PER-04/PJ/2017 Tanggal 31 Maret 2017 Tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian dan Penyampaian SPT Masa PPh Pasal 23 dan atau Pasal 26 Serta Bentuk Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 dan atau 26
Susunan PER-04/PJ/2017 Tanggal 31 Maret 2017 Tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian dan Penyampaian SPT Masa PPh Pasal 23 dan atau Pasal 26 Serta Bentuk Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 dan atau 26 terdiri dari:
- Pasal 1 sampai dengan Pasal 14
- Lampiran I sampai dengan Lampiran II
PER-04/PJ/2017
Tanggal 31 Maret 2017 Tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian dan Penyampaian
SPT Masa PPh Pasal 23 dan atau Pasal 26 Serta Bentuk Bukti Pemotongan PPh Pasal
23 dan atau 26 selengkapnya sebagai berikut :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER - 04/PJ/2017
TENTANG
BENTUK, ISI, TATA CARA PENGISIAN DAN PENYAMPAIAN SURAT
PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 DAN/ATAU PASAL 26
SERTA BENTUK BUKTI PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 23
DAN /ATAU PASAL 26
PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 DAN/ATAU PASAL 26
SERTA BENTUK BUKTI PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 23
DAN /ATAU PASAL 26
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
a. bahwa untuk
lebih memberikan kemudahan, kepastian hukum, dan meningkatkan pelayanan kepada
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dalam melaporkan
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 dan/atau Pasal 26;
b. bahwa untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 26 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT);
c. bahwa untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12/PMK.03/2017
tentang Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan;
d. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf
c perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Bentuk, Isi, Tata
Cara Pengisian dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal
23 dan/atau Pasal 26 serta Bentuk Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23
dan/atau Pasal 26;
Mengingat :
1. Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan
Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan
Kewajiban Perpajakan, dan perubahannya;
4. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan
Penyetoran Pajak;
5. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT);
6. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 12/PMK.03/2017 tentang Bukti Pemotongan dan/atau
Pemungutan Pajak Penghasilan;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
:
PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG BENTUK, ISI, TATA CARA PENGISIAN DAN
PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 DAN/ATAU PASAL
26 SERTA BENTUK BUKTI PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 DAN/ATAU PASAL 26.
Pasal 1
Dalam
Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan :
1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
2. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang
selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
3. Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya
disebut dengan KPP adalah Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak
terdaftar.
4. Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi
Perpajakan yang selanjutnya disebut dengan KP2KP adalah Kantor Pelayanan,
Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan yang berada dalam wilayah KPP,
5. Pajak Penghasilan yang selanjutnya
disingkat PPh adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
PPh.
6. Pemotong PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26
yang selanjutnya disebut Pemotong Pajak adalah Wajib Pajak yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan diwajibkan untuk melakukan
pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26.
7. Surat Pemberitahuan yang selanjutnya disebut
SPT adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan
dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau
harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
8. SPT Elektronik adalah SPT yang disampaikan
dalam bentuk dokumen elektronik.
9. Dokumen Elektronik adalah setiap informasi
elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam
bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat
dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau
perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang
mampu memahaminya.
10. Aplikasi
Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 Elektronik yang selanjutnya
disebut Aplikasi e-Bupot 23/26 adalah perangkat lunak yang disediakan di laman
milik Direktorat Jenderal Pajak atau saluran tertentu yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak yang dapat digunakan untuk membuat Bukti Pemotongan,
membuat dan melaporkan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk
dokumen elektronik.
11. Bukti
Pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Bukti Pemotongan PPh Pasal 26 yang selanjutnya
disebut Bukti Pemotongan adalah formulir atau dokumen lain yang dipersamakan
yang digunakan oleh Pemotong Pajak sebagai bukti pemotongan PPh Pasal 23
dan/atau Pasal 26 dan pertanggungjawaban atas pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau
Pasal 26 yang dilakukan.
12. Bukti
Pemotongan Pembetulan adalah Bukti Pemotongan yang dibuat untuk membetulkan
kekeliruan dalam pengisian Bukti Pemotongan yang telah dibuat sebelumnya.
13. Bukti
Pemotongan Pembatalan adalah Bukti Pemotongan yang dibuat untuk membatalkan
Bukti Pemotongan yang telah dibuat sebelumnya karena adanya pembatalan
transaksi.
14. Tanda
Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik
yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik lainnya
yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
15. Sertifikat
Elektronik (Digital Certificate) adalah sertifikat yang bersifat elektronik
yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukan status subyek
hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh Direktorat
Jenderal Pajak atau penyelenggara sertifikasi elektronik.
16. Surat
Setoran Pajak yang selanjutnya disingkat SSP adalah bukti pembayaran atau
penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah
dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
17. Bukti
Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat BPN adalah dokumen yang
diterbitkan oleh Bank Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi atas transaksi
penerimaan negara yang mencantumkan NTPN (Nomor Transaksi Penerimaan Negara)
dan NTB (Nomor Transaksi Bank)/NTP (Nomor Transaksi Pos) serta elemen lainnya
yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan atau dokumen yang
diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) atas transaksi
penerimaan negara yang berasal dari potongan SPM (Surat Perintah Membayar) yang
mencantumkan NTPN.
