Susunan PMK Nomor 141/PMK.03/2016 Tanggal 23 September 2016
Tentang Perubahan Atas PMK Nomor 118/PMK.03/2016 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak adalah sebagai
berikut :
- PMK Nomor 141/PMK.03/2016 terdiri dari :
- Pasal I
- Pasal 5
- Pasal 13
- Pasal 13
A
- Pasal 14
A
- Pasal 15
- Pasal 16
- Pasal 21
- Pasal 24
- Pasal 31
- Pasal 38
- Pasal 47 A
- Pasal 50 A
- Pasal 50 B
- Pasal II.
- Perubahan
Pasal 5, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 31, Pasal 38.
- Penambahan
Pasal 13 A, Pasal 14 A, Pasal 47 A, Pasal 50 A, dan Pasal 50 B.
- Pasal 5 Tentang Informasi identitas Wajib Pajak untuk Wajib Pajak
Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan.
- Pasal 13 Tentang Syarat bagi Wajib Pajak yang akan menyampaikan
Surat Pernyataan Pengampunan Pajak.
- Pasal 13 A Tentang Syarat bagi BUT (Bentuk Usaha Tetap) yang akan
menyampaikan Surat Pernyataan Pengampunan Pajak.
- Pasal 14 A Prosedur penerimaan Surat Pernyataan Pengampunan Pajak
dalam keadaan kahar.
- Pasal 15 Tentang Perlakuan uang tebusan dalam rangka pengampunan
pajak.
- Pasal 16 Tentang Jenis tunggakan pajak yang harus dilunasi oleh
Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengampunan pajak.
- Pasal 21 Tentang Proses penerbitan Surat Keterangan telah
mengikuti program pengampunan pajak.
- Pasal 24 Tentang Kewajiban bagi Wajib Pajak untuk melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang belum dibaliknamakan atas nama
Wajib Pajak.
- Pasal 31 Tentang Penghapusan sanksi administrasi berupa bunga
dan/atau denda yang belum dilunasi dalam rangka permohonan pengampunan pajak.
- Pasal 38 Tentang Kewajiban bagi Wajib Pajak untuk membuat laporan
kepada Direktur Jenderal Pajak tentang realisasi pengalihan harta dan investasi
tambahan serta penempatan harta tambahan ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Repubilk Indonesia.
- Pasal 47 A Tentang Data dan informasi dalam pengampunan pajak.
- Pasal 50 A Tentang Status peraturan pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak setelah penerbitan PMK Nomor
141/PMK.03/2016.
- Pasal 50 B Tentang Tata cara pencabutan Surat Pernyataan
Pengampunan Pajak.
- Pasal II Tentang Saat berlakunya PMK Nomor 141/PMK.03/2016.
PMK Nomor 141/PMK.03/2016 Tanggal 23 September 2016 Tentang
Perubahan Atas PMK Nomor 118/PMK.03/2016 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak selengkapnya adalah sebagai
berikut :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 141/PMK.03/2016
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 118/PMK.03/2016 TENTANG PELAKSANAAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016
TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak telah
diatur ketentuan mengenai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang
Pengampunan Pajak;
b. bahwa guna meningkatkan pelayanan dan lebih memberikan kepastian hukum
dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan
Pajak, perlu melakukan penyempurnaan terhadap Peraturan Menteri Keuangan Nomor
118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang
Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf
b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 huruf a, huruf d, dan huruf e
Undang Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016
tentang Pengampunan Pajak;
Mengingat :
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1043);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 118/PMK.03/2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016
TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan
Pajak, diubah sebagai berikut:
1.
|
Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 5
Informasi mengenai identitas Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) yaitu:
a.
|
untuk Wajib Pajak orang pribadi, memuat:
1.
nama;
2.
alamat;
3.
Nomor Pokok
Wajib Pajak;
4.
Nomor Induk
Kependudukan atau nomor paspor; dan
5.
nomor surat
izin usaha, bagi yang memiliki;
|
b.
|
untuk Wajib
Pajak badan, memuat:
1.
nama;
2.
alamat;
3.
