya disingkat SPT adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
9. SPT Tahunan adalah SPT untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
10. SPT Masa adalah SPT untuk suatu Masa Pajak.
11. Perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum yang memberikan jasa pengiriman surat jenis tertentu termasuk pengiriman SPT ke Direktorat Jenderal Pajak.
12. Penelitian dalam Penerimaan SPT yang selanjutnya disebut Penelitian SPT adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian SPT dan lampiran-lampirannya.
2. Ketentuan ayat ( 1 ) Pasal 3 diubah, dan ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat (3), sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) SPT meliputi:
a. SPT Masa, yang terdiri atas:
1. SPT Masa PPh;
2. SPT Masa PPN; dan
3. SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN;
dan
b. SPT Tahunan PPh, yang terdiri atas:
1. SPT Tahunan PPh untuk satu Tahun Pajak; dan
2. SPT Tahunan PPh untuk Bagian Tahun Pajak.
(2) SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk:
a. dokumen elektronik; atau
b. formulir kertas (hardcopy).
(3) Penyebutan Bagian Tahun Pajak dalam SPT Tahunan PPh untuk Bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2 , berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. menggunakan tahun kalender, dalam hal Bagian Tahun Pajak meliputi 1 (satu) tahun kalender;
b. menggunakan tahun kalender yang di dalamnya memuat jumlah bulan yang lebih banyak, dalam hal Bagian Tahun Pajak meliputi 2 (dua) tahun kalender yang berbeda; atau
c. menggunakan tahun kalender pertama, dalam hal Bagian Tahun Pajak meliputi 2 (dua) tahun kalender dengan jumlah bulan yang sama pada masing-masing tahun kalender.
a. SPT Masa, yang terdiri atas:
1. SPT Masa PPh;
2. SPT Masa PPN; dan
3. SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN;
dan
b. SPT Tahunan PPh, yang terdiri atas:
1. SPT Tahunan PPh untuk satu Tahun Pajak; dan
2. SPT Tahunan PPh untuk Bagian Tahun Pajak.
(2) SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk:
a. dokumen elektronik; atau
b. formulir kertas (hardcopy).
(3) Penyebutan Bagian Tahun Pajak dalam SPT Tahunan PPh untuk Bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2 , berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. menggunakan tahun kalender, dalam hal Bagian Tahun Pajak meliputi 1 (satu) tahun kalender;
b. menggunakan tahun kalender yang di dalamnya memuat jumlah bulan yang lebih banyak, dalam hal Bagian Tahun Pajak meliputi 2 (dua) tahun kalender yang berbeda; atau
c. menggunakan tahun kalender pertama, dalam hal Bagian Tahun Pajak meliputi 2 (dua) tahun kalender dengan jumlah bulan yang sama pada masing-masing tahun kalender.
3. Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 3A, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3A
(1) SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik wajib digunakan oleh pemotong pajak, sepanjang pemotong pajak dimaksud memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 terhadap pegawai tetap dan penerima pensiun atau tunjangan hari tua/jaminan hari tua berkala dan/atau terhadap aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia, pejabat negara dan pensiunannya yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) orang dalam 1 (satu) Masa Pajak;
b. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 26 selain pemotongan PPh sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan bukti pemotongan yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) Masa Pajak;
c. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Final) dengan bukti pemotongan yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) Masa Pajak; dan/atau
d. melakukan penyetoran pajak dengan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) Masa Pajak.
(2) SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik wajib digunakan oleh pemotong pajak, sepanjang pemotong pajak dimaksud memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. menerbitkan lebih dari 20 (dua puluh) bukti pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dalam 1 (satu) Masa Pajak; dan/atau
b. jumlah penghasilan bruto yang menjadi dasar pengenaan PPh lebih dari Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dalam satu bukti pemotongan.
(3) SPT Masa PPN wajib disampaikan setiap Pengusaha Kena Pajak dalam bentuk dokumen elektronik.
(4) SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN wajib disampaikan oleh setiap pemungut PPN selain bendahara Pemerintah, dalam bentuk dokumen elektronik.
(5) Kewajiban penyampaian SPT Masa PPN bagi pemungut PPN oleh bendahara Pemerintah dalam bentuk dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
(6) Selain SPT Masa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5), SPT Masa dalam bentuk dokumen elektronik wajib disampaikan oleh Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Wajib Pajak terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Madya, Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, dan Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar; dan/atau
b. Wajib Pajak dimaksud pernah menyampaikan SPT Masa dalam bentuk dokumen elektronik.
