(1) Tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak.
(3) Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebesar:
a. 12% (dua belas persen) atas harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan ketentuan diinvestasikan pada:
1. kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
2. surat berharga negara;
b. 14% (empat belas persen) atas harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak diiventasikan pada:
1. kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
2. surat berharga negara;
c. 12% (dua belas persen) atas harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan ketentuan:
1. dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
dan
2. diinvestasikan pada:
a) kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
b) surat berharga negara;
d. 14% (empat belas persen) atas harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ketentuan:
1. dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
2. tidak diinvestasikan pada:
a) kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
b) surat berharga negara;
atau
e. 18% (delapan belas persen) atas harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(4) Dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yakni sebesar jumlah harta bersih yang belum atau kurang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2020.
(5) Nilai harta yang dijadikan pedoman untuk menghitung besarnya jumlah harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditentukan berdasarkan:
a. nilai nominal, untuk harta berupa kas atau setara kas; atau
b. harga perolehan, untuk harta selain kas atau setara kas.
Pasal 10
(1) Wajib Pajak orang pribadi mengungkapkan harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) melalui surat pemberitahuan pengungkapan harta dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sejak tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan tanggal 30 Juni 2022.
(2) Wajib Pajak yang menyampaikan surat pemberitahuan pengungkapan harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. membayar Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
c. menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2020; dan
d. mencabut permohonan:
1. pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
2. pengurangan atau penghapusan sanksi administratif;
3. pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
4. pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar;
5. keberatan;
6. pembetulan;
7. banding;
8. gugatan; dan/atau
9. peninjauan kembali,
dalam hal Wajib Pajak sedang mengajukan permohonan tersebut dan belum diterbitkan surat keputusan atau putusan.
(3) Surat pemberitahuan pengungkapan harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
a. bukti pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final;
b. daftar rincian harta bersih beserta informasi kepemilikan harta yang dilaporkan;
c. daftar utang;
d. pernyataan mengalihkan harta bersih ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam hal Wajib Pajak bermaksud mengalihkan harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c dan huruf d;
e. pernyataan akan menginvestasikan harta bersih pada:
1. kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
2. surat berharga negara,
dalam hal Wajib Pajak bermaksud menginvestasikan harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a dan huruf c; dan
f. pernyataan mencabut permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, dalam hal Wajib Pajak sedang mengajukan permohonan tersebut dan belum diterbitkan surat keputusan atau putusan.
(4) Pembetulan atas Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2016, Tahun Pajak 2017, Tahun Pajak 2018, Tahun Pajak 2019, dan/atau Tahun Pajak 2020 yang disampaikan setelah Undang-Undang ini diundangkan, yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang menyampaikan surat pemberitahuan pengungkapan harta, dianggap tidak disampaikan.
(5) Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2020 sampai dengan Undang-Undang ini diundangkan, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Wajib Pajak orang pribadi wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2020 yang mencerminkan harta yang telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi sebelum Tahun Pajak 2020 yang disampaikan sebelum Undang-Undang ini diundangkan ditambah harta yang bersumber dari penghasilan pada Tahun Pajak 2020; dan
b. harta bersih yang dimiliki selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a, harus diungkapkan dalam surat pemberitahuan pengungkapan harta.
(6) Direktur Jenderal Pajak memberikan surat keterangan terhadap penyampaian surat pemberitahuan pengungkapan harta oleh Wajib Pajak orang pribadi.
(7) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian diketahui terdapat ketidaksesuaian antara harta bersih yang diungkapkan dengan keadaan yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan atau membatalkan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengungkapan harta bersih diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 11
(1) Terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang telah memperoleh surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (6), berlaku ketentuan:
a. tidak diterbitkan ketetapan pajak atas kewajiban perpajakan untuk Tahun Pajak 2016, Tahun Pajak 2017, Tahun Pajak 2018, Tahun Pajak 2019, dan Tahun Pajak 2020, kecuali ditemukan data dan/atau informasi lain mengenai harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pemberitahuan pengungkapan harta;
b. kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam huruf a meliputi Pajak Penghasilan orang pribadi, Pajak Penghasilan atas pemotongan dan/atau pemungutan, dan Pajak Pertambahan Nilai, kecuali atas pajak yang sudah dipotong atau dipungut tetapi tidak disetorkan; dan/atau
c. data dan informasi yang bersumber dari surat pemberitahuan pengungkapan harta dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak.
(2) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi lain mengenai harta yang belum atau kurang diungkapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b:
a. nilai harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan tersebut diperlakukan sebagai penghasilan yang bersifat final pada Tahun Pajak 2022; dan
b. terhadap penghasilan sebagaimana dimaksud dalam huruf a:
1. dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar 30% (tiga puluh persen); dan
2. dikenai sanksi administratif berupa bunga sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya,
melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 12
(1) Wajib Pajak orang pribadi yang menyatakan mengalihkan harta bersih ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf d wajib mengalihkan harta dimaksud paling lambat tanggal 30 September 2022.
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang menyatakan menginvestasikan harta bersih pada:
a. kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
b. surat berharga negara,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf e wajib menginvestasikan harta bersih dimaksud paling lambat tanggal 30 September 2023.
(3) Investasi harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan paling singkat 5 (lima) tahun sejak diinvestasikan.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3) tidak dipenuhi oleh Wajib Pajak yang menyatakan mengalihkan dan/atau menginvestasikan harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a, huruf b, huruf c, atau huruf d, atas bagian harta bersih yang tidak memenuhi ketentuan tersebut diperlakukan sebagai penghasilan yang bersifat final pada Tahun Pajak 2022 dan berlaku ketentuan:
a. terhadap penghasilan dimaksud dikenai tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar:
1. 4,5% (empat koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a;
2. 4,5% (empat koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c angka 2;
3. 8,5% (delapan koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c; atau
4. 6,5% (enam koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf d angka 1,
dalam hal Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; atau
b. terhadap penghasilan dimaksud dikenai tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar:
1. 3% (tiga persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a;
2. 3% (tiga persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c angka 2;
3. 7% (tujuh persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c; atau
4. 5% (lima persen) bagi Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf d angka 1,
dalam hal Wajib Pajak atas kehendak sendiri mengungkapkan penghasilan tersebut dan menyetorkan sendiri Pajak Penghasilan yang terutang.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai:
a. tata cara pengalihan harta bersih ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. investasi harta bersih pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
c. instrumen surat berharga negara yang digunakan untuk investasi,
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
BAB VI
PAJAK KARBON
Pasal 13
(1) Pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.
(2) Pengenaan pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:
a. peta jalan pajak karbon; dan/atau
b. peta jalan pasar karbon.
(3) Peta jalan pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a memuat:
a. strategi penurunan emisi karbon;
b. sasaran sektor prioritas;
c. keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan; dan/atau
d. keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya.
(4) Kebijakan peta jalan pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(5) Subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.
(6) Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu.
(7) Saat terutang pajak karbon ditentukan:
a. pada saat pembelian barang yang mengandung karbon;
b. pada akhir periode tahun kalendar dari aktivitas menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu; atau
c. saat lain yang diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
(8) Tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.
(9) Dalam hal harga karbon di pasar karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (8) lebih rendah dari Rp30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara, tarif pajak karbon ditetapkan sebesar paling rendah Rp30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.
(10) Ketentuan mengenai:
a. penetapan tarif pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
b. perubahan tarif pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (9);dan/atau
c. dasar pengenaan pajak,
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(11) Ketentuan mengenai penambahan objek pajak yang dikenai pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(12) Penerimaan dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim.
(13) Wajib Pajak yang berpartisipasi dalam perdagangan emisi karbon, pengimbangan emisi karbon, dan/atau mekanisme lain sesuai peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup dapat diberikan:
a. pengurangan pajak karbon; dan/atau
b. perlakuan lainnya atas pemenuhan kewajiban pajak karbon.
(14) Ketentuan mengenai:
a. tata cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, dan mekanisme pengenaan pajak karbon; dan
b. tata cara pengurangan pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (13) huruf a dan/atau perlakuan lainnya atas pemenuhan kewajiban pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (13) huruf b,
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(15) Ketentuan mengenai:
a. subjek pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (5);dan/atau
b. alokasi penerimaan dari pajak karbon untuk pengendalian perubahan iklim sebagaimana dimaksud pada ayat (12),
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(16) Pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan terkait pajak karbon dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
BAB VII
CUKAI
Pasal 14
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Cukai dikenakan terhadap Barang Kena Cukai yang terdiri dari:
a. etil alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya;
b. minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapa pun, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya, termasuk konsentrat yang mengandung etil alkohol;dan
c. hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, rokok elektrik, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya.
(2) Penambahan atau pengurangan jenis Barang Kena Cukai diatur dengan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
2. Di antara Pasal 40A dan Pasal 41 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 40B, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40B
Ayat (1)
Undang-Undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis.
Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi :
i. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, dan penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;
ii. penghasilan dari usaha dan kegiatan;
iii. penghasilan dari modal, yang berupa harta bergerak ataupun harta tak bergerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan
iv. penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Karena Undang-Undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak.
Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horizontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenai pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenai tarif umum.
Contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak terbatas pada contoh dimaksud.
Huruf a
Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah objek pajak.
Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang pada hakikatnya merupakan penghasilan.
Selain itu termasuk dalam pengertian penghasilan meliputi gratifikasi yang merupakan pemberian yang wajar karena layanan dan manfaat yang diterima oleh pemberi gratifikasi sehubungan dengan pelaksanaan pekerjaan atau pemberian jasa.
Yang dimaksud dengan "imbalan dalam bentuk natura" adalah imbalan dalam bentuk barang selain uang, sedangkan "imbalan dalam bentuk kenikmatan" adalah imbalan dalam bentuk hak atas pemanfaatan suatu fasilitas dan/atau pelayanan.
Huruf b
Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, serta kegiatan seperti hadiah undian tabungan dan hadiah dari pertandingan olahraga.
Yang dimaksud dengan "penghargaan" adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dan pemegang sahamnya, harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar.
Misalnya, PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Mobil tersebut dijual dengan harga Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Dengan demikian, keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp55.000.000,00 (lima puluh lima juta rupiah), nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Selisih sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT S dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) merupakan penghasilan.
Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan objek pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan.
Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dan nilai bukunya merupakan penghasilan.
Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan merupakan penghasilan bagi pihak yang mengalihkan kecuali harta tersebut dihibahkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat.
Demikian juga, keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa bantuan atau sumbangan dan hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil bukan merupakan penghasilan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Dalam hal Wajib Pajak pemilik hak penambangan mengalihkan sebagian atau seluruh hak tersebut kepada Wajib Pajak lain, keuntungan yang diperoleh merupakan objek pajak.
Huruf e
Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak merupakan objek pajak.
Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.
Huruf f
Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.
Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.
Huruf g
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi.
Termasuk dalam pengertian dividen adalah:
1) pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
4) pembagian laba dalam bentuk saham;
5) pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
6) jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;
7) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
8) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
9) bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
10) bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
11) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Dalam praktik sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran.
Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen.
Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.
Huruf h
Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas:
1. penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
2. penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
3. pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
4. pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa:
a) penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
b) penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
c) penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;
5. penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture filmsl, film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
6. pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
Huruf i
Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta bergerak atau harta tak bergerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.
Huruf j
Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya "alimentasi" atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.
Huruf k
Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya.
Namun, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak.
Huruf l
Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
Huruf m
Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 merupakan penghasilan.
Huruf n
Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan objek pajak serta yang belum dikenakan pajak.
Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan objek pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.
Huruf q
Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Namun, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha berbasis syariah tersebut tetap merupakan objek pajak menurut Undang-Undang ini.
Huruf r
Cukup jelas.
Huruf s
Cukup jelas.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (1b)
Cukup jelas.
Ayat (1c)
Cukup jelas.
Ayat (1d)
Dihapus.
Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan pada ayat (1), penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan objek pajak. Berdasarkan pertimbangan antara lain:
- perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan masyarakat;
- kesederhanaan dalam pemungutan pajak;
- berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak;
- pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan
- memerhatikan perkembangan ekonomi dan moneter,
atas penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya.
Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Obligasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini termasuk surat utang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan, seperti Medium Term Note, Floating Rate Note yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan.
Surat Utang Negara yang dimaksud pada ayat ini meliputi Obligasi Negara dan Surat Perbendaharaan Negara.
Ayat (3)
Huruf a
Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Zakat, infak, dan sedekah yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak serta sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama lainnya yang diakui di Indonesia yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang direrima oleh penerima sumbangan yang berhak diperlakukan sama seperti bantuan atau sumbangan. Yang dimaksud dengan "zakat" adalah zakat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai zakat.
Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi, misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan baku utamanya diproduksi oleh PT B.
Apabila PT B memberikan sumbangan bahan baku kepada PT A, sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A merupakan objek pajak.
Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak apabila diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan, badan pendidikan, atau badan sosial termasuk yayasan atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil termasuk koperasi, sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima oleh badan merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karena harta tersebut diterima sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka berdasarkan ketentuan ini, harta yang diterima tersebut bukan merupakan objek pajak.
Huruf d
Daerah tertentu merupakan daerah yang memenuhi kriteria antara lain daerah terpencil, yaitu daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui darat, laut maupun udara, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi kekuatan ekonomi yang nyata, penanam modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan masa pengembalian yang relatif panjang, termasuk daerah perairan laut yang mempunyai kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral.
Huruf e
Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, bukan merupakan objek pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Pengecualian sebagai objek pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Otoritas Jasa Keuangan. Yang dikecualikan dari objek pajak adalah iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja.
Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya. Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai objek pajak.
Huruf h
Sebagaimana tersebut dalam huruf g, pengecualian sebagai objek pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Otoritas Jasa Keuangan.
Yang dikecualikan dari objek pajak dalam hal ini adalah penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu. Penanaman modal oleh dana pensiun dimaksudkan untuk pengembangan dan merupakan dana untuk pembayaran kembali kepada peserta pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal tersebut perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau yang berisiko tinggi.
Huruf i
Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut dalam ketentuan ini yang merupakan himpunan para anggotanya dikenai pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut.
Oleh karena itu, bagian laba atau sisa hasil usaha yang diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan objek pajak.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Yang dimaksud dengan "perusahaan modal ventura" adalah suatu perusahaan yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu.
Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha tidak termasuk sebagai objek pajak, dengan syarat perusahaan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f, dividen yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura bukan merupakan objek pajak.
Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan ekspor nonmigas, usaha atau kegiatan dari perusahaan pasangan usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan.
Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal, penyertaan modal yang akan dilakukan oleh perusahaan modal ventura diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai akses ke bursa efek.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Bahwa dalam rangka mendukung usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan diperlukan sarana dan prasarana yang memadai. Untuk itu dipandang perlu memberikan fasilitas perpajakan berupa pengecualian pengenaan pajak atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh sepanjang sisa lebih tersebut ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan dimaksud. Penanaman kembali sisa lebih dimaksud harus direalisasikan paling lama dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak sisa lebih tersebut diterima atau diperoleh.
Untuk menjamin tercapainya tujuan pemberian fasilitas ini, maka lembaga atau badan yang menyelenggarakan pendidikan harus bersifat nirlaba. Pendidikan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada siapa saja dan telah mendapat pengesahan dari instansi yang membidanginya.
Huruf n
Bantuan atau santunan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kepada Wajib Pajak tertentu adalah bantuan sosial yang diberikan khusus kepada Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang tidak mampu atau sedang mendapat bencana alam atau tertimpa musibah.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 6
Ayat (1)
Beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga, dan biaya rutin pengolahan limbah, sedangkan pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi.
Di samping itu, apabila dalam suatu tahun pajak didapat kerugian karena penjualan harta atau karena selisih kurs, kerugian tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf a
Biaya yang dimaksud pada ayat ini lazim disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran.
Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak.
Dengan demikian, pergeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Contoh:
Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Otoritas Jasa Keuangan memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari:
a.
|
penghasilan
yang bukan merupakan objek pajak sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf h
|
Rp 100.000.000
|
b.
|
penghasilan
bruto lainnya sebesar
|
Rp 300.000.000 (+)
|
Jumlah
penghasilan bruto
|
Rp 400.000.000
|
Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan adalah sebesar 3/4 x Rp200.000.000,00 = Rp150.000.000,00.
Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham tidak dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang diterimanya tidak merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f. Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat dikapitalisasi sebagai penambah harga perolehan saham.
Pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, misalnya pengeluaran untuk keperluan pribadi pemegang saham, pembayaran bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi peminjam serta pembayaran premi asuransi untuk kepentingan pribadi, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, tetapi bagi pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan.
Pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Dengan demikian, jika pengeluaran yang melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, jumlah yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Selanjutnya lihat ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f dan Pasal 18 beserta penjelasannya.
Pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), Pajak Hotel, dan Pajak Restoran, dapat dibebankan sebagai biaya.
Mengenai pengeluaran untuk promosi perlu dibedakan antara biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi dan biaya yang pada hakikatnya merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf b
Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan harta tak berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi.
Selanjutnya lihat ketentuan Pasal 9 ayat (2), Pasal 1 1, dan Pasal 1 1A beserta penjelasannya.
Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran di muka, misalnya sewa untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus, pembebanannya dapat dilakukan melalui alokasi.
Huruf c
Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Huruf d
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut tujuan semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf e
Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
Huruf f
Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk menemukan teknologi atau sistem baru bagi pengembangan perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Huruf g
Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan beasiswa, magang, dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan dengan memperhatikan kewajaran, termasuk beasiswa yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah beasiswa yang diberikan kepada pelajar, mahasiswa, dan pihak lain.
Huruf h
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial dan telah melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir.
Yang dimaksud dengan penerbitan tidak hanya berarti penerbitan berskala nasional, melainkan juga penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Yang dimaksud dengan “biaya pembangunan infrastruktur sosial” adalah biaya yang dikeluarkan untuk keperluan membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba.
Contoh dari infrastruktur sosial antara lain rumah ibadah, sanggar seni budaya, dan poliklinik.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Ayat (2)
Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan berdasarkan ketentuan pada ayat (1) setelah dikurangkan dari penghasilan bruto didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.
Contoh :
PT A dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah). Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A sebagai berikut:
2010 : laba fiskal Rp200.000.000,00
2011 : rugi fiskal (Rp300.000.000,00)
2012 : laba fiskal Rp N I H I L
2013 : laba fiskal Rp100.000.000,00
2014 : laba fiskal Rp800.000.000,00
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut:
Rugi
fiskal tahun 2009
|
(Rp
1.200.000.000)
|
Laba
fiskal tahun 2010
|
Rp 200.000.000 (+)
|
Sisa
rugi fiskal tahun 2009
|
(Rp
1.000.000.000)
|
Rugi
fiskal tahun 2011
|
(Rp 300.000.000)
|
Sisa
rugi fiskal tahun 2009
|
(Rp
1.000.000.000)
|
Laba
fiskal tahun 2012
|
Rp NIHIL (+)
|
Sisa
rugi fiskal tahun 2009
|
(Rp
1.000.000.000)
|
Laba
fiskal tahun 2013
|
Rp 100.000.000 (+)
|
Sisa
rugi fiskal tahun 2009
|
(Rp 900.000.000)
|
Laba
fiskal tahun 2014
|
Rp 800.000.000 (+)
|
Sisa
rugi fiskal tahun 2009
|
(Rp 100.000.000)
|
Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang masih tersisa pada akhir tahun 2014 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2015, sedangkan rugi fiskal tahun 2011 sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun 2016, karena jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 2012 berakhir pada akhir tahun 2016.
Ayat (3)
Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, kepadanya diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Angka 3
Pasal 7
Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak. Di samping untuk dirinya, kepada Wajib Pajak yang sudah kawin diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Bagi Wajib Pajak yang isterinya menerima atau memperoleh penghasilan yang digabung dengan penghasilannya, Wajib Pajak tersebut mendapat tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang isteri paling sedikit Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah).
Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak kandung, atau anak angkat diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan "anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya" adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.
Contoh:
Wajib Pajak A mempunyai seorang isteri dengan tanggungan 4 (empat) orang anak.
Apabila isterinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja yang sudah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp72.000.000,00 {Rp54.000.000,00 + Rp4.500.000,00 + (3 x Rp4.500.000,00)}, sedangkan untuk isterinya, pada saat pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh pemberi kerja diberikan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah).
Apabila penghasilan isteri harus digabung dengan penghasilan suami, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp126.000.000,00 (Rp72.000.000,00 + Rp54.000.000,00).
Ayat (2)
Penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan menurut keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak.
Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2021 Wajib Pajak B berstatus kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1 Januari 2021, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak B untuk tahun pajak 2021 tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk mengubah besarnya:
a. Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
b. batasan peredaran bruto tidak dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a),
setelah berkonsultasi dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.
Angka 4
Pasal 9
Ayat (1)
Pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya pemakaian penghasilan atau yang jumlahnya melebihi kewajaran.
Huruf a
Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk pembayaran dividen kepada pemilik modal, pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada anggotanya, dan pembayaran dividen oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang membagikannya karena pembagian laba tersebut merupakan bagian dari penghasilan badan tersebut yang akan dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
Huruf b
Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adalah biaya-biaya yang dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat orang pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan tersebut bukan merupakan objek pajak.
Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan objek pajak.
Huruf e
Dihapus.
Huruf f
Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan yang diberikan kepada pegawai yang juga pemegang saham. Karena pada dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha, berdasarkan ketentuan ini jumlah yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Jumlah wajar sebagaimana dimaksud dalam ayat ini merupakan jumlah yang tidak melebihi dari jumlah yang seharusnya dikeluarkan oleh pemberi kerja sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan jika dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa.
Misalnya, seorang tenaga ahli yang merupakan pemegang saham dari suatu badan memberikan jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh imbalan sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya dibayar sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah), jumlah sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi tenaga ahli yang juga sebagai pemegang saham tersebut jumlah sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dimaksud dianggap sebagai dividen.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
Huruf i
Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.
Huruf j
Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai gaji.
Dengan demikian gaji yang diterima oleh anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham, bukan merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto badan tersebut.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai peranan terhadap penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukan sesuai dengan jumlah tahun lamanya pengeluaran tersebut berperan terhadap penghasilan.
Sejalan dengan prinsip penyelarasan antara pengeluaran dengan penghasilan, dalam ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dapat dikurangkan sebagai biaya perusahaan sekaligus pada tahun pengeluaran, melainkan dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi selama masa manfaatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.
Angka 5
Pasal 11
Ayat (1) dan ayat (2)
Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta berwujud melalui penyusutan.
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik, termasuk tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahaan keramik, atau perusahaan batu bata.
Yang dimaksud dengan "pengeluaran untuk memperoleh tanah hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali" adalah biaya perolehan tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai dari pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya, sedangkan biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak tersebut.
Metode penyusutan yang dibolehkan berdasarkan ketentuan ini dilakukan:
a. dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut (metode garis lurus atau straight-line method); atau
b. dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku (metode saldo menurun atau declining balance method).
Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan secara taat asas.
Untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus. Harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldo menurun.
Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus.
Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil (small tools) yang sama atau sejenis dapat disusutkan dalam satu golongan.
Contoh penggunaan metode garis lurus:
Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, penyusutannya setiap tahun adalah sebesar Rp50.000.000,00 (Rp1.000.000.000,00 : 20).
Contoh penggunaan metode saldo menurun:
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2009 dengan harga perolehan sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut:
Tahun
|
Tarif
|
Penyusutan
|
Nilai Sisa Buku
|
Harga Perolehan
|
150.000.000
|
2009
|
50 %
|
75.000.000
|
75.000.000
|
2010
|
50 %
|
37.500.000
|
37.500.000
|
2011
|
50 %
|
18.750.000
|
18.750.000
|
2012
|
Disusutkan Sekaligus
|
18.750.000
|
0
|
Ayat (3)
Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran atau pada bulan selesainya pengerjaan suatu harta sehingga penyusutan pada tahun pertama dihitung secara pro-rata.
Contoh 1:
Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2009 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret 2010.
Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan Maret tahun pajak 2010.
Contoh 2:
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2009 dengan harga perolehan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut:
Tahun
|
Tarif
|
Penyusutan
|
Nilai Sisa Buku
|
Harga Perolehan
|
100.000.000
|
2009
|
6/12 x50 %
|
25.000.000
|
75.000.000
|
2010
|
50 %
|
37.500.000
|
37.500.000
|
2011
|
50 %
|
18.750.000
|
18.750.000
|
2012
|
50 %
|
9.375.000
|
9.375.000
|
2013
|
Disusutkan
Sekaligus
|
9.375.000
|
0
|
Ayat (4)
Berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal pajak, saat mulainya penyusutan dapat dilakukan pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan. Saat mulai menghasilkan dalam ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan.
Contoh:
PT X yang bergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun 2009.
Perkebunan tersebut mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2010.
Dengan persetujuan Direktur Jenderal pajak, penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan mulai tahun 20l0.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib pajak dalam melakukan penyusutan atas pengeluaran harta berwujud, ketentuan ini mengatur kelompok masa manfaat harta dan tarif penyusutan baik menurut metode garis lurus maupun saldo menurun.
Yang dimaksud dengan "bangunan tidak permanen" adalah bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun, misalnya barak atau asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan.
Ayat (6a)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang usaha tertentu, seperti perkebunan tanaman keras, kehutanan, dan peternakan, perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk penyusutan harta berwujud yang digunakan dalam bidang usaha tertentu tersebut.
Ayat (8) dan ayat (9)
Pada dasarnya keuntungan atau kerugian karena pengalihan harta dikenai pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan harta tersebut.
Apabila harta tersebut dijual atau terbakar, maka penerimaan neto dari penjualan harta tersebut, yaitu selisih antara harga penjualan dan biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penjualan tersebut dan atau penggantian asuransinya, dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penjualan atau tahun diterimanya penggantian asuransi, dan nilai sisa buku dari harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Dalam hal penggantian asuransi yang diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti pada masa kemudian, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal pajak agar jumlah sebesar kerugian tersebut dapat dibebankan dalam tahun penggantian asuransi tersebut.
Ayat (10)
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), dalam hal pengalihan harta berwujud yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, nilai sisa bukunya tidak boleh dibebankan sebagai kerugian oleh pihak yang mengalihkan.
Ayat (11)
Dihapus
Ayat (1)
Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun diamortisasi dengan metode:
a. dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun selama masa manfaat; atau
b. dalam bagian-bagian yang menurun setiap tahun dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas nilai sisa buku.
Khusus untuk amortisasi harta tak berwujud yang menggunakan metode saldo menurun, pada akhir masa manfaat nilai sisa buku harta tak berwujud atau hak- hak tersebut diamortisasi sekaligus.
Ayat (1a)
Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran sehingga amortisasi pada tahun pertama dihitung secara pro-rata.
Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang usaha tertentu perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk saat dimulainya amortisasi.
Ayat (2)
Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi atas pengeluaran harta tak berwujud dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi Wajib Pajak dalam melakukan amortisasi.
Wajib Pajak dapat melakukan amortisasi sesuai dengan metode yang dipilihnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan masa manfaat yang sebenarnya dari tiap harta tak berwujud.
Tarif amortisasi yang diterapkan didasarkan pada kelompok masa manfaat sebagaimana yang diatur dalam ketentuan ini.
Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat.
Misalnya harta tak berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun dapat menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8 (delapan) tahun.
Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5 (lima) tahun, maka harta tak berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun.
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase tarif amortisasi yang besarnya setiap tahun sama dengan persentase perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang dapat diproduksi.
Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Ayat (5)
Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi dengan jumlah paling tinggi 20% (dua puluh persen) setahun.
Contoh:
Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, yang mempunyai potensi 10.000.000 (sepuluh juta) ton kayu, sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) diamortisasi sesuai dengan persentase satuan produksi yang direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan.
Jika dalam 1 (satu) tahun pajak ternyata jumlah produksi mencapai 3.000.000 (tiga juta) ton yang berarti 30% (tiga puluh persen) dari potensi yang tersedia, walaupun jumlah produksi pada tahun tersebut mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah potensi yang tersedia, besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun tersebut adalah 20% (dua puluh persen) dari pengeluaran atau Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Ayat (6)
Dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial, adalah biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi komersial, misalnya biaya studi kelayakan dan biaya produksi percobaan tetapi tidak termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya.
Untuk pengeluaran operasional yang rutin ini tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran.
Ayat (7)
Contoh:
PT X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp500.000.000,00.
Taksiran jumlah kandungan minyak di daerah tersebut adalah sebanyak 200.000.000 (dua ratus juta) barel.
Setelah produksi minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000 (seratus juta) barel, PT X menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain dengan harga sebesar Rp300.000.000,00.
Penghitungan penghasilan dan kerugian dari penjualan hak tersebut adalah sebagai berikut:
Harga
perolehan
|
Rp
500.000.000
|
Amortisasi
yang telah dilakukan 100.000.000 / 200.000.000 barel (50%)
|
Rp
250.000.000
|
Nilai
buku harta
|
Rp
250.000.000
|
Harga
jual harta
|
Rp
300.000.000
|
Dengan demikian jumlah nilai sisa buku sebesar Rp 250.000.000,00 dibebankan sebagai kerugian dan jumlah sebesar Rp300.000.000,00 dibukukan sebagai penghasilan
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pajak Penghasilan yang terutang:
5%
x Rp60.000.000 =
|
Rp
3.000.000
|
15%
x Rp190.000.000 =
|
Rp
28.500.000
|
25%
x Rp250.000.000 =
|
Rp 62.500.000
|
30%
x Rp4.500.000.000 =
|
Rp 1.350.000.000
|
35%
x Rp1.000.000.000 =
|
Rp 350.000.000(+)
|
Jumlah =
|
Rp
1.794.000.000
|
Huruf b
Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap:
Penghasilan Kena Pajak PT A pada tahun pajak 2022 sebesar Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak 2022:
22% x Rp1.500.000.000,00 = Rp330.000.000,00.
Ayat (2)
Perubahan tarif akan diberlakukan secara nasional dimulai per 1 Januari, diumumkan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum tarif baru itu berlaku efektif.
Ayat (2a)
Dihapus.
Ayat (2b)
Cukup jelas.
Ayat (2c)
Cukup jelas.
Ayat (2d)
Cukup jelas.
Ayat (2e)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tersebut akan disesuaikan dengan faktor penyesuaian, antara lain tingkat inflasi, yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Ayat (4)
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp5.050.900,00 untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp5.050.000,00.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi setahun (dihitung sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (4)): Rp584.160.000,00 (lima ratus delapan puluh empat juta seratus enam puluh ribu rupiah).
Pajak Penghasilan setahun:
5% x Rp60.000.000 =
|
Rp 3.000.000
|
15% x Rp190.000.000 =
|
Rp 28.500.000
|
25%
x Rp250.000.000 =
|
Rp 62.500.000
|
30%x
Rp84.160.000 =
|
Rp 25.248.000 (+)
|
Jumlah =
|
Rp
119.248.000
|
Pajak Penghasilan yang terutang dalam bagian tahun Pajak (3 bulan)
((3 x 30) : 360) x Rp119.248.000,00= Rp29.812.000,00
Ayat (7)
Ketentuan pada ayat ini memberi wewenang kepada Pemerintah untuk menentukan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final atas jenis penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan, dan pemerataan dalam pengenaan pajak.
Angka 8
Pasal 18
Pemerintah berwenang mencegah praktik penghindaran pajak sebagai upaya yang dilakukan Wajib Pajak untuk mengurangi, menghindari, atau menunda pembayaran pajak yang seharusnya terutang yang bertentangan dengan maksud dan tujuan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Salah satu cara penghindaran pajak adalah dengan melakukan transaksi yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya yang bertentangan dengan prinsip substance over form, yaitu pengakuan substansi ekonomi di atas bentuk formalnya.
Ayat (1)
Dalam menentukan batasan jumlah biaya pinjaman yang dapat dibebankan untuk tujuan perpajakan digunakan metode yang lazim diterapkan di dunia internasional, misalnya melalui metode penentuan tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio), melalui persentase tertentu dari biaya pinjaman dibandingkan dengan pendapatan usaha sebelum dikurangi biaya pinjaman, pajak, depresiasi dan amortisasi (earnings before interest, taxes, depreciation, and amortization) atau melalui metode lainnya.
Ayat (2)
Dengan makin berkembangnya ekonomi dan perdagangan internasional sejalan dengan era globalisasi dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanamkan modalnya di luar negeri.
Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, terhadap penanaman modal di luar negeri selain pada badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, Menteri Keuangan berwenang untuk menentukan saat diperolehnya diviiden.
Contoh:
PT A dan PT B masing-masing memiliki saham sebesar 40% (empat puluh persen) dan 20% (dua puluh persen) pada X Ltd. yang bertempat kedudukan di negara Q.
Saham X Ltd. tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek.
Dalam tahun 2009 X Ltd. memperoleh laba setelah pajak sejumlah Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam hal demikian, Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya.
Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa.
Wajib Pajak melakukan penghindaran pajak dengan cara, antara lain melaporkan penghasilan kurang dari semestinya, melaporkan biaya melebihi dari semestinya, melaporkan laba usaha yang terlalu kecil dibandingkan kinerja keuangan Wajib Pajak lainnya dalam bidang usaha yang sejenis, atau melaporkan rugi usaha secara tidak wajar meskipun Wajib Pajak telah melakukan penjualan secara komersial selama 5 (lima) tahun.
Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
Yang dimaksud dengan "prinsip kewajaran dan kelaziman usaha" adalah prinsip di dalam praktik bisnis yang sehat sebagaimana berlaku di antara pihak-pihak yang tidak memiliki dan/atau dipengaruhi hubungan istimewa.
Dalam menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dapat digunakan:
a. metode perbandingan harga antarpihak yang independen (comparable uncontrolled price method);
b. metode harga penjualan kembali (resale price method);
c. metode biaya-plus (cost-plus method); atau
d. metode lainnya, seperti:
1. metode pembagian laba (profit split method);
2. metode laba bersih transaksional (transactional net margin method);
3. metode perbandingan transaksi independen (comparable uncontrolled transaction method);
5. metode dalam penilaian harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud (tangible asset and intangible asset valuation); dan
6. metode dalam penilaian bisnis (business valuation).
Terhadap Wajib Pajak yang melaporkan laba usaha yang terlalu kecil dibandingkan kinerja keuangan Wajib Pajak lainnya dalam bidang usaha yang sejenis atau melaporkan rugi usaha secara tidak wajar meskipun Wajib Pajak telah melakukan penjualan secara komersial selama 5 (lima) tahun, dapat diterapkan pembandingan kinerja keuangan dengan Wajib Pajak dalam kegiatan usaha yang sejenis (benchmarking) dalam rangka penghitungan pajak yang seharusnya terutang.
Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai utang maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan.
Penentuan tersebut dapat dilakukan, misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antara modal dan utang yang lazim terjadi di antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasarkan data atau indikasi lainnya.
Dengan demikian, bunga yang dibayarkan oleh Wajib Pajak sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena pajak Wajib Pajak.
Sementara itu, bagi pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh pembayaran bunga tersebut dianggap sebagai dividen yang dikenai pajak.
Untuk selisih antara nilai transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa yang tidak sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha dengan nilai transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa yang sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha juga dianggap sebagai diviiden yang dikenai pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Ayat (3a)
Kesepakatan harga transfer (Advance pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya.
Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multi nasional. persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan.
Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama.
APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
Ayat (3b)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penghindaran pajak oleh Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham/penyertaan pada suatu perusahaan Wajib Pajak dalam negeri melalui perusahaan luar negeri yang didirikan khusus untuk tujuan tersebut (special purpose company).
Ayat (3c)
Contoh:
X Ltd. yang didirikan dan berkedudukan di negara A, sebuah negara yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country), memiliki 95% (sembilan puluh lima persen) saham PT X yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia. X Ltd. ini adalah suatu perusahaan antara (conduit company) yang didirikan dan dimiliki sepenuhnya oleh Y Co., sebuah perusahaan di negara B, dengan tujuan sebagai perusahaan antara dalam kepemilikannya atas mayoritas saham PT X.
Apabila Y Co. menjual seluruh kepemilikannya atas saham X Ltd. kepada PT Z yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri, secara legal formal transaksi di atas merupakan pengalihan saham perusahaan luar negeri oleh Wajib Pajak luar negeri.
Namun, pada hakikatnya transaksi ini merupakan pengalihan kepemilikan (saham) perseroan Wajib Pajak dalam negeri oleh Wajib Pajak luar negeri sehingga atas penghasilan dari pengalihan ini terutang Pajak Penghasilan.
Ayat (3d)
Cukup jelas.
Ayat (3e)
Dihapus.
Ayat (4)
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan:
a. kepemilikan atau penyertaan modal; atau
b. adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.
Selain karena hal-hal tersebut, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau perkawinan.
Huruf a
Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung.
Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung.
Selanjutnya, apabila PT B mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT C, PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen).
Dalam hal demikian, antara PT A, PT B, dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa.
Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT D, antara PT B, PT C, dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa.
Hubungan kepemilikan seperti di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan.
Huruf b
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi walaupun tidak terdapat hubungan kepemilikan.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama.
Demikian juga hubungan di antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat” adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan “hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat” adalah saudara.
Yang dimaksud dengan “keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat” adalah mertua dan anak tiri, sedangkan “hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat” adalah ipar.
Ayat (5)
Dihapus.
Angka 9
Pasal 32A
Dalam rangka meningkatkan hubungan ekonomi, khususnya di bidang perpajakan, dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra dan seiring dengan perkembangan lanskap perpajakan internasional yang dinamis, pemerintah Indonesia diberikan kewenangan untuk membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra secara bilateral maupun multilateral melalui perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) untuk penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pencegahan penggerusan basis pemajakan dan pergeseran laba, pertukaran informasi perpajakan, bantuan penagihan pajak, dan kerjasama perpajakan lainnya.
Yang dimaksud dengan “perjanjian dan/atau kesepakatan di bidang perpajakan“ adalah perjanjian dan/atau kesepakatan dalam bentuk dan nama tertentu di bidang perpajakan, yang mengacu pada hukum yang berlaku efektif sebelum, sejak, atau setelah Undang-Undang ini berlaku.
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pajak berganda" adalah pengenaan pajak yang dilakukan oleh dua atau lebih negara atau yurisdiksi atas penghasilan yang sama yang diperoleh / diterima oleh subjek pajak yang sama dan atas penghasilan yang sama yang diperoleh/diterima oleh subjek pajak yang berbeda.
Yang dimaksud dengan "pengelakan pajak" adalah pengelakan, penggelapan atau pengurangan pajak yang dilakukan secara ilegal oleh orang pribadi, badan atau bentuk usaha tetap dengan maksud untuk tidak membayar pajak di negara atau yurisdiksi manapun atau mengurangi pajak terutang.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba" adalah strategi perencanaan pajak yang bertujuan memanfaatkan interaksi ketentuan pajak antarnegara/yurisdiksi yang berbeda, yang salah satu caranya adalah dengan memindahkan laba ke negara atau yurisdiksi yang tidak mengenakan pajak atau mengenakan pajak dengan tarif rendah dan yang tidak ada atau kecil kontribusi kegiatan substansi ekonominya dengan tujuan untuk tidak membayar pajak di negara atau yurisdiksi manapun atau mengurangi pajak yang terutang.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "pertukaran informasi perpajakan" adalah pertukaran informasi yang berkaitan dengan perpajakan antarnegara/yurisdiksi sebagai pelaksanaan perjanjian internasional.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "bantuan penagihan pajak" adalah fasilitas bantuan penagihan pajak yang terdapat di dalam perjanjian yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra secara resiprokal untuk melakukan penagihan atas utang pajak yang diadministrasikan oleh Direktur Jenderal pajak atau otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra.
Huruf e
Cukup jelas.
Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 32C
Cukup jelas.
Pasal 4
Angka 1
Pasal 4A
Ayat (1)
Dihapus
Ayat (2)
Huruf a
Dihapus.
Huruf b
Dihapus.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Dihapus.
Huruf b
Dihapus.
Huruf c
Dihapus.
Huruf d
Dihapus.
Huruf e
Dihapus.
Huruf f
Jasa keagamaan meliputi:
1. jasa pelayanan rumah ibadah;
2. jasa pemberian khotbah atau dakwah;
3. jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan
4. jasa lainnya di bidang keagamaan.
Huruf g
Dihapus.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Dihapus.
Huruf j
Dihapus.
Huruf k
Dihapus.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Dihapus.
Huruf p
Dihapus.
Huruf q
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean.
Oleh karena itu, atas ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk dikonsumsi di luar Daerah Pabean dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen).
Pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.
Ayat (3)
Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, tarif Pajak Pertambahan Nilai dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen).
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia” adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Angka 3
Pasal 8A
Ayat (1)
Contoh:
a. Penerapan tarif 12% (dua belas persen)
Pengusaha Kena Pajak A menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 12% x Rp10.000.000,00 = Rp1.200.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak A.
b. Penerapan tarif 12% (dua belas persen)
Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak tertentu yang dikenai tarif 12% (dua belas persen) dengan Nilai Impor Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai = 12% x Rp10.000.000,00 = Rp1.200.000,00.
c. Penerapan tarif 0% (nol persen)
Pengusaha Kena Pajak D melakukan ekspor Barang Kena Pajak dengan Nilai Ekspor Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 0% x Rp10.000.000,00 = Rp0,00.
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp0,00 (nol rupiah) tersebut merupakan Pajak Keluaran.
Ayat (2)
Dihapus.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 9
Ayat (1)
Dihapus.
Ayat (2)
Pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai dan berhak menerima bukti pungutan pajak.
Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pajak Masukan yang wajib dibayar tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungutnya dalam Masa Pajak yang sama.
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (2b)
Untuk keperluan mengkreditkan Pajak Masukan, Pengusaha Kena Pajak menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5).
Selain itu, Pajak Masukan yang akan dikreditkan juga harus memenuhi persyaratan kebenaran formal dan material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (9).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pajak Masukan yang dimaksud pada ayat ini adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Dalam suatu Masa Pajak dapat terjadi Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran. Kelebihan Pajak Masukan tersebut tidak dapat diminta kembali pada Masa Pajak yang bersangkutan, tetapi dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
Contoh:
Masa Pajak Mei 2023
Pajak Keluaran = Rp2.000.000,00
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan = Rp4.500.000,00 (-)
Pajak yang lebih dibayar = Rp2.500.000,00
Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juni 2023.
Masa Pajak Juni 2023
Pajak Keluaran = Rp3.000.000,00
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan = Rp2.000.000,00 (-)
Pajak yang kurang dibayar = Rp1.000.000,00
Pajak yang lebih dibayar dari Masa Pajak Mei 2023
yang dikompensasikan ke Masa Pajak Juni 2023 = Rp2.500.000,00 (-)
Pajak yang lebih dibayar Masa Pajak Juni 2023. = Rp1.500.000,00
Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juli 2023.
Ayat (4a)
Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak sesuai dengan ketentuan pada ayat (4) dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya.
Namun, apabila kelebihan Pajak Masukan terjadi pada Masa Pajak akhir tahun buku, kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian (restitusi).
Termasuk dalam pengertian akhir tahun buku dalam ketentuan ini adalah Masa Pajak saat Wajib Pajak melakukan pengakhiran usaha (bubar).
Ayat (4b)
Cukup jelas.
Ayat (4c)
Cukup jelas.
Ayat (4d)
Dihapus.
Ayat (4e)
Untuk mengurangi penyalahgunaan pemberian kemudahan percepatan pengembalian kelebihan pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan setelah memberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
Ayat (4f)
Dalam hal Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, sanksi kenaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (5) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya tidak diterapkan walaupun pada tahap sebelumnya sudah diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak.
Sebaliknya, sanksi administrasi yang dikenakan sesuai dengan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
Apabila dalam pemeriksaan dimaksud ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, ketentuan ini tidak berlaku.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "penyerahan yang terutang pajak" adalah penyerahan barang atau jasa yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
Terdapat dua perlakuan Pajak Masukan atas penyerahan yang terutang pajak yaitu dapat dikreditkan atau tidak dapat dikreditkan.
Yang dimaksud dengan "penyerahan yang tidak terutang pajak" adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B. Pajak Masukan atas penyerahan yang tidak terutang pajak tidak dapat dikreditkan.
Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan penyerahan yang terutang pajak dan Pajak Masukannya dapat dikreditkan, penyerahan yang terutang pajak yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan dan penyerahan yang tidak terutang pajak, hanya dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak dan Pajak Masukannya dapat dikreditkan.
Bagian penyerahan yang terutang pajak tersebut harus dapat diketahui dengan pasti dari pembukuan Pengusaha Kena Pajak.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak melakukan beberapa macam penyerahan, yaitu:
a. penyerahan yang terutang pajak dan Pajak Masukannya dapat dikreditkan dengan harga jual sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dengan Pajak Keluaran sebesar Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dengan asumsi pengenaan tarif normal sebesar 12% (dua belas persen);
b. penyerahan yang terutang pajak dan Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan dengan harga jual sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dengan Pajak Keluaran sebesar Rp400.000,00 (empat ratus ribu rupiah) dengan asusmsi pengenaan tarif final sebesar 2% (dua persen);
c. penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) tanpa memungut Pajak Keluaran.
Jumlah Pajak Keluaran yang harus dipungut sebesar Rp3.400.000,00 (tiga juta empat ratus ribu rupiah)
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan:
a. Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak dan Pajak Masukannya dapat dikreditkan sebesar Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus rupiah);
b. Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak dan Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah);
c. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang tidak terutang pajak sebesar Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah).
Jumlah Pajak Masukan yang telah dibayar sebesar Rp2.800.000,00 (dua juta delapan ratus ribu rupiah).
Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp3.400.000,00 hanya sebesar Rp1.500.000,00 yang berasal dari Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak.
Ayat (6)
Dalam hal Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak dan Pajak Masukannya dapat dikreditkan tidak dapat diketahui dengan pasti, cara pengkreditan Pajak Masukan dihitung berdasarkan pedoman pengkreditan Pajak Masukan, yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kepastian kepada Pengusaha Kena Pajak.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak melakukan 3 (tiga) macam penyerahan, yaitu:
a. penyerahan yang terutang pajak dan Pajak Masukannya dapat dikreditkan sebesar Rp35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah) dengan Pajak Keluaran sebesar Rp4.200.000,00 (empat juta dua ratus ribu rupiah) dengan asumsi pengenaan tarif normal 12% (dua belas persen);
b. penyerahan yang terutang pajak dan Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) denganPajak Keluaran sebesar Rp400.000,00 (empat ratus ribu rupiah) dengan asumsi pengenaan tarif final 2% (dua persen);
c. penyerahan yang tidak terutang pajak sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) tanpa memungut Pajak Keluaran.
Jumlah Pajak Keluaran yang harus dipungut sebesar Rp4.600.000,00 (empat juta enam ratus ribu rupiah).
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan keseluruhan penyerahan sebesar Rp2.500.000,00, sedangkan Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak dan Pajak Masukannya dapat dikreditkan tidak dapat diketahui dengan pasti. Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan sebesar Rp2.500.000,00 tidak seluruhnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp4.600.000,00 (empat juta enam ratus ribu rupiah).
Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dihitung berdasarkan pedoman pengkreditan Pajak Masukan.
Ayat (6a)
Cukup jelas.
Ayat (6b)
Dihapus.
Ayat (6c)
Cukup jelas.
Ayat (6d)
Cukup jelas.
Ayat (6e)
Cukup jelas.
Ayat (6f)
Cukup jelas.
Ayat (6g)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Dihapus.
Ayat (7a)
Dihapus.
Ayat (7b)
Dihapus.
Ayat (8)
Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran.
Akan tetapi, untuk pengeluaran yang dimaksud dalam ayat ini, Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.
Huruf a
Dihapus.
Huruf b
Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen.
Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha.
Agar dapat dikreditkan, Pajak Masukan juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut berkaitan dengan adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Oleh karena itu, meskipun suatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya hubungan langsung dengan kegiatan usaha, masih dimungkinkan Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan, yaitu apabila pengeluaran dimaksud tidak ada kaitannya dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Huruf c
Dihapus.
Huruf d
Dihapus.
Huruf e
Dihapus.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Dihapus.
Huruf i
Dihapus.
Huruf j
Dihapus.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (9a)
Cukup jelas.
Ayat (9b)
Cukup jelas.
Ayat (9c)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Dihapus.
Ayat (11)
Dihapus.
Ayat (12)
Dihapus.
Ayat (13)
Dihapus.
Ayat (14)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 9A
Ayat (1)
Dalam rangka memberikan kemudahan dan penyederhanaan administrasi perpajakan serta rasa keadilan, Menteri Keuangan dapat menentukan besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dan disetor oleh:
a. Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu;
b. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu antara lain yang:
1. mengalami kesulitan dalam mengadministrasikan Pajak Masukan;
2. melakukan transaksi melalui pihak ketiga, baik penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak maupun pembayarannya; atau
3. memiliki kompleksitas proses bisnis sehingga pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak memungkinkan dilakukan dengan mekanisme normal,
dan/atau
c. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu.
Yang dimaksud dengan “Barang Kena Pajak tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu” merupakan:
1. Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai dalam rangka perluasan basis pajak; dan
2. Barang Kena Pajak yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 16B
Ayat (1)
Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakikatnya untuk memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong ekspor yang merupakan prioritas nasional di kawasan tertentu atau tempat tertentu, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, membantu dalam penanganan bencana alam nasional dan bencana nonalam nasional, serta memperlancar pembangunan nasional.
Ayat (1a)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Kemudahan perpajakan yang diberikan untuk tujuan mendukung tersedianya barang dan jasa tertentu yang bersifat strategis dalam rangka pembangunan nasional diberikan dengan sangat selektif dan terbatas, serta mempertimbangkan dampaknya terhadap penerimaan negara.
Barang Kena Pajak tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, antara lain:
1. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi:
a) beras;
b) gabah;
c) jagung;
d) sagu;
e) kedelai;
f) garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
g) daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
h) telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
i) susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
j) buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
k) sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
2. jasa pelayanan kesehatan medis meliputi:
a) jasa kesehatan tertentu, antara lain:
1) jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;
2) jasa dokter hewan;
3) jasa ahli kesehatan seperti ahli akupunktur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi;
4) jasa kebidanan dan dukun bayi;
5) jasa paramedis dan perawat;
6) jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium;
7) jasa psikolog dan psikiater; dan
8) jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal; dan
b) jasa kesehatan yang ditanggung oleh jaminan kesehatan nasional, dan
3. jasa pelayanan sosial, meliputi:
a) jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo;
b) jasa pemadam kebakaran;
c) jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
d) jasa lembaga rehabilitasi;
e) jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium;dan
f) jasa di bidang olahraga
yang tidak mencari keuntungan.
4. jasa keuangan, meliputi:
a) jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;
b) jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
c) jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa:
1) sewa guna usaha dengan hak opsi;
2) anjak piutang;
3) usaha kartu kredit; dan/atau
4) pembiayaan konsumen.
d) jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia;dan
e) jasa penjaminan.
5. yang dimaksud dengan "jasa asuransi" adalah jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan asuransi.
6. jasa pendidikan, meliputi:
a) jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional; dan
b) jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.
7. cukup jelas;
8. jasa tenaga kerja, meliputi:
a) jasa tenaga kerja;
b) jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut; dan
c) jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja
Ayat (2)
Adanya perlakuan khusus berupa Pajak Pertambahan Nilai yang terutang, tetapi tidak dipungut, diartikan bahwa Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang mendapat perlakuan khusus dimaksud tetap dapat dikreditkan. Dengan demikian, Pajak Pertambahan Nilai tetap terutang, tetapi tidak dipungut.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak A memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut tidak dipungut.
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak A menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal, ataupun sebagai komponen biaya lain.
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak A membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut.
Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran walaupun Pajak Keluaran tersebut nihil karena menikmati fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut dari negara berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat (3)
Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun sebagai komponen biaya lain. Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.
Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 16G
Huruf a
Dasar Pengenaan Pajak berupa nilai lain diberlakukan untuk menjamin kepastian hukum dalam hal Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor, dan Nilai Ekspor sebagai Dasar Pengenaan Pajak sukar ditetapkan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “belum menemukan data dan/atau informasi mengenai harta” yakni Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan pemeriksaan dalam rangka menghitung Pajak Penghasilan terkait data dan/atau informasi mengenai harta tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud “kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam” merupakan kegiatan pengolahan bahan baku sumber daya alam menjadi barang setengah jadi atau barang jadi yang menambah nilai bahan baku sumber daya alam tersebut.
Contohnya: pengolahan bijih emas menjadi emas murni.
Yang dimaksud “sektor energi terbarukan” merupakan sektor energi yang dihasilkan dari bahan-bahan yang dapat terus diperbarui.
Contohnya: sektor energi tenaga surya.
Surat berharga negara meliputi surat utang negara dan surat berharga syariah negara.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “surat pemberitahuan pengungkapan harta” adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk mengungkapkan paling sedikit identitas Wajib Pajak, harta, utang, harta bersih serta penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan terutang yang bersifat final.
Ayat (2)
Bukti pembayaran Pajak Penghasilan berupa Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak dan telah mendapatkan validasi dari pihak penerima pembayaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Tindak pidana yang diatur dalam pasal ini meliputi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dan tindak pidana lain.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang diterbitkan berdasarkan ketentuan ayat ini hanya memuat pokok pajak yang kurang dibayar dan tidak memuat sanksi administratif, mengingat besaran tarif atas tambahan Pajak Penghasilan dianggap termasuk sanksi administratif.
Contoh:
Pada tanggal 10 Januari 2022, Tuan A menyampaikan surat pemberitahuan pengungkapan harta atas harta bersih berupa uang tunai sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) yang berada di Indonesia dan belum diungkapkan dalam surat pernyataan.
Tuan A juga menyatakan akan menginvestasikan uang tunai tersebut ke dalam instrumen surat berharga negara. Oleh karena itu, Tuan A menerapkan tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 6% (enam persen) dalam pengungkapan harta bersih tersebut.
Pajak Penghasilan atas pengungkapan harta bersih:
6% X Rp1.000.000.000,00 = Rp60.000.000,00
Dalam hal diketahui bahwa Tuan A sampai dengan tanggal 30 September 2023 hanya menginvestasikan 40% (empat puluh persen) bagian harta bersih yang diungkapkan pada tanggal 10 Januari 2022 ke dalam instrumen surat berharga negara, sehingga terdapat 60% (enam puluh persen) bagian harta bersih yang tidak diinvestasikan.
Apabila Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar pada tanggal 4 Oktober 2023, perhitungan dalam surat ketetapan pajak sebagai berikut:
1. bagian harta bersih yang tidak diinvestasikan ke dalam surat berharga negara:
60% X Rp1.000.000.000,00 = Rp600.000.000,00.
2. pengenaan tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final:
4,5% X Rp600.000.000,00 = Rp27.000.000,00.
Dalam hal Tuan A sampai dengan tanggal 30 September 2023 hanya menginvestasikan 40% (empat puluh persen) bagian harta yang diungkapkan pada tanggal 10 Januari 2022 ke dalam instrumen surat berharga negara, maka Tuan A dengan kehendak sendiri dapat mengungkapkan bagian harta yang tidak diinvestasikan tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak serta menyetorkan sendiri tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final, dengan perhitungan sebagai berikut:
1. bagian harta bersih yang tidak diinvestasikan ke dalam surat berharga negara:
60% X Rp1.000.000.000,00 = Rp600.000.000,00.
2. pengenaan tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final:
3% X Rp600.000.000,00 = Rp18.000.000,00.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “utang” adalah jumlah pokok utang yang belum dibayar yang berkaitan langsung dengan perolehan harta.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan sebagaimana diatur pada ayat ini meliputi kewajiban Pajak Penghasilan, pemotongan dan/atau pemungutan pajak Penghasilan, dan Pajak Pertambahan Nilai atas orang pribadi yang bersangkutan dan tidak termasuk kewajiban Wajib Pajak orang pribadi sebagai wakil atau kuasa.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Ketentuan mencabut permohonan sebagaimana diatur dalam huruf ini meliputi permohonan yang berkaitan dengan Pajak Penghasilan, pemotongan dan/atau pemungutan pajak Penghasilan, dan Pajak Pertambahan Nilai atas orang pribadi yang bersangkutan untuk Tahun Pajak 2016, Tahun Pajak 2017, Tahun Pajak 2018, Tahun Pajak 2019, dan/atau Tahun Pajak 2020.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Termasuk dalam ketentuan ini yakni bagi Wajib Pajak orang pribadi yang baru memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak pada tahun 2022 dan belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2020.
Untuk dapat menyampaikan surat pemberitahuan pengungkapan harta, Wajib Pajak orang pribadi harus terlebih dahulu menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2020 dengan harta yang bersumber dari penghasilan pada Tahun Pajak 2020.
Selanjutnya, harta bersih yang dimiliki selain yang dicantumkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2020 harus diungkapkan dalam surat pemberitahuan pengungkapan harta.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Tindak pidana yang diatur dalam pasal ini meliputi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dan tindak pidana lain.
Ayat (2)
Contoh:
Pada tanggal 10 Januari 2022, Tuan B menyampaikan surat pemberitahuan pengungkapan harta atas harta bersih berupa uang tunai sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) yang berada di Indonesia dan belum diungkapkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2020.
Tuan B juga menyatakan akan menginvestasikan uang tunai tersebut ke dalam instrumen surat berharga negara. Oleh karena itu, Tuan B memperoleh tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 12% (dua belas persen) dalam pengungkapan harta bersih tersebut.
Pajak Penghasilan atas pengungkapan harta bersih:
12% X Rp1.000.000.000,00 = Rp120.000.000,00
Dalam hal diketahui bahwa Tuan B masih memiliki harta bersih berupa uang tunai sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang belum diungkapkan dalam surat pemberitahuan pengungkapan harta pada tanggal 10 Januari 2022, maka apabila Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar pada tanggal 4 Februari 2023, perhitungan dalam surat ketetapan pajak sebagai berikut:
1. harta yang tidak diungkapkan dalam surat pemberitahuan pengungkapan harta dan dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar 30% (tiga puluh persen):
30% X Rp100.000.000,00 = Rp30.000.000,00.
2. sanksi administrasi berupa bunga:
1% X 2 bulan x Rp.30.000.000,00 = Rp600.000,00.
3. jumlah yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar:
Rp30.000.000,00 + Rp600.000,00 = Rp30.600.000,00
Adapun jumlah bulan dalam pengenaan sanksi administratif tersebut dihitung sejak berakhirnya Tahun Pajak 2022 yakni tanggal 1 Januari 2023 sampai dengan saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yakni 4 Februari 2023, sehingga berjumlah 1 (satu) bulan 4 (empat) hari, dengan bagian bulan dihitung penuh menjadi 2 (dua) bulan.
Asumsi Menteri Keuangan menetapkan tarif sanksi administratif berupa bunga berdasarkan Pasal 13 ayat (2) untuk bulan Januari 2023 sebesar 1% (satu persen).
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh:
Berdasarkan contoh dalam penjelasan Pasal 11 ayat (2), dalam hal diketahui bahwa Tuan B sampai dengan tanggal 30 September 2023 hanya menginvestasikan 40% (empat puluh persen) bagian harta bersih yang diungkapkan pada tanggal 10 Januari 2022 ke dalam instrumen surat berharga negara, sehingga terdapat 60% (enam puluh persen) bagian harta bersih yang tidak diinvestasikan.
Apabila Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar pada tanggal 15 Oktober 2023, perhitungan dalam surat ketetapan pajak sebagai berikut:
1. bagian harta bersih yang tidak diinvestasikan ke dalam surat berharga negara:
60% X Rp1.000.000.000,00 = Rp600.000.000,00.
2. pengenaan tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final: 4,5% X Rp600.000.000,00 = Rp27.000.000,00.
Dalam hal Tuan B dengan kehendak sendiri mengungkapkan kepada Direktorat Jenderal Pajak mengenai bagian harta bersih yang tidak diinvestasikan tersebut serta menyetorkan sendiri tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final, perhitungan tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagai berikut:
1. bagian harta yang tidak diinvestasikan ke dalam surat berharga negara:
60% X Rp1.000.000.000,00 = Rp600.000.000,00.
2. pengenaan tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final: 3% X Rp600.000.000,00 = Rp18.000.000,00.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Berbagai instrumen dapat diambil untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC), di antaranya adalah menggunakan instrumen nilai ekonomi karbon (NEK) yang terdiri dari instrumen perdagangan maupun nonperdagangan. Instrumen nonperdagangan di antaranya adalah pengenaan pajak karbon.
Pajak karbon dikenakan dalam rangka mengendalikan emisi gas rumah kaca untuk mendukung pencapaian NDC Indonesia.
NDC atau kontribusi yang ditetapkan secara nasional adalah komitmen nasional bagi penanganan perubahan iklim global dalam rangka mencapai tujuan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim).
Yang dimaksud dengan “emisi karbon” yakni emisi karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
Kriteria dampak negatif bagi lingkungan hidup antara lain:
a. penyusutan sumber daya alam;
b. pencemaran lingkungan hidup; atau
c. kerusakan lingkungan hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Peta jalan (road map) pajak karbon memuat sebagai berikut:
a. Strategi penurunan emisi karbon
Pemerintah telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% (dua puluh sembilan persen) dengan kemampuan sendiri dan 41% (empat puluh satu persen) dengan dukungan internasional pada tahun 2030 dan menuju Net Zero Emission (NZE) paling lambat di tahun 2060;
b. Sasaran sektor prioritas
Target penurunan emisi sektor energi dan transportasi dan sektor kehutanan sudah mencakup 97% (sembilan puluh tujuh persen) dari total target penurunan emisi NDC, sehingga menjadi prioritas utama penurunan emisi gas rumah kaca. Selain dua sektor tersebut akan mengikuti transformasi industri nasional berbasis energi bersih dan pajak karbon menuju Indonesia Emas tahun 2045 dan NZE paling lambat tahun 2060;
c. Memperhatikan Pembangunan Energi Baru dan Terbarukan
Bauran kebijakan pajak karbon, perdagangan karbon dan kebijakan teknis sektoral diantaranya phasing out coal, pembangunan energi baru dan terbarukan, dan/atau peningkatan keanekaragaman hayati diharapkan akan mendukung pencapaian target NZE 2060 dengan tetap mengedepankan prinsip just and affordable transition bagi masyarakat dan memberikan kepastian iklim berusaha;
d. Keselarasan antar berbagai kebijakan
Peta jalan (road map) pajak karbon akan memuat antara lain strategi penurunan emisi karbon dalam NDC, sasaran sektor prioritas, dan/atau memperhatikan pembangunan energi baru terbarukan dan diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pengenaan pajak karbon dilaksanakan sebagai berikut:
a. Tahun 2021, dilakukan pengembangan mekanisme perdagangan karbon;
b. Tahun 2022 sampai dengan 2024, diterapkan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi (cap and tax) untuk sektor pembangkit listrik terbatas pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara;
c. Tahun 2025 dan seterusnya, implementasi perdagangan karbon secara penuh dan perluasan sektor pemajakan pajak karbon dengan penahapan sesuai kesiapan sektor terkait dengan memperhatikan antara lain kondisi ekonomi, kesiapan pelaku, dampak, dan/atau skala.
Penerapan pajak karbon mengutamakan pengaturan atas subjek pajak Badan.
Tarif pajak karbon akan dibuat lebih tinggi daripada atau sama dengan harga karbon di pasar karbon domestik.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia” adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “barang yang mengandung karbon” yakni barang yang termasuk tapi tidak terbatas pada bahan bakar fosil yang menyebabkan emisi karbon.
Yang dimaksud dengan “aktivitas yang menghasilkan emisi karbon” yakni aktivitas yang menghasilkan atau mengeluarkan emisi karbon yang berasal antara lain dari sektor energi, pertanian, kehutanan dan perubahan lahan, industri, serta limbah.
Termasuk dalam cakupan membeli yaitu membeli barang yang menghasilkan emisi karbon di dalam negeri dan impor.
Ayat (6)
Perhitungan pajak karbon terutang atas keseluruhan nilai pembelian barang yang mengandung karbon atau aktifitas yang menghasilkan emisi karbon mempertimbangkan nilai faktor emisi yang ditetapkan oleh kementerian dan/atau badan/lembaga yang memiliki kompetensi dan kewenangan melakukan pengukuran nilai faktor emisi.
Yang dimaksud nilai faktor emisi yakni nilai koefisien yang menghubungkan jumlah emisi rata-rata yang dilepaskan ke atmosfer dari sumber tertentu relatif terhadap unit aktivitas atau proses yang terkait pelepasan emisi karbon.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Karbon dioksida ekuivalen (CO2e) merupakan representasi emisi gas rumah kaca antara lain senyawa karbon dioksida (CO2), dinitro oksida (N2O), dan metana (CH4).
Yang dimaksud dengan “setara” yakni satuan konversi karbon dioksida ekuivalen (CO2e) antara lain ke satuan massa dan satuan volume.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia” adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Ayat (11)
Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia” adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Ayat (12)
Yang dimaksud dengan “pengendalian perubahan iklim” adalah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Yang dimaksud “mitigasi perubahan iklim” adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam upaya menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca atau meningkatkan penyerapan emisi gas rumah kaca sebagai bentuk upaya penanggulangan dampak perubahan iklim.
Yang dimaksud dengan ”adaptasi perubahan iklim” adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim, termasuk keragaman iklim dan kejadian iklim ekstrim sehingga potensi kerusakan akibat perubahan iklim berkurang, peluang yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dapat dimanfaatkan, dan konsekuensi yang timbul akibat perubahan iklim dapat diatasi.
Ayat (13)
Yang dimaksud dengan “perdagangan emisi karbon” yakni mekanisme transaksi antara pelaku usaha dan/atau kegiatan yang memiliki emisi melebihi batas atas emisi yang ditentukan.
Yang dimaksud dengan “pengimbangan emisi karbon” (offset emisi karbon) adalah pengurangan emisi karbon yang dilakukan usaha dan/atau kegiatan untuk mengkompensasi emisi yang dibuat di tempat lain.
Ayat (14)
Cukup jelas.
Ayat (15)
Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia” adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Ayat (16)
Cukup jelas.
Pasal 14
Angka 1
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "etil alkohol atau etanol" adalah barang cair, jernih, dan tidak berwarna, merupakan senyawa organik dengan rumus kimia C2H5OH, yang diperoleh baik secara peragian dan/atau penyulingan maupun secara sintesa kimiawi.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "minuman yang mengandung etil alkohol" adalah semua barang cair yang lazim disebut minuman yang mengandung etil alkohol yang dihasilkan dengan cara peragian, penyulingan, atau cara lainnya, antara lain bir, shandy, anggur, gin, whisky, dan yang sejenis.
Yang dimaksud dengan "konsentrat yang mengandung etil alkohol" adalah bahan yang mengandung etil alkohol yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan minuman yang mengandung etil alkohol.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "sigaret" adalah hasil tembakau yang dibuat dari tembakau rajangan yang dibalut dengan kertas dengan cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.
Sigaret terdiri dari sigaret kretek, sigaret putih, dan sigaret kelembak kemenyan.
Sigaret kretek adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan cengkih, atau bagiannya, baik asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya.
Sigaret putih adalah sigaret yang dalam pembuatannya tanpa dicampuri dengan cengkih, kelembak, atau kemenyan.
Sigaret putih dan sigaret kretek terdiri dari sigaret yang dibuat dengan mesin atau yang dibuat dengan cara lain, daripada mesin.
Yang dimaksud dengan sigaret putih dan sigaret kretek yang dibuat dengan mesin adalah sigaret putih dan sigaret kretek yang dalam pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasannya dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, seluruhnya, atau sebagian menggunakan mesin.
Yang dimaksud dengan sigaret putih dan sigaret kretek yang dibuat dengan cara lain daripada mesin adalah sigaret putih dan sigaret kretek yang dalam proses pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasan dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, tanpa menggunakan mesin.
Sigaret kelembak kemenyan adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan kelembak dan/atau kemenyan asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya.
Yang dimaksud dengan “cerutu” adalah hasil tembakau yang dibuat dari lembaran-lembaran daun tembakau diiris atau tidak, dengan cara digulung demikian rupa dengan daun tembakau, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.
Yang dimaksud dengan “rokok daun” adalah hasil tembakau yang dibuat dengan daun nipah, daun jagung (klobot), atau sejenisnya, dengan cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.
Yang dimaksud dengan “tembakau iris” adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.
Yang dimaksud dengan “rokok elektrik” adalah hasil tembakau berbentuk cair, padat, atau bentuk lainnya, yang berasal dari pengolahan daun tembakau yang dibuat dengan cara ekstraksi atau cara lain sesuai dengan perkembangan teknologi dan selera konsumen, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya, yang disediakan untuk konsumen akhir dalam kemasan penjualan eceran yang dikonsumsi dengan cara dipanaskan menggunakan alat pemanas elektrik kemudian dihisap.
Yang dimaksud dengan “hasil pengolahan tembakau lainnya” adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau selain yang disebut dalam huruf ini yang dibuat secara lain sesuai dengan perkembangan teknologi dan selera konsumen, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia” adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Angka 2
Pasal 40B
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penelitian dugaan pelanggaran” adalah segala upaya yang dilakukan oleh pejabat Bea dan Cukai terhadap orang, tempat, barang, dan sarana pengangkut seperti meminta keterangan dari pihak-pihak terkait, memeriksa barang, memeriksa tempat/bangunan, memeriksa sarana pengangkut, memeriksa pembukuan dan pencatatan, dan/atau tindakan lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam rangka mencari dan mengumpulkan bahan dan keterangan untuk menentukan terjadi atau tidaknya pelanggaran di bidang cukai baik administratif maupun pidana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Hal ini dimaksudkan agar pendekatan penegakan hukum di bidang cukai bersifat restorative justice yaitu pendekatan penegakan hukum yang lebih mengutamakan pemulihan hak-hak atau kondisi korban, dimana dalam tindak pidana di bidang cukai yang berperan sebagai korban adalah negara, karena negara kehilangan haknya yaitu penerimaan negara di bidang cukai.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan barang-barang lain disini adalah barang-barang selain barang kena cukai yang tersangkut dalam tindak pidana yang terjadi, seperti sarana pengangkut, peralatan komunikasi, media atau tempat penyimpanan, serta dokumen dan surat.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sanksi administratif berupa denda sebesar 4 (empat) kali dari nilai cukai yang seharusnya dibayar dinilai cukup untuk memberikan penjeraan dan merupakan wujud keseimbangan antara restorative justice dengan fiscal recovery.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Bagi perkara yang sudah dilimpahkan ke pengadilan, pembayaran sanksi administratif berupa denda atas penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi pertimbangan bagi penuntut umum untuk menyusun dakwaan tanpa disertai dengan penjatuhan pidana badan.
Sanksi administratif berupa denda yang telah dibayar oleh terdakwa tersebut, akan diperhitungkan sebagai pembayaran atas pidana denda yang dijatuhkan oleh hakim.
Ayat (5)
Pembayaran sanksi administratif berupa denda yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa yang belum memenuhi jumlah sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), akan diperhitungan sebagai pembayaran atas pidana denda yang dijatuhkan oleh hakim, sedangkan kekurangannya akan dibebankan kepada terdakwa.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan "barang-barang lain" adalah barang selain barang kena cukai yang tersangkut dalam tindak pidana yang terjadi yang telah dilakukan penyitaan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, seperti sarana pengangkut, peralatan komunikasi, media atau tempat penyimpanan, serta dokumen dan surat.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6736
Status Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021ditetapkan tanggal 29 Oktober 2021 dan mulai berlaku sejak tanggal 29 Oktober 2021.
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 merubah :
Baca Juga :