Nomor Pokok
Wajib Pajak; dan
4.
nomor surat
izin usaha.
|
|
|
|
2.
|
Ketentuan ayat (5) dan ayat (10) Pasal 13 diubah dan
ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat (11), sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 13
(1)
|
Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a.
|
memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak;
|
b.
|
membayar
Uang Tebusan;
|
c.
|
melunasi
seluruh Tunggakan Pajak;
|
d.
|
melunasi
pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya
dikembalikan bagi Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti
permulaan dan/atau penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan;
|
e.
|
menyampaikan
SPT PPh Terakhir bagi Wajib Pajak yang telah memiliki kewajiban
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan
|
f.
|
mencabut
permohonan dan/atau pengajuan:
1.
|
pengembalian
kelebihan pembayaran pajak;
|
2.
|
pengurangan
atau penghapusan sanksi administrasi dalam surat ketetapan pajak
dan/atau Surat Tagihan Pajak;
|
3.
|
pengurangan
atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
|
4.
|
pengurangan
atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar;
|
5.
|
keberatan;
|
6.
|
pembetulan
atas Surat Tagihan Pajak, surat ketetapan pajak dan/atau surat keputusan;
|
7.
|
banding;
|
8.
|
gugatan;
dan/atau
|
9.
|
peninjauan
kembali,
|
dalam hal
Wajib Pajak sedang mengajukan permohonan dan/atau pengajuan dan belum
diterbitkan surat keputusan atau putusan.
|
|
(2)
|
Bagi Wajib Pajak yang bermaksud mengalihkan Harta
tambahan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, selain
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak harus:
a.
|
mengalihkan
Harta tambahan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
melalui Bank Persepsi dan menginvestasikan Harta tambahan dimaksud di
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia paling singkat 3 (tiga)
tahun:
1. sebelum tanggal 31 Desember 2016, bagi Wajib
Pajak yang memilih menggunakan tarif Uang Tebusan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b angka 1 dan angka 2; dan/atau
2. sebelum tanggal 31 Maret 2017, bagi Wajib Pajak
yang memilih menggunakan tarif Uang Tebusan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1) huruf b angka 3;dan
|
b.
|
melampirkan
surat pernyataan mengalihkan dan menginvestasikan Harta tambahan
sebagaimana dimaksud pada huruf a dengan menggunakan format sesuai contoh
sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B Peraturan Menteri ini.
|
|
(3)
|
Dalam hal Wajib Pajak yang bermaksud mengalihkan
Harta tambahan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), mengalihkan Harta tambahan dari luar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia melalui cabang Bank Persepsi yang berada di luar negeri,
jangka waktu 3 (tiga) tahun dihitung sejak Wajib Pajak menempatkan Harta
tambahannya di cabang Bank Persepsi yang berada di luar negeri dimaksud.
|
(4)
|
Cabang Bank Persepsi yang berada di luar negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mengalihkan Harta tambahan
dimaksud ke Bank Persepsi di dalam negeri paling lama pada hari kerja
berikutnya sejak Harta tambahan tersebut ditempatkan di cabang Bank
Persepsi yang berada di luar negeri.
|
(5)
|
Bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan Harta tambahan
yang berada dan/atau ditempatkan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Wajib Pajak:
a. tidak dibolehkan mengalihkan dan menginvestasikan
Harta tambahan ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia paling
singkat 3 (tiga) tahun terhitung sejak diterbitkannya Surat Keterangan; dan
b. harus melampirkan surat pernyataan tidak
mengalihkan dan menginvestasikan Harta tambahan yang telah berada di dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a dengan menggunakan
format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C Peraturan
Menteri ini.
|
(6)
|
Surat Pernyataan yang disampaikan oleh Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
a.
|
bukti
pembayaran Uang Tebusan berupa surat setoran pajak atau bukti penerimaan
negara;
|
b.