(7) Wajib Pajak wajib menggunakan SPT Tahunan dalam bentuk dokumen elektronik, sepanjang Wajib Pajak dimaksud memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. diwajibkan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. diwajibkan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
c. diwajibkan menyampaikan SPT Masa PPN dalam bentuk dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5);
d. Wajib Pajak dimaksud pernah menyampaikan SPT Tahunan dalam bentuk dokumen elektronik;
e. terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Madya, Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, dan Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar;
f. menggunakan jasa konsultan pajak dalam pemenuhan kewajiban pengisian SPT Tahunan PPh; dan/atau
g. laporan keuangannya diaudit oleh akuntan publik.
(8) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan Wajib Pajak tertentu selain Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) untuk menyampaikan SPT dalam bentuk dokumen elektronik.
(9) Dalam hal terdapat penyesuaian kriteria Wajib Pajak yang wajib menyampaikan SPT dalam bentuk dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (6), dan ayat (7), penyesuaian dimaksud dilakukan dengan penerbitan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
(10) Direktorat Jenderal Pajak tidak memberikan bukti penerimaan SPT terhadap Wajib Pajak yang diwajibkan untuk menyampaikan SPT dalam bentuk dokumen elektronik, namun Wajib Pajak bersangkutan tetap menyampaikan SPT dalam bentuk formulir kertas (hardcopy).
(11) Terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dianggap tidak menyampaikan SPT.
(12) Terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi kriteria untuk menyampaikan SPT dalam bentuk dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7), dapat menyampaikan SPT dalam bentuk formulir kertas (hardcopy) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b.
a. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 terhadap pegawai tetap dan penerima pensiun atau tunjangan hari tua/jaminan hari tua berkala dan/atau terhadap aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia, pejabat negara dan pensiunannya yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) orang dalam 1 (satu) Masa Pajak;
b. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 26 selain pemotongan PPh sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan bukti pemotongan yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) Masa Pajak;
c. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Final) dengan bukti pemotongan yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) Masa Pajak; dan/atau
d. melakukan penyetoran pajak dengan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) Masa Pajak.
(2) SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik wajib digunakan oleh pemotong pajak, sepanjang pemotong pajak dimaksud memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. menerbitkan lebih dari 20 (dua puluh) bukti pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dalam 1 (satu) Masa Pajak; dan/atau
b. jumlah penghasilan bruto yang menjadi dasar pengenaan PPh lebih dari Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dalam satu bukti pemotongan.
(3) SPT Masa PPN wajib disampaikan setiap Pengusaha Kena Pajak dalam bentuk dokumen elektronik.
(4) SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN wajib disampaikan oleh setiap pemungut PPN selain bendahara Pemerintah, dalam bentuk dokumen elektronik.
(5) Kewajiban penyampaian SPT Masa PPN bagi pemungut PPN oleh bendahara Pemerintah dalam bentuk dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
(6) Selain SPT Masa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5), SPT Masa dalam bentuk dokumen elektronik wajib disampaikan oleh Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Wajib Pajak terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Madya, Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, dan Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar; dan/atau
b. Wajib Pajak dimaksud pernah menyampaikan SPT Masa dalam bentuk dokumen elektronik.
(7) Wajib Pajak wajib menggunakan SPT Tahunan dalam bentuk dokumen elektronik, sepanjang Wajib Pajak dimaksud memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. diwajibkan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. diwajibkan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
c. diwajibkan menyampaikan SPT Masa PPN dalam bentuk dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5);
d. Wajib Pajak dimaksud pernah menyampaikan SPT Tahunan dalam bentuk dokumen elektronik;
e. terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Madya, Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, dan Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar;
f. menggunakan jasa konsultan pajak dalam pemenuhan kewajiban pengisian SPT Tahunan PPh; dan/atau
g. laporan keuangannya diaudit oleh akuntan publik.
(8) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan Wajib Pajak tertentu selain Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) untuk menyampaikan SPT dalam bentuk dokumen elektronik.