18. Pemindahbukuan
adalah suatu proses memindahbukukan penerimaan pajak untuk dibukukan pada
penerimaan pajak yang sesuai.
19. Bukti
Pemindahbukuan yang selanjutnya disebut Bukti Pbk adalah bukti yang menunjukkan
bahwa telah dilakukan Pemindahbukuan.
Pasal 2
(1) Setiap
Pemotong Pajak wajib mengisi SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dengan
benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf
Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta
menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Ketentuan
mengenai kewajiban untuk menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal jumlah PPh Pasal 23
dan/atau Pasal 26 yang dipotong pada Masa Pajak yang bersangkutan nihil,
kecuali nihil tersebut dikarenakan adanya Surat Keterangan Bebas, Surat
Keterangan Domisili dan/atau seluruh PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 yang
terutang ditanggung oleh Pemerintah (DTP).
Pasal 3
(1) SPT Masa
PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
terdiri dari:
a. Induk SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal
26;
b. Daftar Bukti Pemotongan PPh Pasal 23
dan/atau Pasal 26; dan
c. Daftar Surat Setoran Pajak, Bukti
Penerimaan Negara dan/atau Bukti Pemindahbukuan untuk Penyetoran PPh Pasal 23
dan/atau Pasal 26;
sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Direktur Jenderal ini.
(2) Bukti
Pemotongan sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal ini terdiri
dari:
a. Bukti Pemotongan PPh Pasal 23; dan
b. Bukti Pemotongan PPh Pasal 26;
sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Direktur Jenderal ini.
(3) SPT Masa
PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Bukti
Pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berbentuk:
a. formulir kertas (hard copy); atau
b. dokumen elektronik.
Pasal 4
(1) Pemotong
Pajak harus membuat dan memberikan Bukti Pemotongan kepada penerima penghasilan
yang dipotong pajak.
(2) Satu Bukti
Pemotongan hanya dapat digunakan untuk:
a. 1 (satu) Wajib Pajak;
b. 1 (satu) kode objek pajak; dan
c. 1 (satu) Masa Pajak.
(3) Bukti
Pemotongan tetap dibuat dalam hal:
a. jumlah PPh Pasal 23 yang dipotong nihil
karena adanya Surat Keterangan Bebas;
b. jumlah PPh Pasal 26 yang dipotong nihil
karena adanya Surat Keterangan Domisili; dan/atau
c. PPh
Pasal 23 dan/atau Pasal 26 yang terutang ditanggung oleh Pemerintah (DTP)
sebagaimana diatur dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
(4) Pemotong
Pajak dapat membuat 1 (satu) Bukti Pemotongan untuk menggabungkan dua atau
lebih transaksi sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2).
Pasal 5
(1) SPT Masa
PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk formulir kertas (hard copy)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a dapat digunakan oleh
Pemotong Pajak yang:
a. menerbitkan tidak lebih dari 20 (dua puluh)
Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dalam satu Masa Pajak; dan
b. jumlah penghasilan bruto yang menjadi dasar
pengenaan Pajak Penghasilan tidak lebih dari Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) untuk setiap Bukti Pemotongan dalam satu Masa Pajak.
(2) SPT Masa
PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
oleh Pemotong Pajak dengan cara:
a. langsung ke KPP atau KP2KP;
b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat
ke KPP; atau
c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa
kurir dengan bukti pengiriman surat ke KPP; atau
d. langsung melalui Layanan Pajak di Luar
Kantor (LDK).
(3) SPT Masa
PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilampiri dengan dokumen dan/atau keterangan sebagai berikut:
a. Bukti Pemotongan;
b. SSP atau BPN, dalam hal PPh yang seharusnya
dibayar dilunasi dengan setoran ke Kas Negara;
c. Bukti Pbk, dalam hal kurang bayarnya
dilunasi melalui pemindahbukuan;
d. Surat Kuasa Khusus bermeterai cukup, dalam
hal SPT ditandatangani oleh kuasa Pemotong Pajak;
e. fotokopi Surat Keterangan Bebas yang telah
dilegalisasi, dalam hal PPh Pasal 23 dibebaskan dari pemotongan berdasarkan
Surat Keterangan Bebas;
f. fotokopi Surat Keterangan Domisili, dalam
hal PPh Pasal 26 menggunakan tarif sesuai Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda; dan
g. fotokopi SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau
Pasal 26 yang dibetulkan, termasuk lampiran dan Bukti Penerimaan Surat, dalam
hal SPT yang disampaikan adalah SPT pembetulan.
Pasal 6
(1) SPT Masa
PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b harus digunakan oleh Pemotong Pajak
yang:
a. menerbitkan lebih dari 20 (dua puluh) Bukti
Pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dalam 1 (satu) Masa Pajak;
b. jumlah penghasilan bruto yang menjadi dasar
pengenaan Pajak Penghasilan lebih dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dalam satu Bukti Pemotongan;
c. sudah pernah menyampaikan SPT Masa
Elektronik;dan/atau
d. terdaftar di KPP Madya, KPP di lingkungan
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus atau KPP di lingkungan
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar.