|
bukti
pelunasan Tunggakan Pajak berupa surat setoran pajak atau bukti
penerimaan negara dan/atau surat setoran bukan pajak beserta daftar
rincian Tunggakan Pajak, bagi Wajib Pajak yang memiliki Tunggakan Pajak;
|
c.
|
daftar rincian
Harta dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana
tercantum dalam Lampiran huruf D Peraturan Menteri ini beserta
informasi kepemilikan Harta yang dilaporkan;
|
d.
|
daftar rincian
Utang dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum
dalam Lampiran huruf D Peraturan Menteri ini serta dokumen pendukung;
|
e.
|
bukti
pelunasan pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang
tidak seharusnya dikembalikan berupa:
1. surat setoran pajak; atau
2. bukti penerimaan negara,
bagi
Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan
dan/atau penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, dengan
disertai informasi tertulis dari Direktur Jenderal Pajak melalui kepala
unit pelaksana pemeriksaan bukti permulaan atau kepala unit pelaksana
penyidikan;
|
f.
|
fotokopi
SPT PPh Terakhir atau salinan berupa cetakan SPT PPh Terakhir yang
disampaikan secara elektronik, bagi Wajib Pajak yang telah memiliki kewajiban menyampaikan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan
|
g.
|
surat
pernyataan mencabut permohonan dan/atau pengajuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf f, dengan menggunakan format sesuai contoh
sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf E Peraturan Menteri ini.
|
|
(7)
|
Bagi Wajib Pajak yang menggunakan tarif Uang
Tebusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3), selain harus
melampiri dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dan ayat
(6), Wajib Pajak dimaksud harus menyampaikan surat
pernyataan mengenai besaran peredaran usaha dengan menggunakan format
sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F Peraturan
Menteri ini.
|
(8)
|
Bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan sudah menyampaikan SPT PPh
Terakhir, SPT PPh Terakhir tersebut sebagai pengganti surat pernyataan
mengenai besaran peredaran usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
|
(9)
|
Dalam hal Wajib Pajak memiliki Harta tidak
langsung melalui special purpose vehicle (SPV), Wajib Pajak
harus mengungkapkan kepemilikan Harta beserta Utang
yang berkaitan secara langsung dengan Harta dimaksud dalam daftar
rincian Harta dan Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c dan
huruf d.
|
(10)
|
Daftar rincian Harta sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) huruf c dan daftar rincian Utang sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) huruf d, harus
disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hardcopy) dan
salinan digital (softcopy).
|
(11)
|
Ketentuan mengenai penyampaian salinan digital
(softcopy) sebagaimana dimaksud pada ayat (10) tidak berlaku bagi Wajib
Pajak dengan kriteria tertentu.
|
|
|
|
3.
|
Di antara Pasal 13 dan Pasal 14, disisipkan 1 (satu)
pasal yakni Pasal 13A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13A
Dalam hal Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan merupakan Wajib
Pajak Bentuk Usaha Tetap selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13, Wajib Pajak dimaksud juga harus melampirkan dokumen
berupa:
a.
|
fotokopi surat pemberitahuan tahunan pajak
penghasilan (annual tax return) perusahaan induk untuk Tahun Pajak Terakhir
yang sudah disampaikan pada otoritas perpajakan di negara tempat perusahaan
induk terdaftar;
|
b.
|
fotokopi laporan keuangan konsolidasi perusahaan
induk untuk Tahun Pajak Terakhir; dan
|
c.
|
surat yang menyatakan bahwa Harta tambahan yang
diungkapkan dalam Surat Pernyataan belum pernah dilaporkan dalam dokumen
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b.
|
|
|
|
4.
|
Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu)
Pasal yakni Pasal 14A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14A
(1)
|
Dalam hal terjadi keadaan yang mengakibatkan tidak
dapat dilaksanakannya prosedur penerimaan Surat Pernyataan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (6) dan ayat (8), berupa:
a. kebakaran;
b. bencana alam;
c.
kerusuhan;
d. gangguan pada janngan termasuk gangguan pada
server atau pemadaman listrik; dan/atau
e. keadaan luar biasa yang terjadi pada akhir periode
penyampaian Surat Pernyataan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak,
Direktur Jenderal Pajak melaksanakan prosedur
tertentu penerimaan Surat Pernyataan.