(9) Dalam hal terdapat penyesuaian kriteria Wajib Pajak yang wajib menyampaikan SPT dalam bentuk dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (6), dan ayat (7), penyesuaian dimaksud dilakukan dengan penerbitan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
(10) Direktorat Jenderal Pajak tidak memberikan bukti penerimaan SPT terhadap Wajib Pajak yang diwajibkan untuk menyampaikan SPT dalam bentuk dokumen elektronik, namun Wajib Pajak bersangkutan tetap menyampaikan SPT dalam bentuk formulir kertas (hardcopy).
(11) Terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dianggap tidak menyampaikan SPT.
(12) Terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi kriteria untuk menyampaikan SPT dalam bentuk dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7), dapat menyampaikan SPT dalam bentuk formulir kertas (hardcopy) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b.
4. Ketentuan ayat (3) Pasal 8 diubah, ayat (4) dan ayat (5) dihapus, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (2a) , serta menambahkan 5 (lima) ayat yakni ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat (9), dan ayat (10), sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
a. secara langsung;
b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
c. dengan cara lain.
(2) Cara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan melalui:
a. perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
b. saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan perkembangan teknologi informasi.
(2a) Saluran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. laman Direktorat Jenderal Pajak;
b. laman penyalur SPT elektronik;
c. saluran suara digital yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk Wajib Pajak tertentu;
d. jaringan komunikasi data yang terhubung khusus antara Direktorat Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak; dan
e. saluran lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3) Atas penyampaian SPT melalui saluran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diberikan bukti penerimaan elektronik.
(4) Dihapus.
(5) Dihapus.
(6) Wajib Pajak badan yang diwajibkan untuk menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1), wajib menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 melalui saluran tertentu.
(7) Pengusaha Kena Pajak yang diwajibkan untuk menyampaikan SPT Masa PPN dalam bentuk dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), wajib menyampaikan SPT Masa PPN melalui saluran tertentu.
(8) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan Wajib Pajak tertentu selain Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) untuk menyampaikan SPT melalui saluran tertentu.
(9) Direktorat Jenderal Pajak tidak memberikan bukti penerimaan SPT terhadap Wajib Pajak yang diwajibkan untuk menyampaikan SPT melalui saluran tertentu, namun Wajib Pajak bersangkutan menyampaikan SPT selain melalui saluran tertentu.
(10) Terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dianggap tidak menyampaikan SPT.
5. Di antara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 9A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9 A
(2) Wajib Pajak badan yang memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh untuk Bagian Tahun Pajak, wajib menyampaikan SPT tersebut paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Bagian Tahun Pajak.
6. Ketentuan ayat (2), ayat (4) dan ayat (6) Pasal 10 diubah, di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan ayat (2a), dan di antara ayat (8) dan ayat (9) disisipkan ayat (8a), sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
a. PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong;
b. PPh Pasal 4 ayat (2) yang dibayar sendiri;
c. PPh Pasal 15 yang dipotong;
d. PPh Pasal 15 yang dibayar sendiri;
e. PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang di potong;
f. PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong; dan/atau
g. PPh Pasal 25 dibayar,
dengan menyampaikan SPT Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(2) Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e tidak berlaku dalam hal jumlah PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong pada Masa Pajak yang bersangkutan nihil, kecuali nihil tersebut dikarenakan adanya Surat Keterangan Domisili (Certificate Of Domicile).
(2a) Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong pada Masa Pajak Desember nihil, kewajiban untuk melaporkan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e tetap berlaku.
(3) Wajib Pajak yang melakukan pembayaran PPh Pasal 25 dan telah mendapat validasi dengan nomor transaksi penerimaan negara dianggap telah menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 sesuai dengan tanggal validasi.
(4) Wajib Pajak dengan angsuran PPh Pasal 25 nihil dikecualikan dari kewajiban pelaporan SPT Masa PPh Pasal 25.
(5) Wajib Pajak badan tertentu sebagai pemungut pajak wajib melaporkan PPh Pasal 22 yang dipungut dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 22 paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(6) Bendahara wajib melaporkan PPh Pasal 22 yang dipungut dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 22 paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(7) Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak, PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, dan PPN kegiatan membangun sendiri dengan menggunakan SPT Masa PPN, paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(8) Pemungut PPN wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah dipungut, ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemungut PPN terdaftar paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(8a) Pemungut PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dikecualikan dari kewajiban pelaporan SPT Masa PPN, dalam hal pada suatu Masa Pajak tidak terdapat transaksi yang wajib dipungut PPN dan/atau PPnBM.