(2) SPT
Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat disampaikan oleh Pemotong Pajak dengan menggunakan Aplikasi
e-Bupot 23/26 yang tersedia di laman milik Direktorat Jenderal Pajak atau
saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3) SPT
Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilampiri dengan hasil pemindaian (sccm) Surat Keterangan
Domisili dalam bentuk Portable Document Format (PDF), dalam hal PPh Pasal 26
menggunakan tarif sesuai Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang diunggah
(upload) dalam Aplikasi e-Bupot 23/26.
Pasal 7
(1) Untuk dapat
menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dengan menggunakan
Aplikasi e-Bupot 23/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), Pemotong
Pajak terlebih dahulu harus memiliki Sertifikat Elektronik.
(2) Tata cara memperoleh
Sertifikat Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak yang mengatur mengenai pengamanan transaksi elektronik
Layanan Pajak Online.
(3) Pemotong
Pajak yang telah memiliki Sertifikat Elektronik dari Direktorat Jenderal Pajak
tidak perlu melakukan permohonan untuk memperoleh Sertifikat Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 8
Pemotong
Pajak yang sudah pernah menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26
dalam bentuk dokumen elektronik harus menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23
dan/atau Pasal 26 untuk Masa Pajak berikutnya dalam bentuk dokumen elektronik.
Pasal 9
(1) Pemotong
Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau
Pasal 26 yang telah disampaikan.
(2) Pembetulan
SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 disebabkan adanya:
a. kekeliruan dalam pengisian Bukti Pemotongan
b. pembatalan transaksi;dan/atau
c. transaksi yang belum dilaporkan.
(3) Dalam hal
pembetulan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 disebabkan adanya:
a. kekeliruan dalam pengisian Bukti
Pemotongan, Pemotong Pajak terlebih dahulu harus membetulkan Bukti Pemotongan
dimaksud;atau
b. pembatalan transaksi, Pemotong Pajak
terlebih dahulu harus membatalkan Bukti Pemotongan atas transaksi dimaksud.
(4) Pembetulan
SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
mengakibatkan adanya:
a. pajak yang kurang dibayar, maka Pemotong
Pajak terlebih dahulu melunasi jumlah pajak yang kurang dibayar tersebut;atau
b. pajak yang lebih dibayar, maka diajukan
permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak
terutang sebagaimana diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur
mengenai tata cara pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya
tidak terutang atas kelebihan pembayaran pajak.
(5) Pembetulan
SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat dilakukan dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan
pemeriksaan.
Pasal 10
(1) Pembetulan
SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 harus disampaikan dalam bentuk formulir
kertas (hard copy) dalam hal SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 yang
dibetulkan telah disampaikan oleh Pemotong Pajak dalam bentuk formulir kertas
(hard copy).
(2) Pembetulan
SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 harus disampaikan dalam bentuk dokumen
elektronik dalam hal SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 yang dibetulkan
telah disampaikan oleh Pemotong Pajak dalam bentuk dokumen elektronik.
Pasal 11
Tata
cara pengisian, penyampaian dan pembetulan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal
26 serta tata cara penerbitan, pembetulan dan pembatalan Bukti Pemotongan
adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
Pasal 12
Pemberlakuan
ketentuan Peraturan Direktur Jenderal ini dilakukan secara bertahap terhadap
Pemotong Pajak yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 13
Pada
saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku:
a. bagi
Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12:
1. ketentuan
selain bentuk formulir SPT Masa dan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau
Pasal 26; dan
2. ketentuan
untuk pembetulan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 untuk Masa Pajak
sebelum Pemotong Pajak ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak,
tetap mengacu pada
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-53/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4 Ayat (2), Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 15, Pasal 22, Pasal 23 dan/atau
Pasal 26 serta Bukti Pemotongan/Pemungutannya.
b. bagi
Pemotong Pajak yang belum ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-53/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Penghasilan Final Pasal 4 Ayat (2), Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan
Pasal 15, Pasal 22, Pasal 23 dan/atau Pasal 26 serta Bukti
Pemotongan/Pemungutannya tetap berlaku
Pasal 14
Peraturan
Direktur Jenderal ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan
di Jakarta
pada tanggal 31 Maret 2017
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd.
KEN DWIJUGIASTEADI
pada tanggal 31 Maret 2017
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd.
KEN DWIJUGIASTEADI
Lampiran PER-04/PJ/2017 Tanggal 31 Maret 2017 Tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian dan Penyampaian SPT Masa PPh Pasal 23 dan atau Pasal 26 Serta Bentuk Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 dan atau 26 selengkapnya silahkan KLIK DISINI
- Status PER-04/PJ/2017 Tanggal 31 Maret 2017 Tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian dan Penyampaian SPT Masa PPh Pasal 23 dan atau Pasal 26 Serta Bentuk Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 dan atau 26 adalah sebagai berikut :
- PER-04/PJ/2017 Tanggal 31 Maret 2017 mulai berlaku sejak tanggal 31 Maret 2017.
- Peraturan Yang Perlu Diketahui :