|
(2)
|
Prosedur tertentu penerimaan Surat Pernyataan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. prosedur penerimaan untuk keadaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c yang ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Pajak; dan
b. prosedur penerimaan untuk keadaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e yang dilaksanakan
dengan penerbitan tanda terima sementara Surat
Pernyataan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
|
(3)
|
Wajib Pajak yang menerima tanda terima sementara
Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berhak
atas tarif Uang Tebusan yang berlaku pada saat tanggal tanda terima
sementara Surat Pernyataan dimaksud diterbitkan.
|
|
|
|
5.
|
Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 15 disisipkan
1 (satu) ayat yakni ayat (2a), sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
(1)
|
Uang Tebusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1) huruf b harus dibayar lunas ke kas negara melalui Bank Persepsi.
|
(2)
|
Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diadministrasikan sebagai Pajak Penghasilan Non Migas Lainnya.
|
(2a)
|
Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diperlakukan sebagai Pajak Penghasilan dan tidak boleh dikurangkan untuk
menentukan besarnya penghasilan kena pajak.
|
(3)
|
Pembayaran Uang Tebusan dilakukan dengan
menggunakan Kode Akun Pajak 411129 dan Kode Jenis Setoran 512.
|
(4)
|
Pembayaran Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menggunakan surat setoran pajak dan/atau bukti penerimaan negara
yang berfungsi sebagai bukti pembayaran Uang Tebusan setelah mendapatkan
validasi.
|
(5)
|
Surat setoran pajak dan/atau bukti penerimaan
negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dinyatakan sah dalam hal telah
divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang diterbitkan
melalui modul penerimaan negara.
|
(6)
|
Dalam hal terjadi kesalahan penulisan Kode Akun
Pajak dan/atau Kode Jenis Setoran pada surat setoran pajak atau bukti
penerimaaan negara, Direktur Jenderal Pajak atas permintaan Wajib Pajak
melakukan pemindahbukuan ke Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|
|
|
6.
|
Ketentuan ayat (2) Pasal 16 diubah dan di antara
ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a), sehingga Pasal
16 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1)
|
Tunggakan Pajak yang harus dilunasi oleh Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c merupakan
Tunggakan Pajak berdasarkan Surat Tagihan Pajak, surat ketetapan pajak,
surat keputusan, atau putusan, yang diterbitkan sebelum Wajib Pajak
menyampaikan Surat Pernyataan.
|
(1a)
|
Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
termasuk putusan yang diterbitkan oleh:
a. selain badan peradilan pajak; dan/atau
b. Mahkamah Agung atas putusan yang sebelumnya bukan
merupakan putusan badan peradilan pajak.
|
(2)
|
Terhadap Tunggakan Pajak yang harus dilunasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Tunggakan Pajak termasuk biaya penagihan pajak
yang timbul sehubungan dengan adanya tindakan penagihan pajak kepada Wajib
Pajak;
b. dalam hal Tunggakan Pajak telah dibayar sebagian
sebelum tanggal 1 Juli 2016, penghitungan besarnya Tunggakan Pajak dihitung
secara proporsional antara besarnya pokok pajak dengan sanksi administrasi
berdasarkan data yang terdapat dalam sistem administrasi Direktorat
Jenderal Pajak;
c.
dalam hal
data yang terdapat dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak
sebagaimana dimaksud pada huruf b tidak memuat secara rinci penghitungan
besarnya sanksi administrasi, besarnya sanksi administrasi dihitung sebesar
48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah yang masih harus dibayar dalam
Surat Tagihan Pajak atau surat ketetapan pajak.
|
(3)
|
Cara penghitungan besarnya Tunggakan Pajak yang
dilakukan secara proporsional antara besarnya pokok pajak dengan sanksi
administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c adalah
sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G Peraturan
Menteri ini.
|
|
|
|
7.