(9) Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu SPT Masa, wajib menyampaikan SPT Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah berakhirnya Masa Pajak terakhir.
7. Ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 11 diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (2a), serta ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat (4), sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Pemungut Pajak PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor wajib melaporkan hasil pemungutannya secara mingguan paling lama pada hari kerja terakhir minggu berikutnya.
(2) Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(2a) Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pembayaran PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri dan telah mendapat validasi dengan nomor transaksi penerimaan negara dianggap telah melaporkan PPN yang terutang tersebut sesuai dengan tanggal validasi.
(3) Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang telah disetor, paling lama akhir bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
(4) Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pembayaran PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan telah mendapat validasi dengan nomor transaksi penerimaan negara dianggap telah melaporkan PPN yang terutang tersebut sesuai dengan tanggal validasi.
Pasal 16 A
(2) Dalam hal SPT Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan nilai PPh kurang bayar yang lebih kecil dari nilai pajak yang telah disetor dalam Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), atas kelebihan pembayaran tersebut dapat:
a. diajukan permohonan pemindahbukuan; atau
b. diminta kembali melalui permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
9. Ketentuan ayat (1) Pasal 20 diubah sehingga Pasal 20 berbunyi sebagai berikut:
(1) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPT yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menyampaikan:
Pasal 20
(1) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPT yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menyampaikan:
a. surat pemberitahuan Pemeriksaan; atau
b. surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka,
kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
(2) Pernyataan tertulis dalam pembetulan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam SPT yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan membetulkan SPT.
(3) Dalam hal pembetulan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan SPT harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam SPT Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, Wajib Pajak dapat membetulkan SPT Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
(5) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(6) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
10. Di antara Pasal 21 dan Pasal 22 disisipkan 5 (lima) Pasal yakni Pasal 21 A, Pasal 21 B, Pasal 21 C, Pasal 21 D, dan Pasal 21 E sehingga berbunyi sebagai berikut:
Atas penyampaian SPT, Kantor Pelayanan Pajak melakukan Penelitian SPT sebagai berikut:
Pasal 21 A
Atas penyampaian SPT, Kantor Pelayanan Pajak melakukan Penelitian SPT sebagai berikut:
a. SPT ditandatangani oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang KUP;
b. SPT disampaikan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang selain Rupiah, terhadap Wajib Pajak yang telah mendapatkan izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan dengan mata uang selain Rupiah;
c. SPT sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) Undang-Undang KUP;
d. SPT Lebih Bayar disampaikan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun setelah berakhirnya Masa Pajak, Tahun Pajak, atau Bagian Tahun Pajak dan telah ditegur secara tertulis; dan
e. SPT disampaikan sebelum Direktur Jenderal Pajak melakukan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka, atau menerbitkan surat ketetapan pajak.
Pasal 21 B
(1) Berdasarkan Penelitian SPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 A, atas penyampaian SPT secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a ke Kantor Pelayanan Pajak atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal SPT telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 A, diberikan bukti penerimaan; atau
b. dalam hal SPT tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 A, SPT dikembalikan kepada Wajib Pajak.
(2) Surat permintaan kelengkapan SPT tidak dapat diterbitkan terhadap SPT Wajib Pajak yang telah diberikan bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
Pasal 21 C
(1) Berdasarkan penelitian SPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 A, atas penyampaian SPT melalui pos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dan melalui cara lain berupa jasa ekspedisi atau jasa kurir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), huruf a, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal SPT telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 A, tanda bukti dan tanggal pengiriman surat dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penyampaian SPT;
b. dalam hal SPT tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 A huruf a, huruf b, huruf d, dan huruf e, Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat pemberitahuan SPT dianggap tidak disampaikan; atau
c. dalam hal SPT tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 A huruf c, Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat permintaan kelengkapan SPT.
(2) Wajib Pajak harus menyampaikan kelengkapan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ke Kantor Pelayanan Pajak dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung setelah surat permintaan kelengkapan SPT disampaikan.
(3) Penyampaian kelengkapan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan:
a. secara langsung;
b. melalui pas dengan bukti pengiriman surat;
c. perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
d. cara lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(4) Atas penyampaian kelengkapan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf d diberikan bukti penerimaan.