|
Ketentuan ayat (1) Pasal 21 diubah sehingga Pasal 21
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 21
(1)
|
Atas penyampaian Surat Pernyataan, Kepala Kanwil
DJP Wajib Pajak Terdaftar menerbitkan Surat Keterangan dalam jangka waktu
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal:
a. tanda terima Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (8), atau
b. tanda terima sementara Surat Pernyataan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14A ayat (2) huruf b,
dengan menggunakan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran huruf J Peraturan Menteri ini dan mengirimkannya kepada
Wajib Pajak.
|
(2)
|
Apabila jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui, Kepala Kanwil DJP Wajib
Pajak Terdaftar belum menerbitkan Surat Keterangan, Surat Pernyataan yang
disampaikan Wajib Pajak dianggap diterima sebagai Surat Keterangan.
|
(3)
|
Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja
setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir, Kepala
Kanwil DJP Wajib Pajak Terdaftar menerbitkan Surat Keterangan.
|
(4)
|
Dalam hal terdapat:
a. kesalahan tulis dalam Surat Keterangan; dan/atau
b. kesalahan hitung dalam Surat Keterangan,
Kepala Kanwil DJP Wajib Pajak Terdaftar dapat
menerbitkan surat pembetulan atas Surat Keterangan.
|
|
|
|
8.
|
Ketentuan ayat (5) Pasal 24 diubah, dan di antara ayat
(2) dan ayat (3) disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (2a) dan ayat (2b),
sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24
(1)
|
Wajib Pajak yang telah memperoleh Surat Keterangan
dan membayar Uang Tebusan atas Harta tidak bergerak berupa tanah dan/atau
bangunan yang belum dibaliknamakan atas nama Wajib Pajak, harus melakukan
pengalihan hak menjadi atas nama Wajib Pajak.
|
(2)
|
Atas pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibebaskan dari pengenaan Pajak Penghasilan,
dalam hal:
a.
permohonan pengalihan
hak; atau
b. penandatanganan surat pernyataan oleh kedua
belah pihak di hadapan notaris yang menyatakan bahwa
Harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah benar milik
Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan, dalam hal
Harta tersebut belum dapat diajukan permohonan pengalihan hak,
dilakukan dalam jangka waktu paling lambat sampai
dengan tanggal 31 Desember 2017.
|
(2a)
|
Pembebasan dari pengenaan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya berlaku dalam hal dokumen
kepemilikan atas tanah dan/atau bangunan yang akan dilakukan pengalihan hak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih atas nama:
a. pihak perantara (nominee) yang namanya digunakan
oleh Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan selaku pemilik
sebenarnya untuk memperoleh tanah dan/atau bangunan;
b. pemberi hibah;
c.
pewaris;
atau
d. salah satu ahli waris, dalam hal tanah dan/atau
bangunan tersebut telah terbagi.
|
(2b)
|
Pembebasan dari pengenaan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diberikan dalam hal:
a. telah terjadi pembelian tanah dan/atau bangunan
oleh Wajib Pajak dari pengembang (developer); dan
b. terhadap hak atas tanah dan/atau bangunan
sebagaimana dimaksud pada huruf a belum dilakukan balik nama dari
pengembang (developer) kepada Wajib Pajak.
|
(3)
|
Harta tidak bergerak berupa tanah dan/atau
bangunan yang dapat dibaliknamakan dan dibebaskan dari pengenaan Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Harta tambahan yang
telah diperoleh dan/atau dimiliki Wajib Pajak sebelum akhir Tahun Pajak Terakhir.
|
(4)
|
Pajak Penghasilan yang terutang atas pengalihan
hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebaskan dengan terlebih dahulu
memperoleh surat keterangan bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang diberikan fasilitas
Pengampunan Pajak.
|
(5)
|
Permohonan surat keterangan bebas Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diajukan oleh Wajib Pajak
yang memperoleh Surat Keterangan ke KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar
sebelum dilakukan pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
melampirkan:
a. fotokopi Surat Keterangan;
b. fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak
Bumi dan Bangunan tahun terakhir atas Harta yang dibaliknamakan;
c.
fotokopi
dokumen kepemilikan atas Harta yang masih atas nama pihak-pihak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2a), dan akan dibaliknamakan menjadi atas nama Wajib
Pajak; dan
d. surat pernyataan kepemilikan Harta yang
dibaliknamakan yang telah dilegalisasi oleh notaris.
|
(6)
|
Surat keterangan bebas Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) berisi pembebasan Pajak Penghasilan yang terutang
bagi pihak yang mengalihkan Harta tidak bergerak berupa tanah dan/atau
bangunan dan berlaku sepanjang digunakan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
|
|
|
|
9.
|
Ketentuan ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5)
Pasal 31 diubah sehingga Pasal 31 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk
atas nama Direktur Jenderal Pajak secara jabatan menghapuskan sanksi administrasi
berupa bunga dan/atau denda yang belum dilunasi yang terdapat pada:
a. Surat Tagihan Pajak;
b. surat ketetapan pajak;
c.
surat
keputusan, dan/atau
d. putusan,
untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun
Pajak sebelum akhir Tahun Pajak Terakhir dalam rangka pelaksanaan
Pengampunan Pajak.
|
(2)
|
Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
|
(3)
|
Penghapusan atas sanksi administrasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diberikan setelah Wajib Pajak memperoleh Surat
Keterangan.
|
(4)
|
Penghapusan atas sanksi administrasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang wilayah kerjanya meliputi kantor pelayanan
pajak yang mengadministrasikan penghapusan sanksi administrasi.
|
(5)
|
Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menerbitkan Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi Secara
Jabatan Dalam Rangka Pengampunan Pajak.
|
(6)
|
Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi
Secara Jabatan Dalam Rangka Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) dapat diterbitkan untuk satu atau lebih produk hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
|
(7)
|
Dalam hal Surat Keterangan telah diterbitkan dan
Surat Tagihan Pajak atas sanksi administrasi belum diterbitkan, atas sanksi
administrasi tersebut dihapuskan dengan tidak dilakukan penerbitan Surat
Tagihan Pajak.
|
|
|
|
10.
|
Ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 38 diubah,
sehingga Pasal 38 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 38
(1)
|
Wajib Pajak yang telah menggunakan tarif Uang
Tebusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) harus menyampaikan
laporan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP Tempat Wajib
Pajak Terdaftar yang memuat:
a. realisasi pengalihan dan investasi Harta tambahan
ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diungkapkan dalam
Surat Pernyataan; dan/atau
b. penempatan Harta tambahan yang berada di dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diungkapkan dalam Surat
Pernyataan.
|
(2)
|
Penyampaian laporan pengalihan dan realisasi
investasi Harta tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a. laporan disampaikan secara berkala setiap tahun
selama 3 (tiga) tahun sejak pengalihan Harta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2);
b. laporan disampaikan paling lambat pada saat
berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan; dan
c.
laporan
disampaikan dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum
dalam Lampiran huruf L Peraturan Menteri Keuangan ini.
|
(3)
|
Penyampaian laporan penempatan Harta tambahan yang
berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. laporan disampaikan secara berkala
setiap tahun selama 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan Surat Keterangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5);
b. laporan disampaikan paling lambat pada saat
berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan; dan
c.
laporan
disampaikan dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum
dalam Lampiran huruf M Peraturan Menteri ini.
|
(4)
|
Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) dilaksanakan oleh Wajib Pajak atau kuasa yang ditunjuk
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
|
|
|
|
11.
|
Di antara Pasal 47 dan Pasal 48 disisipkan 1 (satu)
pasal yakni Pasal 47A, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 47A
Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 juga
dimiliki dan digunakan oleh otoritas yang berwenang untuk melakukan
penanganan tindak pidana yang bersifat Transnational Organized Crimes (TOC)
meliputi narkotika, psikotropika, dan obat terlarang, terorisme, dan/atau
perdagangan manusia, otoritas yang berwenang dimaksud tetap dapat
melaksanakan tugasnya sesuai peraturan perundang-undangan terkait.