(5) Bukti pengiriman surat untuk penyampaian kelengkapan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan huruf c dianggap sebagai bukti penerimaan kelengkapan SPT.
(6) Tanggal penyampaian kelengkapan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau tanggal pengiriman kelengkapan SPT yang tercantum dalam bukti pengiriman surat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dianggap sebagai tanggal penerimaan SPT.
(7) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan kelengkapan SPT dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kantor Pelayanan Pajak menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak yang menyatakan bahwa SPT dianggap tidak disampaikan.
Pasal 21 D
(1) Berdasarkan penelitian SPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 A, atas penyampaian SPT melalui saluran tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal SPT telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 A, bukti penerimaan elektronik yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak merupakan bukti penerimaan SPT;
b. dalam hal SPT tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 A huruf a, huruf b, huruf d, dan huruf e, Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat pemberitahuan SPT dianggap tidak disampaikan; atau
c. dalam hal SPT tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 A huruf c, Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat permintaan kelengkapan SPT.
(2) Wajib Pajak harus menyampaikan kelengkapan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ke Kantor Pelayanan Pajak dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung setelah surat permintaan kelengkapan SPT disampaikan.
(3) Penyampaian kelengkapan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan:
a. secara langsung;
b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat;
c. perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
d. cara lain yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak.
(4) Atas penyampaian kelengkapan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf d diberikan bukti penerimaan.
(5) Bukti pengiriman surat untuk penyampaian kelengkapan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan huruf c dianggap sebagai bukti penerimaan kelengkapan SPT.
(6) Tanggal penyampaian kelengkapan SPT yang tercantum dalam bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau tanggal pengiriman kelengkapan SPT yang tercantum dalam bukti pengiriman surat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dianggap sebagai tanggal penerimaan SPT.
(7) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan kelengkapan SPT dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kantor Pelayanan Pajak menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak yang menyatakan bahwa SPT dianggap tidak disampaikan.
Pasal 21E
Dokumen berupa:
a. Surat pemberitahuan SPT dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 C ayat (1) huruf b dan ayat (7), dan Pasal 21D ayat (1) huruf b dan ayat (7); dan
b. surat permintaan kelengkapan SPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21C ayat (1) huruf c, dan Pasal 21D ayat (1) huruf c,
dibuat dengan menggunakan format sesuai dengan contoh tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
11. Pasal 22 dihapus.
12. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23
Terhadap SPT yang telah diberikan bukti penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 B dan bukti pengiriman surat yang dianggap sebagai tanda bukti penyampaian SPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 C, dilakukan perekaman SPT ke dalam basis data perpajakan.
13. Di antara Pasal 23 dan Pasal 24 disisipkan 2 (dua) pasal yakni Pasal 23A dan Pasal 23B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23A
Dalam hal SPT yang disampaikan oleh Wajib Pajak merupakan SPT dengan status lebih bayar dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, jangka waktu penyelesaian permohonan pengembalian dihitung sejak tanggal SPT diterima lengkap.
Pasal 23B
Dalam hal penyampaian SPT tidak dapat dilakukan melalui sistem informasi administrasi Direktorat Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Pajak menetapkan prosedur tertentu dalam rangka penyampaian SPT dimaksud.
14. Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 26A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26A
Kewajiban penyampaian SPT melalui saluran tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6) dan ayat (7), berlaku untuk SPT yang disampaikan sejak bulan April 2018.
Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Januari 2018
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 Januari 2018
DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 180
Lampiran PMK
Nomor 9/PMK.03/2018 Tanggal 23 Januari 2018 Tentang Perubahan Atas PMK Nomor 243/PMK.03/2014 Tentang Surat Pemberitahuan (SPT)
selengkapnya silahkan KLIK DISINI
Status PMK Nomor 9/PMK.03/2018 Tanggal 23 Januari 2018 Tentang Perubahan
Atas PMK Nomor 243/PMK.03/2014 Tentang Surat Pemberitahuan (SPT) adalah sebagai berikut :
- PMK Nomor 9/PMK.03/2018 Tanggal 23 Januari 2018 mulai berlaku
sejak tanggal 26 Januari 2018.
- PMK Nomor 9/PMK.03/2018 telah diubah dengan PMK-18/PMK.03/2021 Tanggal 17 Februari 2021 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Serta Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan dalam Pasal 104