|
|
|
12.
|
Di antara Pasal 50 dan Pasal 51 disisipkan 4 (empat)
pasal yakni Pasal 50A, Pasal 50B, Pasal 50C, dan Pasal 50D, yang berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 50A
(1)
|
Ketentuan yang berisi pengaturan lebih lanjut
dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang
Pengampunan Pajak, termasuk mengenai:
a. penegasan atau rincian subjek pajak orang pribadi
yang memiliki penghasilan di bawah batasan penghasilan tertentu yang dapat
tidak menggunakan haknya dalam Pengampunan Pajak;
b. kriteria harta warisan dan harta hibahan yang
bukan merupakan objek Pengampunan Pajak;
c.
perlakuan
terhadap Harta yang diperoleh dari penghasilan yang telah dikenai Pajak
Penghasilan atau Harta yang diperoleh dari penghasilan yang bukan objek
Pajak Penghasilan, dan belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan;
d. perlakuan atas nilai wajar Harta yang disampaikan
oleh Wajib Pajak;
e. penyesuaian terhadap format dan isian dokumen yang
diperlukan dalam rangka pelaksanaan Pengampunan Pajak, tata cara, dan
jangka waktu penyampaiannya; dan
f.
penentuan
Wajib Pajak tertentu yang dikecualikan dari kewajiban menyampaikan salinan
digital (softcopy) Daftar Rincian Harta dan Utang;
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
|
(2)
|
Ketentuan yang telah diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini yang berisi
pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2016 tentang Pengampunan Pajak tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Peraturan Menteri ini.
|
Pasal 50B
(1)
|
Dalam hal
Wajib Pajak:
a. memiliki penghasilan di bawah batasan
penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50A
ayat (1) huruf a, dan/atau
b. hanya memiliki Harta tambahan berupa harta warisan
dan harta hibahan yang bukan merupakan objek Pengampunan Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50A ayat (1)huruf b,
dan telah menyampaikan Surat Pernyataan dapat
memilih untuk tidak menggunakan haknya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dengan menyampaikan pencabutan atas Surat Pernyataan
dengan menggunakan format dokumen sebagaimana diatur dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak.
|
(2)
|
Penyampaian pencabutan atas Surat Pernyataan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat:
a. tanggal 30 Oktober 2016, dalam hal Surat
Keterangan diterbitkan sebelum Peraturan Menteri ini berlaku; atau
b. 30 (tiga puluh) hari sejak
Surat Keterangan diterbitkan, dalam hal Surat Keterangan
diterbitkan setelah Peraturan Menteri ini berlaku.
|
(3)
|
Dalam hal pencabutan atas
Surat Pernyataan disampaikan sebelum Surat Keterangan diterbitkan,
Surat Pernyataan dimaksud dianggap tidak disampaikan.
|
(4)
|
Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan pencabutan atas
Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tanda terima
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) atau tanda terima sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14A ayat (2) huruf b dan/atau Surat
Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 menjadi tidak berlaku.
|
(5)
|
Bagi Wajib Pajak yang menyampaikan pencabutan atas
Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a. Surat Keterangan yang telah diterbitkan batal demi
hukum;
b. Wajib Pajak dianggap tidak mengikuti Pengampunan
Pajak; dan
c.
Wajib Pajak tidak diberikan fasilitas sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang Pengampunan Pajak.
|
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut dalam rangka pelaksanaan
pencabutan atas Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
|
|
Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 2016
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 2016
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 1438
Status PMK Nomor 141/PMK.03/2016 Tanggal 23 September 2016 Tentang Perubahan Atas PMK Nomor 118/PMK.03/2016 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak adalah sebagai berikut :
- PMK-141/PMK.03/2016 mulai berlaku sejak 30 hari sejak tanggal 23 September 2016.
- PMK-141/PMK.03/2016 telah diubah dengan PMK-165/PMK.03/2017 Tanggal 17 Nopember 2017 Tentang Perubahan Kedua Atas PMK-118/PMK.03/2016 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak.