PMK Nomor 7 Tahun 2025 Tentang Pedoman Pemeriksaan Dan Penagihan Pajak Daerah
PMK Nomor 7 Tahun 2025 Tanggal 21 Januari 2025 Tentang Pedoman Pemeriksaan Dan Penagihan Pajak Daerah mengatur tentang :
- Pedoman Pemeriksaan Pajak Daerah.
- Pedoman Penagihan Pajak Daerah.
PMK Nomor 7 Tahun 2025 Tanggal 21 Januari 2025 Tentang Pedoman Pemeriksaan Dan Penagihan Pajak Daerah selengkapnya :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 2025
TENTANG
PEDOMAN PEMERIKSAAN DAN PENAGIHAN PAJAK DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 73 ayat (5) dan Pasal 84 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pedoman Pemeriksaan dan Penagihan Pajak Daerah;
Mengingat :
1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 61 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 225, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6994);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
4. Peraturan Presiden Nomor 158 Tahun 2024 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 358);
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124 Tahun 2024 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 1063);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PEMERIKSAAN DAN PENAGIHAN PAJAK DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
2. Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah kabupaten atau wali kota bagi daerah kota.
3. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4. Pejabat Pajak yang selanjutnya disebut Pejabat adalah kepala organisasi perangkat daerah yang memiliki tugas dan fungsi pemungutan Pajak.
5. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan retribusi daerah.
6. Pejabat Pemeriksa Pajak yang selanjutnya disebut Pejabat Pemeriksa adalah pejabat fungsional pengawas keuangan negara di lingkungan Pemerintah Daerah yang diberikan tugas dan ruang lingkup kegiatan untuk melakukan Pemeriksaan di bidang Pajak.
7. Petugas Pemeriksa Pajak yang selanjutnya disebut Petugas Pemeriksa adalah pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Daerah yang ditunjuk oleh Kepala Daerah, diberi tugas, wewenang, tanggung jawab, dan memiliki kemampuan untuk melaksanakan Pemeriksaan.
8. Pemeriksa Pajak yang selanjutnya disebut Pemeriksa adalah Pejabat Pemeriksa dan/atau Petugas Pemeriksa di lingkungan Pemerintah Daerah, yang diberikan tugas dan ruang lingkup kegiatan untuk melakukan Pemeriksaan di bidang Pajak.
9. Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Kepala Daerah paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang.
10. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
11. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
12. Data Konkret adalah data yang diperoleh atau dimiliki Pemerintah Daerah yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban Pajak Wajib Pajak.
13. Data Elektronik adalah data yang dikelola secara elektronik, yang dihasilkan oleh komputer dan/atau pengolah data elektronik lainnya dan disimpan dalam media penyimpanan elektronik.
14. Dokumen adalah buku, catatan, dan/atau dokumen lain termasuk Data Elektronik serta keterangan lain yang diperlukan dalam pelaksanaan Pemeriksaan.
15. Analisis Risiko adalah kegiatan yang dilakukan untuk menilai tingkat ketidakpatuhan Wajib Pajak yang berisiko menimbulkan hilangnya potensi penerimaan Pajak.
16. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
17. Pemeriksaan Lapangan adalah Pemeriksaan yang dilakukan di tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak, tempat kegiatan usaha Wajib Pajak, dan/atau tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa.
18. Pemeriksaan Kantor adalah Pemeriksaan yang dilakukan di kantor instansi pelaksana pemungut Pajak dan retribusi daerah dan/atau kantor-kantor di lingkungan Pemerintah Daerah.
19. Kertas Kerja Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat KKP adalah catatan secara rinci dan jelas yang dibuat oleh tim Pemeriksa mengenai prosedur Pemeriksaan yang ditempuh, data, keterangan, dan/atau bukti yang diperoleh, pengujian yang dilakukan, simpulan, dan hal- hal lain yang dianggap perlu yang berkaitan dengan Pemeriksaan.
20. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat PAHP adalah pembahasan antara Wajib Pajak dan Pemeriksa atas temuan Pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam berita acara PAHP yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan berisi koreksi pokok Pajak terutang baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui dan perhitungan sanksi administrasi.
21. Laporan Hasil Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat LHP adalah laporan yang berisi tentang pelaksanaan dan hasil Pemeriksaan yang disusun oleh Pemeriksa secara ringkas dan jelas serta sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan Pemeriksaan.
22. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
23. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan adalah surat pemberitahuan mengenai dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan daerah.
24. Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor adalah surat panggilan yang disampaikan kepada Wajib Pajak untuk menghadiri Pemeriksaan Kantor dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
25. Surat Perintah Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat SP2 adalah surat perintah untuk melakukan Pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
26. Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan adalah tim yang dibentuk oleh Kepala Daerah dalam rangka membahas hasil Pemeriksaan yang terbatas pada dasar hukum koreksi yang belum disepakati antara Pemeriksa dan Wajib Pajak dalam PAHP guna menghasilkan Pemeriksaan yang berkualitas.
27. Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat SPHP adalah surat yang berisi tentang temuan Pemeriksaan yang meliputi pos-pos yang dikoreksi, nilai koreksi, dasar koreksi, perhitungan sementara dari jumlah pokok Pajak terutang dan perhitungan sementara dari sanksi administrasi.
28. Kuesioner Pemeriksaan adalah formulir yang berisikan sejumlah pertanyaan dan penilaian oleh Wajib Pajak yang terkait dengan pelaksanaan Pemeriksaan.
29. Penyegelan adalah tindakan menempatkan tanda segel pada tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang digunakan atau patut diduga digunakan sebagai tempat atau alat untuk menyimpan Dokumen dan benda-benda lain.
30. Pihak Ketiga adalah pihak yang memiliki keterangan atau bukti yang ada hubungannya dengan tindakan Wajib Pajak, pekerjaan, kegiatan usaha, antara lain bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, konsultan hukum, konsultan keuangan, pelanggan, pemasok, kantor administrasi, atau pihak lainnya.
31. Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disebut dengan SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
32. Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
33. Laporan Hasil Pemeriksaan Sumir yang selanjutnya disebut LHP Sumir adalah laporan tentang penghentian Pemeriksaan tanpa adanya usulan penerbitan surat ketetapan Pajak.
34. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
35. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
36. Pemeriksaan Bukti Permulaan Terbuka adalah Pemeriksaan Bukti Permulaan yang didahului dengan penyampaian surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
37. Pemeriksaan Bukti Permulaan Tertutup adalah Pemeriksaan Bukti Permulaan yang dilakukan tidak dengan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
38. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah yang selanjutnya disebut Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
39. Pemeriksaan Ulang adalah Pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang telah diterbitkan SKPD dari hasil Pemeriksaan sebelumnya untuk jenis Pajak dan Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang sama.
40. Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan daerahnya.
41. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah SKPD yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
42. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah SKPD yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan.
43. Penagihan adalah serangkaian tindakan agar penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
44. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
45. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan daerah.
46. Jurusita Pajak yang selanjutnya disebut Jurusita adalah pelaksana tindakan Penagihan yang meliputi Penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan surat paksa, penyitaan, dan penyanderaan.
47. Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda dan/atau kenaikan yang tercantum dalam SKPD, atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
48. Biaya Penagihan Pajak adalah biaya pelaksanaan surat paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, pengumuman Lelang, pembatalan Lelang, jasa penilai, dan biaya lainnya sehubungan dengan Penagihan Pajak.
49. Barang adalah tiap benda atau hak yang dapat dijadikan objek sita.
50. Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat LJK adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan.
51. Pemblokiran adalah tindakan pengamanan Barang milik Penanggung Pajak yang dikelola oleh LJK dengan tujuan agar terhadap Barang dimaksud tidak terdapat perubahan apapun, selain penambahan jumlah atau nilai.
52. Lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga secara lisan, tertulis, dan/atau media dalam jaringan (online) melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli.
53. Kantor Lelang adalah kantor yang berwenang melaksanakan penjualan secara Lelang.
54. Penyitaan adalah tindakan Jurusita untuk menguasai Barang Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi Utang Pajak menurut peraturan perundang-undangan.
55. Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
56. Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu.
57. Objek Sita adalah Barang Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang dapat dijadikan jaminan Utang Pajak.
58. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan yang terutang kepada Wajib Pajak.
59. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah SKPD yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
60. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah SKPD yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
61. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang terdapat dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
62. Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau memperingatkan Wajib Pajak untuk melunasi Utang Pajaknya.
63. Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh Utang Pajak dari semua jenis Pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.
64. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh Pihak Ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
65. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan Pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
66. Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak.
67. Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Pejabat untuk melaksanakan penyitaan.
68. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
BAB II
PEMERIKSAAN
Bagian Kesatu
Kewenangan Pemeriksaan
Pasal 2
(1) Kepala Daerah berwenang melakukan Pemeriksaan.
(2) Kewenangan Kepala Daerah untuk melakukan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada Pejabat yang ditunjuk.
(3) Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kepala organisasi perangkat daerah yang memiliki tugas dan fungsi pemungutan Pajak.
Bagian Kedua
Tujuan Pemeriksaan
Pasal 3
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) bertujuan untuk:
a. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak; dan
b. tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak dan retribusi daerah.
Bagian Ketiga
Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Pajak
Paragraf 1
Ruang Lingkup, Kriteria, dan Jenis Pemeriksaan
Pasal 4
Ruang lingkup Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dapat meliputi satu, beberapa, atau seluruh jenis Pajak, baik untuk satu atau beberapa Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dalam tahun- tahun sebelumnya maupun tahun berjalan.
Pasal 5
(1) Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dilakukan dalam hal:
a. Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak;
b. terdapat keterangan lain berupa Data Konkret yang menunjukkan bahwa Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; atau
c. Wajib Pajak yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan Analisis Risiko.
(2) Analisis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan dengan mempertimbangkan perilaku dan kepatuhan Wajib Pajak yang meliputi:
a. kepatuhan penyampaian SPTPD;
b. kepatuhan dalam melunasi Pajak terutang; dan
c. kepatuhan dalam membayar Utang Pajak Masa Pajak/Tahun Pajak sebelumnya.
Pasal 6
(1) Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan dan/atau Pemeriksaan Kantor.
(2) Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan oleh Pejabat Pemeriksa dengan memperhatikan ketersediaan Pejabat Pemeriksa pada Pemerintah Daerah.
(3) Dalam hal Pejabat Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum tersedia atau jumlahnya belum mencukupi kebutuhan Pemeriksaan, Kepala Daerah dapat menugaskan Petugas Pemeriksa untuk melaksanakan Pemeriksaan.
(4) Dalam hal diperlukan, Kepala Daerah dapat menunjuk tenaga ahli untuk membantu proses Pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Pemeriksa dan/atau Petugas Pemeriksa berdasarkan surat tugas yang diterbitkan oleh Kepala Daerah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Kepala Daerah.
Paragraf 2
Standar Pemeriksaan
Pasal 7
(1) Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak harus dilaksanakan sesuai dengan standar Pemeriksaan.
(2) Standar Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai ukuran mutu Pemeriksaan yang merupakan capaian minimum yang harus dicapai dalam melaksanakan Pemeriksaan.
(3) Standar Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi standar umum Pemeriksaan, standar pelaksanaan Pemeriksaan, dan standar pelaporan hasil Pemeriksaan.
Pasal 8
(1) Standar umum Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) merupakan standar yang bersifat pribadi dan berkaitan dengan persyaratan Pemeriksa yang berlaku untuk Pejabat Pemeriksa dan/atau Petugas Pemeriksa.
(2) Persyaratan untuk Pejabat Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai jabatan fungsional di bidang keuangan negara.
(3) Persyaratan untuk Petugas Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. minimal lulusan Diploma I dengan pangkat minimal Pengatur Muda (II/a) atau minimal lulusan SMA dengan pangkat minimal Pengatur Muda Tingkat I (II/b);
b. telah mengikuti dan lulus pendidikan dan/atau pelatihan teknis terkait Pemeriksaan;
c. memiliki kemampuan melakukan Pemeriksaan;
d. cermat dan saksama dalam menggunakan keterampilannya sebagai Pemeriksa;
e. jujur dan bersih dari tindakan-tindakan tercela serta senantiasa mengutamakan kepentingan negara;
f. taat terhadap berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
g. telah mengikuti dan lulus sertifikasi Pemeriksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Kemampuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c sampai dengan huruf f ditentukan berdasarkan penilaian Kepala Daerah.
(5) Pemenuhan sertifikasi Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf g dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 9
Pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak harus dilakukan sesuai standar pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3), yaitu:
a. pelaksanaan Pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, yang paling sedikit meliputi kegiatan mengumpulkan dan mempelajari data Wajib Pajak, menyusun rencana Pemeriksaan, dan menyusun program Pemeriksaan, serta mendapat pengawasan yang saksama;
b. Pemeriksaan dilaksanakan dengan melakukan pengujian berdasarkan metode dan teknik Pemeriksaan sesuai dengan program Pemeriksaan yang telah disusun;
c. temuan hasil Pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
d. Pemeriksaan dilakukan oleh suatu tim Pemeriksa yang terdiri dari seorang supervisor, seorang ketua tim, dan seorang atau lebih anggota tim, dan dalam keadaan tertentu ketua tim dapat merangkap sebagai anggota tim, yang ditetapkan dalam SP2 atau perubahannya;
e. tim Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam huruf d dapat dibantu oleh 1 (satu) orang atau lebih tenaga ahli yang memiliki keahlian tertentu seperti dalam bidang bahasa, teknologi informasi, dan/atau hukum yang diutamakan berasal dari Pemerintah Daerah.
f. Pemeriksaan dapat dilaksanakan di kantor Pemerintah Daerah, tempat tinggal atau kedudukan Wajib Pajak, tempat kegiatan usaha Wajib Pajak, dan/atau tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa;
g. Pemeriksaan dilaksanakan pada jam kerja dan apabila diperlukan dapat dilanjutkan di luar jam kerja; dan
h. pelaksanaan Pemeriksaan didokumentasikan dalam bentuk KKP.
Pasal 10
KKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf h berfungsi sebagai:
a. bukti bahwa Pemeriksaan telah dilaksanakan sesuai standar pelaksanaan Pemeriksaan;
b. bahan dalam melakukan PAHP dengan Wajib Pajak mengenai temuan hasil Pemeriksaan;
c. dasar pembuatan LHP;
d. sumber data atau informasi bagi penyelesaian keberatan atau banding yang diajukan oleh Wajib Pajak; dan
e. referensi untuk Pemeriksaan berikutnya.
Pasal 11
(1) Kegiatan Pemeriksaan dituangkan dalam LHP yang disusun sesuai standar pelaporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3).
(2) Standar pelaporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu:
a. LHP disusun secara ringkas dan jelas yang menggambarkan informasi mengenai ruang lingkup, pos- pos yang diperiksa sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, simpulan Pemeriksa yang didukung temuan yang kuat tentang ada atau tidak adanya penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan, dan pengungkapan informasi lain yang terkait dengan Pemeriksaan.
b. LHP minimal memuat:
1. penugasan Pemeriksaan;
2. identitas Wajib Pajak;
3. Pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak;
4. pemenuhan kewajiban Pajak;
5. data/informasi yang tersedia;
6. Dokumen yang dipinjam;
7. materi yang diperiksa;
8. uraian hasil Pemeriksaan;
9. ikhtisar hasil Pemeriksaan;
10. penghitungan Pajak terutang; dan
11. simpulan dan usul Pemeriksa.
Paragraf 3
Kewajiban dan Kewenangan Pemeriksa
Pasal 12
Dalam melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak, Pemeriksa wajib:
a. menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan kepada Wajib Pajak dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor;
b. memperlihatkan tanda pengenal Pemeriksa dan SP2 kepada Wajib Pajak pada saat melakukan Pemeriksaan;
c. memperlihatkan SP2 perubahan kepada Wajib Pajak apabila susunan keanggotaan tim Pemeriksa mengalami perubahan;
d. melakukan pertemuan dengan Wajib Pajak dalam rangka memberikan penjelasan mengenai:
1. alasan dan tujuan Pemeriksaan;
2. hak dan kewajiban Wajib Pajak selama dan setelah pelaksanaan Pemeriksaan;
3. hak Wajib Pajak mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan dalam hal terdapat hasil Pemeriksaan yang terbatas pada dasar hukum koreksi yang belum disepakati antara Pemeriksa dengan Wajib Pajak pada saat PAHP, kecuali untuk Pemeriksaan atas keterangan lain berupa Data Konkret; dan
4. kewajiban dari Wajib Pajak untuk memenuhi permintaan Dokumen, yang dipinjam dari Wajib Pajak;
e. menuangkan penjelasan sebagaimana dimaksud pada huruf d dalam berita acara pertemuan dengan Wajib Pajak;
f. menyampaikan SPHP kepada Wajib Pajak;
g. memberikan hak untuk hadir kepada Wajib Pajak dalam rangka PAHP pada waktu yang telah ditentukan;
h. menyampaikan Kuesioner Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;
i. melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban Pajaknya dengan menyampaikan saran secara tertulis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah;
j. mengembalikan Dokumen yang dipinjam dari Wajib Pajak; dan
k. merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan oleh Wajib Pajak kepada Pemeriksa dalam rangka pemeriksaan kepada pihak lain yang tidak berhak.
Pasal 13
(1) Dalam melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksa berwenang:
a. memeriksa dan/atau meminjam Dokumen yang berhubungan dengan pendapatan yang diperoleh, kegiatan usaha, dan/atau objek yang terutang Pajak;
b. mengakses, menyalin, dan/atau mengunduh Data Elektronik yang berhubungan dengan pendapatan usaha yang diperoleh, kegiatan usaha dan/atau objek yang terutang Pajak;
c. memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan Dokumen, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang pendapatan yang diperoleh, kegiatan usaha, dan/atau objek yang terutang Pajak;
d. meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, meliputi:
1. menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila dalam mengakses Data Elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus;
2. memberikan bantuan kepada Pemeriksa untuk membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau
3. menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan di tempat Wajib Pajak;
e. melakukan Penyegelan tempat atau ruang tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak;
f. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak;
g. meminjam KKP yang dibuat oleh akuntan publik melalui Wajib Pajak; dan
h. meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari Pihak Ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa.
(2) Dalam melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa berwenang:
a. memanggil Wajib Pajak untuk datang ke kantor di lingkungan Pemerintah Daerah dengan menggunakan Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor;
b. memeriksa dan/atau meminjam Dokumen yang berhubungan dengan pendapatan yang diperoleh, kegiatan usaha, dan/atau objek yang terutang Pajak;
c. meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
d. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak;
e. meminjam KKP yang dibuat oleh akuntan publik melalui Wajib Pajak; dan
f. meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari Pihak Ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui Pejabat.
Paragraf 4
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak
Pasal 14
Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak, Wajib Pajak berhak:
a. meminta kepada Pemeriksa untuk memperlihatkan tanda pengenal Pemeriksa dan SP2;
b. meminta kepada Pemeriksa untuk memberikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan;
c. meminta kepada Pemeriksa untuk memperlihatkan SP2 perubahan apabila susunan keanggotaan tim Pemeriksa mengalami perubahan;
d. meminta kepada Pemeriksa untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan;
e. menerima SPHP;
f. menghadiri PAHP pada waktu yang telah ditentukan;
g. mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan, dalam hal masih terdapat hasil Pemeriksaan yang terbatas pada dasar hukum koreksi yang belum disepakati antara Pemeriksa dengan Wajib Pajak pada saat PAHP, kecuali untuk Pemeriksaan atas keterangan lain berupa Data Konkret; dan
h. memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa melalui pengisian Kuesioner Pemeriksaan.
Pasal 15
(1) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak wajib:
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan Dokumen yang berhubungan dengan pendapatan yang diperoleh, kegiatan usaha, dan/atau objek yang terutang Pajak;
b. memberikan kesempatan kepada Pemeriksa untuk mengakses, menyalin, dan/atau mengunduh Data Elektronik yang berhubungan dengan kegiatan usaha dan/atau objek yang terutang Pajak;
c. memberikan kesempatan kepada Pemeriksa untuk memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan Dokumen, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang pendapatan yang diperoleh, kegiatan usaha, dan/atau objek yang terutang Pajak serta meminjamkannya kepada Pemeriksa;
d. memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, yang dapat berupa:
1. menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila dalam mengakses Data Elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus;
2. memberikan bantuan kepada Pemeriksa untuk membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau
3. menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan di tempat Wajib Pajak;
e. menyampaikan tanggapan secara tertulis atas SPHP;
f. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan; dan
g. meminjamkan KKP yang dibuat oleh akuntan publik.
(2) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak wajib:
a. memenuhi panggilan untuk menghadiri Pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan;
b. memperlihatkan dan/atau meminjamkan Dokumen yang berhubungan dengan pendapatan yang diperoleh, kegiatan usaha, atau objek yang terutang;
c. memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
d. menyampaikan tanggapan secara tertulis atas SPHP;
e. meminjamkan KKP yang dibuat oleh akuntan publik ; dan
f. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.
Paragraf 5
Jangka Waktu Pemeriksaan
Pasal 16
(1) Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dilakukan dalam jangka waktu Pemeriksaan yang meliputi:
a. jangka waktu pengujian; dan
b. jangka waktu PAHP dan pelaporan.
(2) Dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling lama 3 (tiga) bulan kalender, terhitung sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
(3) Dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling lama 3 (tiga) bulan kalender, terhitung sejak tanggal Wajib Pajak, wakil, kuasa dari Wajib Pajak, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak datang memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
(4) Jangka waktu PAHP dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling lama 1 (satu) bulan kalender, yang dihitung sejak tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, sampai dengan tanggal LHP.
Pasal 17
(1) Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan kalender.
(2) Perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
a. Pemeriksaan Lapangan diperluas ke Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak lainnya;
b. terdapat konfirmasi atau permintaan data dan/atau keterangan kepada Pihak Ketiga;
c. ruang lingkup Pemeriksaan Lapangan meliputi seluruh jenis Pajak; dan/atau
d. berdasarkan pertimbangan Pejabat.
Pasal 18
(1) Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan kalender.
(2) Perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
a. Pemeriksaan Kantor diperluas ke Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak lainnya;
b. terdapat konfirmasi atau permintaan data dan/atau keterangan kepada Pihak Ketiga;
c. ruang lingkup Pemeriksaan Kantor meliputi seluruh jenis Pajak; dan/atau
d. berdasarkan pertimbangan Pejabat.
Pasal 19
(1) Dalam hal dilakukan perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 atau Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pejabat harus menyampaikan pemberitahuan perpanjangan jangka waktu pengujian dimaksud secara tertulis kepada Wajib Pajak.
(2) Dalam hal jangka waktu perpanjangan pengujian Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir, SPHP harus disampaikan kepada Wajib Pajak.
Pasal 20
Dalam hal Pemeriksaan dilakukan karena Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18 harus memperhatikan jangka waktu penyelesaian permohonan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak.
Paragraf 6
SP2 dan Surat Perubahan Tim Pemeriksa
Pasal 21
(1) Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dilakukan oleh Pemeriksa yang tergabung dalam suatu tim Pemeriksa berdasarkan SP2.
(2) SP2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan untuk satu atau beberapa Masa Pajak dalam suatu bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang sama atau untuk satu bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak terhadap satu Wajib Pajak.
(3) Dalam hal susunan tim Pemeriksa diubah, Pejabat harus menerbitkan perubahan SP2.
Paragraf 7
Pemberitahuan dan Panggilan Pemeriksaan, dan Pertemuan dengan Wajib Pajak
Pasal 22
(1) Dalam hal Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksa wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak mengenai dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan.
(2) Dalam hal Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak mengenai dilakukannya Pemeriksaan Kantor dengan menyampaikan Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor.
(3) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan untuk Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebagaimana tercantum dalam SP2.
Pasal 23
(1) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dapat disampaikan secara langsung kepada Wajib Pajak pada saat dimulainya Pemeriksaan Lapangan atau disampaikan melalui pos atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman.
(2) Dalam hal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Wajib Pajak tidak berada di tempat, Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dapat disampaikan kepada:
a. wakil atau kuasa dari Wajib Pajak; atau
b. pihak yang dapat mewakili Wajib Pajak, yaitu:
1. pegawai dari Wajib Pajak yang menurut Pemeriksa dapat mewakili Wajib Pajak, dalam hal Pemeriksaan dilakukan terhadap Wajib Pajak Badan;
2. anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang menurut Pemeriksa dapat mewakili Wajib Pajak, dalam hal Pemeriksaan dilakukan terhadap Wajib Pajak orang pribadi; atau
3. pihak selain sebagaimana dimaksud angka 1 dan angka 2 yang dapat mewakili Wajib Pajak.
(3) Dalam hal wakil atau kuasa dari Wajib Pajak atau pihak yang dapat mewakili Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat ditemui, Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan melalui pos atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman dan surat pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dianggap telah disampaikan dan Pemeriksaan Lapangan telah dimulai.
(4) Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) disampaikan melalui pos atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman.
Pasal 24
(1) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak, Pemeriksa wajib melakukan pertemuan dengan Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d.
(2) Pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dilakukan dengan wakil atau kuasa dari Wajib Pajak.
(3) Dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dilakukan setelah Pemeriksa menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan.
(4) Dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dilakukan pada saat Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak datang memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor.
(5) Setelah melakukan pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), Pemeriksa wajib membuat berita acara hasil pertemuan, yang ditandatangani oleh Pemeriksa dan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak.
(6) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani berita acara hasil pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pemeriksa membuat catatan mengenai penolakan tersebut pada berita acara hasil pertemuan.
(7) Dalam hal Pemeriksa telah menandatangani berita acara hasil pertemuan dan membuat catatan mengenai penolakan penandatanganan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (6), pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dianggap telah dilaksanakan.
Pasal 25
(1) Pemeriksa dapat melakukan peminjaman Dokumen kepada Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan Lapangan dan/atau Pemeriksaan Kantor.
(2) Ruang lingkup peminjaman Dokumen meliputi peminjaman dan pengembalian Dokumen.
(3) Dalam hal Pemeriksaan dilaksanakan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, daftar Dokumen yang diperlukan untuk dipinjam oleh Pemeriksa, harus dilampirkan pada Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor.
(4) Tata cara mengenai peminjaman Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Kepala Daerah.
Paragraf 8
Penyegelan
Pasal 26
(1) Pemeriksa berwenang melakukan Penyegelan untuk memperoleh atau mengamankan Dokumen dan benda- benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha Wajib Pajak agar tidak dipindahkan, dihilangkan, dimusnahkan, diubah, dirusak, ditukar, atau dipalsukan.
(2) Penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila pada saat pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan:
a. Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak yang diperiksa tidak memberi kesempatan kepada Pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruang serta memeriksa barang bergerak dan/atau tidak bergerak, yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan Dokumen, termasuk hasil pengolahan data dari Pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi dalam jaringan yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha Wajib Pajak;
b. Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak yang diperiksa menolak memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan yang dapat berupa tidak memberi kesempatan kepada Pemeriksa untuk mengakses Data Elektronik atau membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak;
c. Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak yang diperiksa tidak berada di tempat dan tidak ada pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang mempunyai kewenangan untuk bertindak selaku pihak yang mewakili Wajib Pajak, sehingga diperlukan upaya pengamanan Pemeriksaan sebelum Pemeriksaan ditunda; atau
d. Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak yang diperiksa tidak berada di tempat dan pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang mempunyai kewenangan untuk bertindak selaku pihak yang mewakili Wajib Pajak menolak memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan.
Pasal 27
(1) Penyegelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dilakukan dengan menggunakan tanda segel.
(2) Penyegelan dilakukan oleh Pemeriksa dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa selain anggota tim Pemeriksa.
(3) Dalam melakukan Penyegelan, Pemeriksa wajib membuat berita acara Penyegelan.
(4) Berita acara Penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditandatangani oleh Pemeriksa dan sekurang- kurangnya 2 (dua) orang saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) Berita acara Penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat 2 (dua) rangkap dan rangkap kedua diserahkan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang diperiksa.
(6) Dalam hal saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menolak menandatangani berita acara Penyegelan, Pemeriksa membuat catatan tentang penolakan tersebut dalam berita acara Penyegelan.
(7) Dalam melaksanakan Penyegelan, Pemeriksa dapat berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Pemerintah Daerah setempat.
(8) Wajib Pajak dilarang merusak, mencabut, atau menghilangkan segel; mengakses, mengubah, atau menghapus Dokumen yang ditempatkan pada tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak termasuk media penyimpanan data yang disegel.
Pasal 28
(1) Pembukaan segel dilakukan apabila:
a. Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau pihak yang dapat mewakili Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf b telah memberi izin kepada Pemeriksa untuk membuka atau memasuki tempat atau ruangan, barang bergerak atau tidak bergerak yang disegel, dan/atau telah memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
b. berdasarkan pertimbangan Pemeriksa, Penyegelan tidak diperlukan lagi; dan/atau
c. terdapat permintaan dari penyidik yang sedang melakukan penyidikan tindak pidana.
(2) Pembukaan segel harus dilakukan oleh Pemeriksa dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa selain anggota tim Pemeriksa.
(3) Dalam keadaan tertentu, pembukaan segel dapat dibantu oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Pemerintah Daerah setempat.
(4) Dalam hal tanda segel yang digunakan untuk melakukan Penyegelan rusak atau hilang, Pemeriksa harus membuat berita acara mengenai kerusakan atau kehilangan dan melaporkannya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(5) Dalam melakukan pembukaan segel, Pemeriksa membuat berita acara pembukaan segel yang ditandatangani oleh Pemeriksa dan saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(6) Dalam hal saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menolak menandatangani berita acara pembukaan segel, Pemeriksa membuat catatan tentang penolakan tersebut dalam berita acara pembukaan segel.
(7) Berita acara pembukaan segel dibuat 2 (dua) rangkap dan rangkap kedua diserahkan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
Pasal 29
(1) Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal Penyegelan atau jangka waktu lain dengan mempertimbangkan tujuan Penyegelan, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak tetap tidak memberi izin kepada Pemeriksa untuk membuka atau memasuki tempat atau ruangan, barang bergerak atau tidak bergerak yang disegel, dan/atau tidak memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, Wajib Pajak dianggap menolak dilakukan Pemeriksaan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak dianggap menolak dilakukan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak wajib menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemeriksa membuat dan menandatangani berita acara mengenai penolakan tersebut.
Paragraf 9
Penolakan Pemeriksaan
Pasal 30
(1) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Lapangan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak menyatakan menolak untuk dilakukan Pemeriksaan, termasuk menolak menerima Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak harus menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksa membuat berita acara penolakan Pemeriksaan yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa.
(3) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak tidak ada di tempat maka:
a. Pemeriksaan tetap dapat dilakukan sepanjang terdapat pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang dapat dan mempunyai kewenangan untuk mewakili Wajib Pajak, terbatas pada hal yang berada dalam kewenangannya; atau
b. Pemeriksaan ditunda untuk dilanjutkan pada kesempatan berikutnya.
(4) Untuk keperluan pengamanan Pemeriksaan, sebelum dilakukan penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, Pemeriksa dapat melakukan Penyegelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1).
(5) Apabila setelah dilakukan Penyegelan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1), Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak tetap tidak berada di tempat dan/atau tidak memberi izin kepada Pemeriksa untuk membuka atau memasuki tempat atau ruangan, barang bergerak atau tidak bergerak, dan/atau tidak memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, Pemeriksa meminta kepada pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak untuk membantu kelancaran Pemeriksaan.
(6) Dalam hal pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menolak untuk membantu kelancaran Pemeriksaan, Pemeriksa meminta pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak untuk menandatangani surat penolakan membantu kelancaran Pemeriksaan.
(7) Dalam hal pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak menolak untuk menandatangani surat penolakan membantu kelancaran Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Pemeriksa membuat berita acara penolakan membantu kelancaran Pemeriksaan yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa.
Pasal 31
(1) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Kantor untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor namun menyatakan menolak untuk dilakukan Pemeriksaan, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak harus menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksa membuat berita acara penolakan Pemeriksaan yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa.
(3) Apabila dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan kalender sejak Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor disampaikan kepada Wajib Pajak dan surat panggilan tersebut tidak dikembalikan oleh pos atau jasa pengiriman lainnya dan Wajib Pajak tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa membuat berita acara tidak dipenuhinya panggilan Pemeriksaan oleh Wajib Pajak yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa.
Paragraf 10
Pengungkapan Ketidakbenaran Pengisian Surat Pemberitahuan Selama Pemeriksaan
Pasal 32
(1) Wajib Pajak dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri secara tertulis mengenai ketidakbenaran pengisian SPTPD yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, sepanjang Pemeriksa belum menyampaikan SPHP.
(2) Pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan ke kantor instansi pelaksana pemungut Pajak dan retribusi daerah tempat Wajib Pajak terdaftar.
(3) Laporan tersendiri secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak dan dilampiri dengan:
a. penghitungan Pajak yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya; dan
b. SSPD atas pelunasan Pajak yang kurang dibayar serta sanksi administrasi berupa bunga.
(4) Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengakibatkan kekurangan pembayaran Pajak maka pengungkapan tersebut tidak perlu dilampiri dengan SSPD.
Pasal 33
(1) Untuk membuktikan pengungkapan ketidakbenaran dalam laporan tersendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), Pemeriksaan tetap dilanjutkan dan atas hasil Pemeriksaan diterbitkan SKPD dengan mempertimbangkan laporan tersendiri tersebut serta memperhitungkan pokok Pajak yang telah dibayar.
(2) Dalam hal hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuktikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPTPD oleh Wajib Pajak tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, SKPD diterbitkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
(3) Dalam hal hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuktikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPTPD oleh Wajib Pajak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, SKPD diterbitkan sesuai dengan pengungkapan Wajib Pajak.
Paragraf 11
Penjelasan Wajib Pajak dan Permintaan Keterangan kepada Pihak Ketiga
Pasal 34
(1) Untuk memperoleh penjelasan yang lebih rinci, Pemeriksa melalui Pejabat dapat memanggil Wajib Pajak, wakil, kuasa dari Wajib Pajak, pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak melalui penyampaian surat panggilan.
(2) Dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, penjelasan yang lebih rinci sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan pada saat pelaksanaan Pemeriksaan di tempat Wajib Pajak.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) yang diberikan kepada Pemeriksa, dituangkan dalam berita acara mengenai pemberian penjelasan Wajib Pajak yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa dan Wajib Pajak, wakil, kuasa dari Wajib Pajak, pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
(4) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, kuasa dari Wajib Pajak, pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemeriksa membuat catatan penolakan tersebut dalam berita acara dimaksud.
(5) Dalam hal diperlukan informasi tambahan terkait penjelasan yang disampaikan oleh Wajib Pajak, wakil, kuasa dari Wajib Pajak, pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, Pemeriksa melalui Pejabat dapat meminta keterangan kepada Pihak Ketiga.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai permintaan penjelasan Wajib Pajak dan permintaan keterangan kepada Pihak Ketiga diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
Paragraf 12
Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan dan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan
Pasal 35
(1) Hasil Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak harus diberitahukan kepada Wajib Pajak melalui penyampaian SPHP yang dilampiri dengan daftar temuan hasil Pemeriksaan.
(2) SPHP dan daftar temuan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Pemeriksa secara langsung atau melalui pos atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman.
(3) Dalam hal SPHP disampaikan secara langsung dan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak untuk menerima SPHP, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak harus menandatangani surat penolakan menerima SPHP.
(4) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani surat penolakan menerima SPHP sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemeriksa membuat berita acara penolakan menerima SPHP yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa.
(5) Dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor, penyampaian SPHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamaan dengan penyampaian undangan tertulis untuk menghadiri PAHP.
Pasal 36
(1) Wajib Pajak wajib memberikan tanggapan tertulis atas SPHP dan daftar temuan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dalam bentuk:
a. lembar pernyataan persetujuan hasil Pemeriksaan, dalam hal Wajib Pajak menyetujui seluruh hasil Pemeriksaan; atau
b. surat sanggahan, dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh hasil Pemeriksaan.
(2) Tanggapan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal diterimanya SPHP oleh Wajib Pajak.
(3) Wajib Pajak dapat melakukan perpanjangan jangka waktu penyampaian tanggapan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir.
(4) Untuk melakukan perpanjangan jangka waktu penyampaian tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak harus menyampaikan pemberitahuan tertulis sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir.
(5) Tanggapan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan oleh Wajib Pajak secara langsung atau melalui faksimile, surat elektronik, pos, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman.
(6) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan tanggapan tertulis atas SPHP, Pemeriksa membuat berita acara tidak disampaikannya tanggapan tertulis atas SPHP yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa.
Pasal 37
(1) Dalam rangka melaksanakan PAHP yang tercantum dalam SPHP dan daftar temuan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) kepada Wajib Pajak harus diberikan hak hadir dalam PAHP.
(2) Hak hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan melalui penyampaian undangan secara tertulis kepada Wajib Pajak dengan mencantumkan hari dan tanggal dilaksanakannya PAHP.
(3) Undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan kepada Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak:
a. diterimanya tanggapan tertulis atas SPHP dari Wajib Pajak sesuai jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) atau ayat (3); atau
b. berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3), dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan tanggapan tertulis atas SPHP.
(4) Undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disampaikan oleh Pemeriksa secara langsung atau melalui faksimile, surat elektronik, pos, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman.
Pasal 38
(1) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak:
a. menyampaikan lembar pernyataan persetujuan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) atau ayat (3);
b. hadir dalam PAHP sesuai dengan hari dan tanggal yang tercantum dalam undangan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2),
Pemeriksa membuat risalah pembahasan dengan mendasarkan pada lembar pernyataan persetujuan hasil Pemeriksaan dan membuat berita acara PAHP yang dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir, yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa dan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak.
(2) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak:
a. menyampaikan lembar pernyataan persetujuan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) atau ayat (3); dan
b. tidak hadir dalam PAHP sesuai dengan hari dan tanggal yang tercantum dalam undangan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2),
Pemeriksa membuat risalah pembahasan berdasarkan lembar pernyataan persetujuan hasil Pemeriksaan, berita acara ketidakhadiran Wajib Pajak dalam PAHP, dan berita acara PAHP yang dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir, yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa.
(3) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak:
a. menyampaikan surat sanggahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) atau ayat (3); dan
b. hadir dalam PAHP sesuai undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2),
Pemeriksa harus melakukan PAHP dengan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak dengan mendasarkan pada surat sanggahan dan menuangkan hasil pembahasan tersebut dalam risalah pembahasan, yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa dan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak.
(4) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak:
a. menyampaikan surat sanggahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) atau ayat (3); dan
b. tidak hadir dalam PAHP sesuai dengan hari dan tanggal yang tercantum dalam undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2),
Pemeriksa membuat risalah pembahasan berdasarkan surat sanggahan, berita acara ketidakhadiran Wajib Pajak dalam PAHP, dan berita acara PAHP yang dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir, yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa.
(5) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak:
a. tidak menyampaikan tanggapan tertulis atas SPHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) atau ayat (3); dan
b. hadir dalam PAHP sesuai undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2),
Pemeriksa tetap melakukan PAHP dengan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak, dan menuangkan hasil pembahasan tersebut dalam risalah pembahasan, yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa dan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak.
(6) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak:
a. tidak menyampaikan tanggapan tertulis atas SPHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) atau ayat (3); dan
b. tidak hadir dalam PAHP sesuai dengan hari dan tanggal yang tercantum dalam undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2),
Pemeriksa membuat risalah pembahasan berdasarkan SPHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), berita acara ketidakhadiran Wajib Pajak dalam PAHP, dan berita acara PAHP yang dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir, yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa.
Pasal 39
(1) Dalam hal terdapat hasil Pemeriksaan yang belum disepakati dalam risalah pembahasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) atau ayat (5) dan Wajib Pajak mengajukan permohonan pembahasan dengan Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan, berita acara PAHP yang dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir dibuat setelah pembahasan dengan Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan dilaksanakan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan pembahasan dengan Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan, berita acara PAHP yang dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir dibuat berdasarkan risalah pembahasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) atau ayat (5).
(3) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani risalah pembahasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) atau ayat (5), dan/atau berita acara PAHP yang dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir sebagaimana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemeriksa membuat catatan mengenai penolakan tersebut.
Pasal 40
(1) Dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam PAHP pada hari dan tanggal sesuai undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), PAHP dianggap telah dilakukan.
(2) Dalam hal PAHP dianggap telah dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berita acara PAHP yang dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir ditandatangani oleh tim Pemeriksa.
Pasal 41
(1) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pembahasan dengan Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), Wajib Pajak menyampaikan surat permohonan kepada Pejabat.
(2) Permohonan pembahasan dengan Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan, apabila:
a. risalah pembahasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) atau ayat (5) telah ditandatangani oleh tim Pemeriksa dan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak;
b. berita acara PAHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) belum ditandatangani oleh tim Pemeriksa dan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak; dan
c. terdapat perbedaan pendapat yang terbatas pada dasar hukum koreksi antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa pada saat PAHP.
(3) Surat permohonan pembahasan dengan Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan secara langsung atau melalui faksimile, surat elektronik, pos, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak penandatanganan risalah pembahasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) atau ayat (5).
Pasal 42
(1) Susunan Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan diusulkan oleh organisasi perangkat daerah pemungut Pajak kepada Kepala Daerah dan terdiri dari:
a. 1 (satu) orang ketua;
b. 1 (satu) orang sekretaris; dan
c. 3 (tiga) orang anggota.
(2) Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pejabat dan/atau pegawai di lingkungan Pemerintah Daerah yang ditetapkan oleh sekretaris daerah atas nama Kepala Daerah.
(3) Susunan Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melibatkan unsur inspektorat daerah yang bersangkutan.
Pasal 43
Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) bertugas untuk:
a. membahas perbedaan pendapat yang terbatas pada dasar hukum koreksi antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa pada saat PAHP;
b. memberikan simpulan dan keputusan atas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa; dan
c. membuat risalah Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan yang berisi simpulan dan keputusan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada huruf b dan bersifat mengikat kepada Pemeriksa.
Pasal 44
(1) Berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3), Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan harus menyampaikan undangan kepada Wajib Pajak dan Pemeriksa untuk melakukan pembahasan atas hasil Pemeriksaan yang belum disepakati dalam risalah pembahasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) atau ayat (5).
(2) Undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan secara langsung atau melalui faksimile, surat elektronik, pos, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman.
Pasal 45
(1) Pembahasan dengan Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan dilakukan bersama dengan tim Pemeriksa, dan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak.
(2) Dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam pembahasan dengan Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan sesuai dengan hari dan tanggal yang tercantum dalam undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), pembahasan dengan Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan harus tetap dilakukan oleh Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan dan tim Pemeriksa.
Pasal 46
Pelaksanaan PAHP antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) atau ayat (5) serta pelaksanaan pembahasan dengan Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 harus mempertimbangkan jangka waktu PAHP dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4).
Pasal 47
(1) Hasil pembahasan dengan Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan harus dituangkan dalam risalah Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak hadir dalam pembahasan dengan Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan, risalah Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan, tim Pemeriksa, dan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak.
(3) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak hadir dalam pembahasan dengan Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan namun Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani risalah Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan membuat:
a. berita acara penolakan penandatanganan risalah Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang ditandatangani oleh Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan, tim Pemeriksa, dan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak.
b. risalah Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang ditandatangani oleh Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan dan tim Pemeriksa.
(4) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani berita acara penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan membuat:
a. berita acara penolakan dilakukan Penjaminan Mutu Pemeriksaan yang ditandatangi oleh Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan dan tim Pemeriksa.
b. risalah Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang ditandatangani oleh Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan dan tim Pemeriksa.
(5) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak tidak hadir dalam pembahasan dengan Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan sesuai dengan hari dan tanggal yang tercantum dalam undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan membuat:
a. berita acara ketidakhadiran Wajib Pajak dalam pembahasan dengan Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan; dan
b. risalah Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
yang ditandatangani oleh Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan dan tim Pemeriksa.
(6) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak:
a. hadir dalam pembahasan, namun menolak menandatangani risalah Tim Penjaminan Mutu atau menolak menandatangani berita acara penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, atau
b. tidak hadir dalam pembahasan,
pada hari dan tanggal sesuai undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), pembahasan dengan Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan dianggap telah dilakukan.
Pasal 48
Risalah pembahasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3) atau ayat (5) dan risalah Tim Penjaminan Mutu Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) digunakan oleh Pemeriksa sebagai dasar untuk membuat berita acara PAHP yang dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir.
Pasal 49
(1) Dalam rangka menandatangani berita acara PAHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, Pemeriksa melalui Pejabat memanggil Wajib Pajak dengan mengirimkan surat panggilan untuk menandatangani berita acara PAHP.
(2) Surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan secara langsung atau melalui faksimile, surat elektronik, pos, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman.
(3) Dalam hal surat panggilan disampaikan secara langsung dan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak untuk menerima surat panggilan tersebut, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak harus menandatangani surat penolakan menerima surat panggilan untuk menandatangani berita acara PAHP.
(4) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemeriksa membuat berita acara penolakan menerima surat panggilan untuk menandatangani berita acara PAHP yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa.
Pasal 50
(1) Wajib Pajak harus memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah surat panggilan untuk menandatangani berita acara PAHP diterima oleh Wajib Pajak.
(2) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1), namun menolak menandatangani berita acara PAHP, Pemeriksa membuat catatan mengenai penolakan penandatanganan pada berita acara PAHP.
(3) Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada dalam Pasal 49 ayat (1), Pemeriksa membuat catatan pada berita acara PAHP mengenai tidak dipenuhinya panggilan.
Paragraf 13
Pelaporan Hasil Pemeriksaan
Pasal 51
(1) LHP disusun berdasarkan KKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(2) Risalah pembahasan, risalah Tim Penjaminan Mutu, dan/atau berita acara PAHP, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari LHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) LHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh Pemeriksa sebagai dasar untuk membuat nota penghitungan.
(4) Nota penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan sebagai dasar penerbitan SKPD atau STPD.
(5) Pajak yang terutang dalam SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sesuai dengan PAHP, kecuali:
a. dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam PAHP tetapi menyampaikan lembar pernyataan persetujuan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2), Pajak yang terutang dihitung sesuai dengan lembar pernyataan persetujuan hasil Pemeriksaan;
b. dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam PAHP tetapi menyampaikan surat sanggahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4), Pajak yang terutang dihitung berdasarkan SPHP dengan jumlah yang tidak disetujui sesuai dengan surat sanggahan Wajib Pajak;
c. dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam PAHP dan tidak menyampaikan tanggapan tertulis atas SPHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (6), Pajak yang terutang dihitung berdasarkan SPHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dan Wajib Pajak dianggap menyetujui hasil Pemeriksaan
Paragraf 14
Penyelesaian Pemeriksaan
Pasal 52
Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak diselesaikan dengan cara:
a. menghentikan Pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir; atau
b. membuat LHP, sebagai dasar penerbitan SKPD dan/atau STPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.
Pasal 53
Penyelesaian Pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf a dilakukan dalam hal:
a. Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang diperiksa:
1. tidak ditemukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan kalender sejak tanggal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan diterbitkan; atau
2. tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan kalender sejak tanggal Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor diterbitkan;.
b. Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor yang ditangguhkan karena ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan Terbuka dan Pemeriksaan Bukti Permulaan Terbuka tersebut:
1. dilanjutkan dengan Penyidikan tetapi Penyidikannya dihentikan karena peristiwanya telah kedaluwarsa; atau
2. dilanjutkan dengan Penyidikan dan penuntutan serta telah terdapat putusan pengadilan mengenai tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa Wajib Pajak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dan salinan putusan pengadilan tersebut telah diterima oleh Kepala Daerah;.
c. Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor yang ditangguhkan karena ditindaklanjuti dengan Penyidikan sebagai tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan Tertutup dan Penyidikan tersebut dilanjutkan dengan penuntutan serta telah terdapat putusan pengadilan mengenai tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa Wajib Pajak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dan salinan putusan pengadilan tersebut telah diterima oleh Kepala Daerah; atau
d. Pemeriksaan Ulang tidak mengakibatkan adanya tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan dalam SKPD sebelumnya.
Pasal 54
(1) Penyelesaian Pemeriksaan dengan membuat LHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf b, dilakukan dalam hal:
a. Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan ditemukan atau memenuhi panggilan Pemeriksaan, dan Pemeriksaan dapat diselesaikan dalam jangka waktu Pemeriksaan;
b. Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan ditemukan atau memenuhi panggilan Pemeriksaan, dan pengujian kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak belum dapat diselesaikan sampai dengan:
1. berakhirnya perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1); atau
2. berakhirnya perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1);
c. Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan sehubungan dengan permohonan pengajuan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) huruf a:
1. tidak ditemukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan kalender sejak tanggal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan diterbitkan; atau
2. tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan kalender sejak tanggal Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor diterbitkan;
d. Wajib Pajak, wakil, atau kuasa Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan atas keterangan lain berupa Data Konkret sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (1) huruf b:
1. tidak ditemukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan kalender sejak tanggal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan diterbitkan; atau
2. tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan kalender sejak tanggal Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor diterbitkan;
e. Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor yang ditangguhkan karena ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan Terbuka dan atas Pemeriksaan Bukti Permulaan Terbuka tersebut:
1. dihentikan karena Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan Terbuka meninggal dunia;
2. dihentikan karena tidak ditemukan adanya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan;
3. dilanjutkan dengan Penyidikan namun Penyidikannya dihentikan karena tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, tersangka meninggal dunia; atau
4. dilanjutkan dengan Penyidikan dan penuntutan serta telah terdapat putusan pengadilan mengenai tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang memutus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dan salinan putusan pengadilan tersebut telah diterima oleh Kepala Daerah; atau
f. Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor yang ditangguhkan karena ditindaklanjuti dengan Penyidikan sebagai tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan Tertutup dan Penyidikan tersebut:
1. dihentikan karena tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, atau tersangka meninggal dunia; atau
2. dilanjutkan dengan penuntutan serta telah terdapat putusan pengadilan mengenai tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang memutus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dan salinan putusan pengadilan tersebut telah diterima oleh Kepala Daerah.
(2) Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor yang pengujiannya belum diselesaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, harus diselesaikan dengan menyampaikan SPHP dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak berakhirnya:
a. perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1); atau
b. perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1),
dan dilanjutkan tahapan Pemeriksaan sampai dengan pembuatan LHP.
Pasal 55
(1) Pemeriksaan yang dihentikan dengan membuat LHP Sumir karena Wajib Pajak tidak ditemukan atau tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf a, dapat dilakukan Pemeriksaan kembali apabila setelah diterbitkan LHP Sumir, Wajib Pajak ditemukan.
(2) Pajak terutang atas Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang tidak ditemukan atau tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf c dan huruf d ditetapkan secara jabatan.
Pasal 56
Pemeriksa berdasarkan:
a. surat pernyataan penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 ayat (1), atau Pasal 31 ayat (1);
b. berita acara penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3), Pasal 30 ayat (2), atau Pasal 31 ayat (2);
c. berita acara tidak dipenuhinya panggilan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3);
d. surat penolakan membantu kelancaran Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (6); atau
e. berita acara penolakan membantu kelancaran Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (7),
dapat melakukan penetapan Pajak secara jabatan atau mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Paragraf 15
Pembatalan Hasil Pemeriksaan
Pasal 57
(1) SKPD dari hasil Pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
a. penyampaian SPHP; atau
b. PAHP,
dapat dibatalkan oleh Kepala Daerah secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
(2) Dalam hal dilakukan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), proses Pemeriksaan harus dilanjutkan dengan melaksanakan penyampaian SPHP dan/atau PAHP.
(3) Prosedur penyampaian SPHP dan/atau pelaksanaan PAHP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini.
(4) Dalam hal Pemeriksaan yang dilanjutkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkait dengan permohonan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak, Pemeriksaan dilanjutkan dengan penerbitan:
a. SKPD sesuai dengan PAHP apabila jangka waktu belum melampaui 12 (dua belas) bulan kalender sejak diterimanya permohonan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak belum terlewati; atau
b. SKPDLB sesuai dengan SPTPD apabila jangka waktu 12 (dua belas) bulan kalender sejak diterimanya pengajuan permohonan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak.
(5) Dalam hal susunan keanggotaan tim Pemeriksa untuk melanjutkan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berbeda dengan susunan keanggotaan tim Pemeriksa sebelumnya, Pemeriksaan tersebut dilakukan setelah diterbitkan SP2 perubahan.
Paragraf 16
Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan dan Penangguhan Pemeriksaan
Pasal 58
(1) Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dapat diusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan Terbuka apabila:
a. pada saat pelaksanaan Pemeriksaan ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan; atau
b. Wajib Pajak menolak untuk dilakukan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 atau Pasal 31 dan terhadap Wajib Pajak tersebut tidak dilakukan penghitungan Pajak terutang secara jabatan.
(2) Dalam hal Pemeriksaan yang dilakukan merupakan Pemeriksaan atas pengajuan permohonan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak, usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan Terbuka harus memperhatikan jangka waktu penyelesaian permohonan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak tersebut.
Pasal 59
(1) Dalam hal usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan Terbuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) disetujui oleh Kepala Daerah, pelaksanaan Pemeriksaan ditangguhkan dengan membuat laporan kemajuan pemeriksaan sampai dengan:
a. Pemeriksaan Bukti Permulaan Terbuka dihentikan karena Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan Terbuka meninggal dunia;
b. Pemeriksaan Bukti Permulaan Terbuka dihentikan karena tidak ditemukan adanya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan;
c. Penyidikan dihentikan karena tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, tersangka meninggal dunia atau peristiwanya telah kedaluwarsa; atau
d. putusan pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan salinan putusan pengadilan tersebut telah diterima oleh Kepala Daerah.
(2) Penangguhan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak.
(3) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan bersamaan dengan disampaikannya surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan Terbuka.
(4) Dokumen terkait dengan Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan kepada pemeriksa Bukti Permulaan dengan membuat berita acara yang ditandatangani Pemeriksa dan pemeriksa Bukti Permulaan.
(5) Salinan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diserahkan kepada Wajib Pajak.
Pasal 60
(1) Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dilanjutkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, apabila:
a. Pemeriksaan Bukti Permulaan Terbuka dihentikan karena Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan Terbuka meninggal dunia;
b. Pemeriksaan Bukti Permulaan Terbuka dihentikan karena tidak ditemukan adanya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan;
c. Pemeriksaan Bukti Permulaan Terbuka dilanjutkan dengan Penyidikan dihentikan karena tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, tersangka meninggal dunia atau peristiwanya telah kedaluwarsa; atau
d. Pemeriksaan Bukti Permulaan Terbuka dilanjutkan dengan Penyidikan dan penuntutan serta telah terdapat putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang memutus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dan salinan putusan pengadilan tersebut telah diterima oleh Kepala Daerah.
(2) Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dihentikan dengan membuat LHP Sumir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf b, apabila:
a. Pemeriksaan Bukti Permulaan Terbuka dilanjutkan dengan Penyidikan tetapi Penyidikannya dihentikan karena peristiwanya telah kedaluwarsa; dan
b. Pemeriksaan Bukti Permulaan Terbuka dilanjutkan dengan Penyidikan dan penuntutan serta telah terdapat putusan pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa Wajib Pajak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dan salinan putusan pengadilan tersebut telah diterima oleh Kepala Daerah.
Pasal 61
(1) Dalam hal Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak juga dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara Tertutup, Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak ditangguhkan dengan membuat laporan kemajuan Pemeriksaan apabila Pemeriksaan Bukti Permulaan Tertutup ditindaklanjuti dengan Penyidikan.
(2) Penangguhan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan:
a. Penyidikan dihentikan karena tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, tersangka meninggal dunia atau peristiwanya telah kedaluwarsa; atau
b. putusan pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan salinan atas keputusan tersebut telah diterima oleh Kepala Daerah.
(3) Penangguhan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak.
(4) Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilanjutkan apabila:
a. Penyidikan dihentikan karena tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, tersangka meninggal dunia atau peristiwanya telah kedaluwarsa; atau
b. putusan pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yang memutus bebas atau lepas dari segala tuntuan hukum dan salinan atas keputusan tersebut telah diterima oleh Kepala Daerah.
(5) Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihentikan apabila:
a. Penyidikan dihentikan karena peristiwanya telah kedaluwarsa; atau
b. Penyidikan dilanjutkan dengan penuntutan dan putusan pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap selain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan salinan putusan pengadilan tersebut telah diterima oleh Kepala Daerah.
Pasal 62
(1) Dalam hal Pemeriksaan dilanjutkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) atau Pasal 61 ayat (4), jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, atau jangka waktu perpanjangan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 atau Pasal 18 diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
(2) Dalam hal Pemeriksaan dihentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) atau Pasal 61 ayat (5), Pemeriksa harus menyampaikan surat pemberitahuan penghentian Pemeriksaan kepada Wajib Pajak.
Paragraf 17
Pemeriksaan Ulang
Pasal 63
(1) Pemeriksaan Ulang hanya dapat dilakukan berdasarkan instruksi atau persetujuan Kepala Daerah.
(2) Instruksi atau persetujuan Kepala Daerah untuk melaksanakan Pemeriksaan Ulang dapat diberikan apabila terdapat data baru termasuk data yang semula belum terungkap.
(3) Dalam hal hasil Pemeriksaan Ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan adanya tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan dalam SKPD sebelumnya, Kepala Daerah menerbitkan SKPDKBT.
(4) Dalam hal hasil Pemeriksaan Ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengakibatkan adanya tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan dalam SKPD sebelumnya, Pemeriksaan Ulang dihentikan dengan membuat LHP Sumir dan kepada Wajib Pajak diberitahukan mengenai penghentian tersebut.
Bagian Keempat
Pemeriksaan untuk Tujuan Lain
Paragraf 1
Ruang Lingkup, Kriteria dan Jenis Pemeriksaan
Pasal 64
Ruang lingkup Pemeriksaan untuk tujuan lain dapat meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan.
Pasal 65
(1) Pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dengan kriteria paling sedikit:
a. pemberian NPWPD secara jabatan;
b. penghapusan NPWPD;
c. penyelesaian permohonan keberatan Wajib Pajak;
d. pencocokan data dan/atau alat keterangan; dan/atau
e. Pemeriksaan dalam rangka Penagihan Pajak.
(2) Pemeriksaan dalam rangka Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan untuk memperoleh data, keterangan dan bukti yang berkaitan dengan:
a. harta yang dimiliki Wajib Pajak/Penanggung Pajak;
b. proses timbulnya tunggakan pajak berdasarkan LHP, KKP dan atau Berita Acara Hasil Pemeriksaan;
c. kegiatan penagihan aktif yang dilakukan; dan
d. upaya hukum dari Wajib Pajak/Penanggung Pajak.
Pasal 66
(1) Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dapat dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Kepala Daerah.
Paragraf 2
Standar Pemeriksaan
Pasal 67
(1) Pemeriksaan untuk tujuan lain harus dilaksanakan sesuai dengan standar Pemeriksaan.
(2) Standar Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai ukuran mutu Pemeriksaan yang merupakan capaian minimum yang harus dicapai dalam melaksanakan Pemeriksaan.
(3) Standar Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi standar umum, standar pelaksanaan Pemeriksaan, dan standar pelaporan hasil Pemeriksaan.
Pasal 68
Standar umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3) adalah standar umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
Pasal 69
Standar pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3) meliputi:
a. pelaksanaan Pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik, sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, dan mendapat pengawasan yang saksama;
b. lingkup Pemeriksaan disesuaikan dengan kriteria dilakukannya Pemeriksaan untuk tujuan lain;
c. Pemeriksaan dilakukan oleh tim Pemeriksa yang terdiri dari 1 (satu) orang supervisor, 1 (satu) orang ketua tim, dan 1 (satu) orang atau lebih anggota tim, dan dalam keadaan tertentu ketua tim dapat merangkap sebagai anggota tim;
d. Pemeriksaan dapat dilaksanakan di kantor Pemerintah Daerah, tempat tinggal atau kedudukan Wajib Pajak, tempat kegiatan usaha Wajib Pajak, dan/atau tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa;
e. Pemeriksaan dilaksanakan pada jam kerja dan apabila diperlukan dapat dilanjutkan di luar jam kerja; dan
f. pelaksanaan Pemeriksaan didokumentasikan dalam bentuk KKP.
Pasal 70
(1) KKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf f disusun oleh Pemeriksa dan berfungsi sebagai:
a. bukti bahwa Pemeriksa telah melaksanakan Pemeriksaan berdasarkan standar Pemeriksaan; dan
b. dasar pembuatan LHP.
(2) KKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan gambaran mengenai:
a. data, keterangan, dan/atau bukti yang diperoleh;
b. prosedur Pemeriksaan yang dilaksanakan; dan
c. simpulan dan hal-hal lain yang dianggap perlu yang berkaitan dengan Pemeriksaan.
Pasal 71
Kegiatan Pemeriksaan untuk tujuan lain dilaporkan dalam bentuk LHP yang disusun sesuai standar pelaporan hasil Pemeriksaan, yaitu:
a. LHP disusun secara ringkas dan jelas, memuat ruang lingkup atau pos-pos yang diperiksa sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, memuat simpulan Pemeriksa dan memuat juga pengungkapan informasi lain yang terkait;
b. LHP untuk tujuan lain sekurang-kurangnya memuat:
1. penugasan pemeriksaan;
2. identitas wajib pajak;
3. dasar (tujuan) pemeriksaan;
4. Dokumen yang dipinjam;
5. media penyimpanan hasil salinan data elektronik wajib pajak;
6. materi yang diperiksa;
7. uraian hasil pemeriksaan; dan
8. simpulan dan usul Pemeriksa.
Paragraf 3
Kewajiban dan Kewenangan Pemeriksa
Pasal 72
Dalam melakukan Pemeriksaan untuk tujuan lain, Pemeriksa wajib:
a. menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan kepada Wajib Pajak dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor;
b. memperlihatkan tanda pengenal Pemeriksa dan SP2 kepada Wajib Pajak pada saat melakukan Pemeriksaan;
c. memperlihatkan SP2 perubahan kepada Wajib Pajak apabila susunan keanggotaan tim Pemeriksa mengalami perubahan;
d. menjelaskan alasan dan tujuan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang diperiksa;
e. menyampaikan Kuesioner Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;
f. mengembalikan Dokumen yang dipinjam dari Wajib Pajak; dan/atau
g. merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan.
Pasal 73
(1) Dalam melakukan Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksa berwenang:
a. memeriksa dan/atau meminjam Dokumen dengan tujuan Pemeriksaan;
b. mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;
c. memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan Dokumen dan/atau barang yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan;
d. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak; dan/atau
e. meminta keterangan dan/atau data yang diperlukan dari Pihak Ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui Pejabat.
(2) Dalam melakukan Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa berwenang:
a. memeriksa dan/atau meminjam Dokumen yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, atau objek yang terutang Pajak;
b. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak; dan/atau
c. meminta keterangan dan/atau data yang diperlukan dari Pihak Ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui Pejabat.
Paragraf 4
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak
Pasal 74
Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk tujuan lain, Wajib Pajak berhak:
a. meminta kepada Pemeriksa untuk memperlihatkan tanda pengenal Pemeriksa dan SP2 kepada Wajib Pajak pada waktu Pemeriksaan;
b. meminta kepada Pemeriksa untuk memberikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan, dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan;
c. meminta kepada Pemeriksa untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan;
d. meminta kepada Pemeriksa untuk memperlihatkan SP2 perubahan apabila terdapat perubahan susunan Tim Pemeriksa; dan/atau
e. memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa melalui pengisian Kuesioner Pemeriksaan.
Pasal 75
(1) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak wajib:
a. memperlihatkan dan meminjamkan Dokumen yang berhubungan dengan tujuan Pemeriksaan;
b. memberi kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh Data Elektronik;
c. memberi kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang penyimpanan Dokumen dan/atau barang yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan serta meminjamkannya kepada Pemeriksa; dan/atau
d. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis serta memberikan data dan/atau keterangan lain yang diperlukan.
(2) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak wajib:
a. memperlihatkan dan meminjamkan Dokumen yang berhubungan dengan tujuan Pemeriksaan; dan/atau
b. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis serta memberikan data dan/atau keterangan lain yang diperlukan.
Paragraf 5
Jangka Waktu Pemeriksaan
Pasal 76
(1) Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Lapangan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan kalender yang dihitung sejak tanggal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, sampai dengan tanggal LHP.
(2) Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Kantor dilakukan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, datang memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal dalam LHP.
(3) Dalam hal jangka waktu Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) berakhir, Pemeriksaan harus diselesaikan.
Paragraf 6
SP2 dan Surat Perubahan Tim Pemeriksa
Pasal 77
(1) Pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan oleh Pemeriksa yang tergabung dalam suatu tim Pemeriksa berdasarkan SP2.
(2) SP2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan untuk satu atau beberapa Masa Pajak dalam suatu bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang sama atau untuk satu bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak terhadap satu Wajib Pajak.
(3) Dalam hal susunan tim Pemeriksa diubah, Pejabat harus menerbitkan perubahan SP2.
Paragraf 7
Pemberitahuan dan Panggilan Pemeriksaan, dan Pertemuan dengan Wajib Pajak
Pasal 78
(1) Dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksa wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak mengenai dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan.
(2) Dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak mengenai dilakukannya Pemeriksaan Kantor dengan menyampaikan Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor.
(3) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan untuk Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebagaimana tercantum dalam SP2.
Pasal 79
(1) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) dapat disampaikan secara langsung kepada Wajib Pajak pada saat dimulainya Pemeriksaan Lapangan atau disampaikan melalui pos, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman.
(2) Dalam hal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan secara langsung dan Wajib Pajak tidak berada di tempat, Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dapat disampaikan kepada:
a. wakil atau kuasa dari Wajib Pajak; atau
b. pihak yang dapat mewakili Wajib Pajak, yaitu:
1. pegawai dari Wajib Pajak yang menurut Pemeriksa dapat mewakili Wajib Pajak, dalam hal Pemeriksaan dilakukan terhadap Wajib Pajak Badan; atau
2. anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang menurut Pemeriksa dapat mewakili Wajib Pajak, dalam hal Pemeriksaan dilakukan terhadap Wajib Pajak orang pribadi.
3. pihak selain sebagaimana dimaksud angka 1 dan angka 2 yang dapat mewakili Wajib Pajak.
(3) Dalam hal wakil atau kuasa dari Wajib Pajak atau pihak yang dapat mewakili Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat ditemui, Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan melalui pos, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman dan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dianggap telah disampaikan dan Pemeriksaan Lapangan telah dimulai.
(4) Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) dapat disampaikan melalui pos atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman.
Paragraf 8
Peminjaman Dokumen
Pasal 80
(1) Dokumen yang dipinjam harus disesuaikan dengan tujuan dan kriteria Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65.
(2) Peminjaman Dokumen dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
Paragraf 9
Penolakan Pemeriksaan
Pasal 81
(1) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Lapangan untuk tujuan lain menyatakan menolak untuk dilakukan Pemeriksaan termasuk menolak menerima Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak harus menandatangani surat penolakan Pemeriksaan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani surat penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksa membuat berita acara penolakan Pemeriksaan yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa.
Pasal 82
(1) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Kantor untuk tujuan lain memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor namun menyatakan menolak untuk dilakukan Pemeriksaan, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak harus menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksa membuat berita acara penolakan Pemeriksaan yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa.
Pasal 83
(1) Berdasarkan surat pernyataan penolakan Pemeriksaan atau berita acara penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dan Pasal 82, Wajib Pajak diberi NPWPD secara jabatan dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dalam rangka pemberian NPWPD.
(2) Berdasarkan surat pernyataan penolakan Pemeriksaan atau berita acara penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dan Pasal 82, permohonan Wajib Pajak tidak dikabulkan dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dalam rangka penghapusan NPWPD.
Paragraf 10
Penjelasan Wajib Pajak dan Permintaan Keterangan kepada Pihak Ketiga
Pasal 84
(1) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk tujuan lain, melalui Pejabat, Pemeriksa juga dapat memanggil Wajib Pajak untuk memperoleh penjelasan yang lebih rinci atau meminta keterangan dan/atau bukti yang berkaitan dengan Pemeriksaan kepada pihak ketiga.
(2) Permintaan keterangan kepada Wajib Pajak atau kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kelima
Penyampaian Kuesioner Pemeriksaan Dan Pengembalian Dokumen
Pasal 85
(1) Dalam rangka meningkatkan kualitas dan akuntabilitas Pemeriksaan, Pemeriksa wajib menyampaikan Kuesioner Pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang diperiksa.
(2) Dalam hal Pemeriksaan yang dilakukan merupakan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak, penyampaian Kuesioner Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat pertemuan dengan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
(3) Dalam hal Pemeriksaan yang dilakukan merupakan Pemeriksaan untuk tujuan lain, penyampaian Kuesioner Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada saat penyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan atau pada saat Wajib Pajak datang memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor.
Pasal 86
Dokumen yang dipinjam harus dikembalikan kepada Wajib Pajak dengan menggunakan bukti peminjaman dan pengembalian Dokumen paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal LHP.
Bagian Keenam
Ketentuan Lain terkait Pemeriksaan
Pasal 87
Pemeriksa tidak dapat dikenai sanksi dalam hal Pemeriksaan yang dilakukan telah sesuai dengan standar Pemeriksaan, serta dilaksanakan berdasarkan iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
Pasal 88
Ketentuan lebih lanjut mengenai Tata Cara Pemeriksaan Pajak ditetapkan dalam Peraturan Kepala Daerah.
BAB III
PENAGIHAN
Bagian Kesatu
Pejabat dan Jurusita
Pasal 89
(1) Dalam rangka melaksanakan Penagihan, Kepala Daerah berwenang menunjuk Pejabat untuk melaksanakan Penagihan.
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. mengangkat dan memberhentikan Jurusita; dan
b. menerbitkan:
1. Surat Teguran;
2. surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;
3. Surat Paksa;
4. Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan;
5. surat pengusulan Pencegahan;
6. surat perintah Penyanderaan;
7. surat pencabutan sita;
8. pengumuman Lelang;
9. surat penentuan harga limit;
10. pembatalan Lelang; dan
11. surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan Penagihan Pajak.
(3) Dalam rangka penerbitan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Pejabat dapat mendelegasikan kewenangan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Jurusita sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a bertugas:
a. melaksanakan surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;
b. memberitahukan Surat Paksa;
c. melaksanakan Penyitaan atas barang Penanggung Pajak berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan; dan
d. melaksanakan Penyanderaan berdasarkan surat perintah Penyanderaan.
Pasal 90
(1) Jurusita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) huruf a merupakan pejabat fungsional pengawas keuangan negara di lingkungan Pemerintah Daerah yang memiliki tugas dan ruang lingkup kegiatan untuk melakukan Penagihan di bidang Pajak.
(2) Persyaratan untuk Jurusita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai jabatan fungsional di bidang keuangan negara.
(3) Dalam hal pejabat fungsional pengawas keuangan negara di lingkungan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ada atau jumlahnya belum mencukupi, Pejabat dapat mengangkat Jurusita dari pegawai negeri sipil di lingkungan kantor Pejabat yang memiliki kemampuan dan diberi tugas, wewenang, tanggung jawab untuk melaksanakan Penagihan.
(4) Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk diangkat menjadi Jurusita sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit meliputi:
a. berijazah serendah-rendahnya Sekolah Menengah Umum atau yang sederajat;
b. berpangkat serendah-rendahnya Pengatur Muda/Golongan II/a;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. mengikuti pendidikan atau pelatihan Jurusita;
e. memiliki kemampuan melakukan Penagihan; dan
f. telah mengikuti dan lulus sertifikasi di bidang Penagihan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Kemampuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf e ditentukan berdasarkan penilaian Pejabat.
(6) Pemenuhan sertifikasi di bidang Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 91
Sebelum memangku jabatannya, Jurusita sebagaimana dimaksud dalam pasal 90 ayat (1) dan ayat (3), diambil sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya oleh Pejabat sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 92
Jurusita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 diberhentikan apabila:
a. meninggal dunia;
b. pensiun;
c. alih tugas atau kepentingan dinas lainnya;
d. lalai atau tidak cakap dalam menjalankan tugas;
e. melakukan perbuatan tercela;
f. melanggar sumpah atau janji Jurusita; atau
g. tidak cakap jasmani dan/atau rohani.
Bagian Kedua
Penanggung Pajak
Pasal 93
Penagihan Pajak dilakukan terhadap:
a. Penanggung Pajak atas Wajib Pajak orang pribadi; atau
b. Penanggung Pajak atas Wajib Pajak Badan.
Pasal 94
Penagihan Pajak terhadap Penanggung Pajak atas Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 huruf a dilakukan terhadap:
a. orang pribadi bersangkutan yang bertanggung jawab atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
b. istri/suami dari Wajib Pajak orang pribadi bersangkutan yang bertanggung jawab atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dalam hal tidak terdapat perjanjian pemisahan harta suami istri.
c. seorang ahli waris, pelaksana wasiat, atau pihak yang mengurus harta peninggalan dari Wajib Pajak yang telah meninggal dunia dan harta warisan belum terbagi yang bertanggungjawab atas Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sebesar:
1. jumlah harta warisan yang belum terbagi dalam hal Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sama atau lebih besar dari pada harta warisan yang belum terbagi; atau
2. seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dalam hal Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak lebih kecil dari pada harta warisan yang belum terbagi;
d. para ahli waris dari Wajib Pajak yang telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi yang bertanggung jawab atas Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sebesar:
1. porsi harta warisan yang diterima oleh masing-masing ahli waris, dalam hal Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sama atau lebih besar dari pada harta warisan yang telah dibagi; atau
2. seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dalam hal Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak lebih kecil dari pada harta warisan yang telah terbagi;
e. wali bagi anak yang belum dewasa yang bertanggung jawab atas Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sebesar:
1. jumlah harta anak yang belum dewasa yang berada dalam perwaliannya dalam hal Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sama atau lebih besar dari pada jumlah harta anak yang belum dewasa yang berada dalam perwaliannya; atau
2. seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, dalam hal:
a) Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak lebih kecil daripada jumlah harta anak yang belum dewasa yang berada dalam perwaliannya; atau
b) Pejabat dapat membuktikan bahwa wali yang bersangkutan mendapat manfaat dari pelaksanaan kepengurusan harta anak yang belum dewasa yang berada dalam perwaliannya;
f. pengampu bagi orang yang berada dalam pengampuan yang bertanggung jawab atas Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sebesar:
1. jumlah harta orang yang berada dalam pengampuannya dalam hal Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sama atau lebih besar dari pada jumlah harta orang yang berada dalam pengampuannya; atau
2. seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, dalam hal:
a) Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak lebih kecil daripada jumlah harta orang yang berada dalam pengampuannya; atau
b) Pejabat dapat membuktikan bahwa pengampu yang bersangkutan mendapat manfaat dari pelaksanaan kepengurusan harta orang yang berada dalam pengampuannya.
Pasal 95
(1) Penagihan Pajak terhadap Penanggung Pajak atas Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 huruf b dilakukan terhadap:
a. Wajib Pajak Badan bersangkutan yang bertanggung jawab atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak; dan
b. pengurus dari Wajib Pajak Badan yang bertanggung jawab atas Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak.
(2) Penagihan Pajak terhadap pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan terhadap:
a. untuk perseroan terbatas:
1. direksi yang meliputi:
a) direktur utama, presiden direktur atau jabatan yang setingkat;
b) wakil direktur utama atau jabatan yang setingkat; dan/atau
c) direktur yang mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan di bidang keuangan,
bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
2. dewan komisaris yang meliputi:
a) komisaris utama atau presiden komisaris atau jabatan yang setingkat;
b) wakil komisaris utama atau jabatan yang setingkat; dan/atau
c) komisaris lainnya,
bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
3. orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan untuk menjalankan kegiatan usaha pada perseroan terbatas, bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
4. pemegang saham dengan ketentuan sebagai berikut:
a) untuk perseroan terbatas terbuka, meliputi:
1) pemegang saham mayoritas dan/atau pemegang saham pengendali, yang atas sahamnya tidak tercatat dan tidak diperdagangkan di bursa efek;
2) pemegang saham lainnya selain pemegang saham sebagaimana dimaksud pada angka 1), yang atas sahamnya tidak tercatat dan tidak diperdagangkan di bursa efek; dan/atau
3) pemegang saham mayoritas tidak langsung dan/atau pemegang saham pengendali tidak langsung;
b) untuk perseroan terbatas tertutup meliputi:
1) seluruh pemegang saham dari perseroan terbatas; dan/atau
2) pemegang saham mayoritas tidak langsung dan/atau pemegang saham pengendali tidak langsung,
bertanggung jawab atas Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak secara proporsional berdasarkan porsi kepemilikan saham terhadap Utang Pajak Wajib Pajak Badan;
b. untuk bentuk usaha tetap, meliputi:
1. kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, atau jabatan yang setingkat, bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
2. perusahaan induk dari bentuk usaha tetap, bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
3. orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan untuk menjalankan kegiatan usaha pada bentuk usaha tetap, bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak; dan/atau
4. pemilik modal, bertanggung jawab atas Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak secara proporsional berdasarkan porsi kepemilikan modal terhadap Utang Pajak Wajib Pajak Badan;
c. untuk persekutuan komanditer, meliputi:
1. sekutu komplementer/sekutu aktif/sekutu pengurus, bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
2. orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan untuk menjalankan kegiatan usaha pada persekutuan komanditer, bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak; dan/atau
3. sekutu komanditer/sekutu pasif, bertanggung jawab atas Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak secara proporsional berdasarkan porsi kepemilikan modal terhadap Utang Pajak Wajib Pajak Badan;
d. untuk persekutuan perdata dan persekutuan firma, meliputi:
1. para sekutu; dan/atau
2. orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan untuk menjalankan kegiatan usaha pada persekutuan perdata dan persekutuan firma,
bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
e. untuk koperasi, meliputi:
1. pengurus;
2. pengawas; dan/atau
3. orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan untuk menjalankan kegiatan usaha pada koperasi,
bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
f. untuk yayasan, meliputi:
1. ketua atau jabatan yang setingkat;
2. sekretaris;
3. bendahara;
4. pembina;
5. pengawas; dan/atau
6. orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan untuk menjalankan kegiatan usaha pada yayasan,
bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
g. untuk kerja sama operasi, meliputi:
1. pejabat atau jabatan yang setingkat, bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
2. orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan untuk menjalankan kegiatan usaha pada kerja sama operasi, bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak; dan/atau
3. pemilik modal, bertanggung jawab atas Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak secara proporsional berdasarkan porsi kepemilikan modal terhadap Utang Pajak Wajib Pajak Badan;
h. untuk Badan lainnya, meliputi:
1. pejabat atau jabatan yang setingkat, bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
2. orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan untuk menjalankan kegiatan Badan, bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak; dan/atau
3. pemilik modal, bertanggung jawab atas Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak secara proporsional berdasarkan porsi kepemilikan saham atau modal terhadap Utang Pajak Wajib Pajak Badan;
i. untuk satuan kerja instansi pemerintah, meliputi:
1. kepala instansi pemerintah;
2. kuasa pengguna anggaran;
3. pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan; dan/atau
4. orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam satuan kerja,
bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak.
(3) Dalam hal Wajib Pajak Badan memiliki cabang, pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, termasuk kepala cabang yang bertanggungjawab atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dari cabang yang bersangkutan.
(4) Termasuk pengertian orang yang nyata-nyata sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf i yakni:
a. orang yang berwenang menandatangani kontrak dengan pihak ketiga dan/atau menandatangani cek;
b. orang yang berwenang mengangkat, menggantikan, atau memberhentikan anggota direksi, anggota dewan komisaris, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pengurus, pengawas, pimpinan, atau jabatan setingkat; dan/atau
c. orang yang berwenang atau berkuasa untuk mempengaruhi atau mengendalikan Wajib Pajak Badan tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun.
(5) Termasuk pengertian pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a yakni pemilik sebenarnya atas saham.
(6) Termasuk pengertian pemilik modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf g, dan huruf h yakni pemilik sebenarnya atas modal.
(7) Pelaksanaan tindakan penagihan Pajak dilakukan terhadap Penanggung Pajak atas Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) secara berurutan.
(8) Dalam hal terdapat perubahan atau penggantian pengurus yang tercantum dalam akta, penagihan Pajak dilakukan terlebih dahulu terhadap pengurus yang namanya tercantum dalam akta perubahan kemudian terhadap pengurus yang namanya tercantum dalam akta sebelumnya.
(9) Untuk pengurus yang namanya tidak tercantum dalam akta, urutan penagihan Pajak tetap mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(10) Urutan Penanggung Pajak atas Wajib Pajak Badan untuk dilakukan tindakan penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7), ayat (8), dan ayat (9), tidak berlaku dalam hal:
a. Objek Sita tidak dapat ditemukan;
b. terjadi Penyitaan atas Barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga;
c. dilakukan tindakan Penagihan Seketika dan Sekaligus;
d. hak untuk melakukan penagihan Pajak atas Utang Pajak akan kedaluwarsa dalam jangka waktu kurang dari 2 (dua) tahun;
e. berdasarkan data dan informasi terdapat indikasi Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
f. terdapat tanda-tanda bahwa Badan akan dibubarkan, digabungkan, dimekarkan, dipindahtangankan, atau dilakukan perubahan bentuk lainnya;
g. terdapat tanda-tanda kepailitan dan/atau dalam keadaan pailit;
h. terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia; atau
i. Penanggung Pajak dapat meyakinkan Pejabat dengan membuktikan bahwa kedudukannya tidak dapat dibebani Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak.
Pasal 96
(1) Penagihan Pajak dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 huruf b yang:
a. dinyatakan pailit;
b. dibubarkan, dilikuidasi, atau status badan hukumnya berakhir;
c. dilakukan penggabungan;
d. dilakukan peleburan; dan/atau
e. dilakukan pemisahan.
(2) Dalam hal harta kekayaan Wajib Pajak yang dinyatakan pailit tidak mencukupi untuk melunasi Utang Pajak, tindakan penagihan Pajak dilakukan kepada Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) huruf b.
(3) Setelah Wajib Pajak dibubarkan, dilikuidasi, atau status badan hukumnya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, tindakan penagihan Pajak tetap dapat dilakukan kepada Penanggung Pajak.
(4) Dalam hal Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, atau pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sampai dengan huruf e, tindakan penagihan Pajak dilakukan kepada Penanggung Pajak atas Wajib Pajak yang masih memiliki Utang Pajak sebelum dilakukan penggabungan, peleburan, atau pemisahan, kecuali dapat meyakinkan Pejabat dengan membuktikan bahwa kedudukannya tidak dapat dibebani Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak.
Bagian Ketiga
Tata Cara Penagihan
Paragraf 1
Dasar Penagihan dan Tindakan Penagihan
Pasal 97
(1) Setiap Wajib Pajak wajib membayar Utang Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Utang Pajak yang tercantum dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding atau dokumen lain yang dipersamakan merupakan dasar Penagihan Pajak.
(3) Atas dasar Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang belum jatuh tempo pembayaran atau pelunasan, Pejabat dapat melakukan imbauan.
(4) Atas Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan untuk mengangsur atau menunda pembayaran Utang Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(5) Dalam hal Wajib Pajak tidak melunasi Utang Pajak setelah lewat jatuh tempo pembayaran atau pelunasan, Pejabat dan/atau Jurusita dapat melakukan serangkaian tindakan Penagihan Pajak.
Pasal 98
(1) Serangkaian tindakan Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (5) terdiri atas:
a. penerbitan Surat Teguran;
b. penerbitan surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;
c. penerbitan dan pemberitahuan Surat Paksa;
d. pelaksanaan Penyitaan;
e. penjualan Barang sitaan;
f. pengusulan Pencegahan; dan/atau
g. pelaksanaan Penyanderaan.
(2) Penjualan Barang sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan dengan:
a. pengumuman Lelang dan Lelang untuk Barang sitaan yang dilakukan penjualan secara Lelang; dan/atau
b. penggunaan, penjualan, dan/atau pemindahbukuan Barang sitaan, untuk Barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara Lelang.
Pasal 99
(1) Pejabat menerbitkan Surat Teguran setelah lewat waktu 5 (lima) hari kerja sejak saat jatuh tempo pembayaran Utang Pajak, dalam hal Wajib Pajak tidak melunasi Utang Pajak.
(2) Apabila setelah lewat waktu 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal Surat Teguran disampaikan, Penanggung Pajak belum melunasi Utang Pajak, Surat Paksa diterbitkan oleh Pejabat dan diberitahukan oleh Jurusita kepada Penanggung Pajak.
(3) Apabila setelah lewat waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan, Penanggung Pajak belum melunasi Utang Pajak, Pejabat menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dan Jurusita melaksanakan Penyitaan terhadap Barang milik Penanggung Pajak.
(4) Apabila setelah lewat waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan Penyitaan, Penanggung Pajak belum melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Pejabat melakukan pengumuman Lelang atas Barang sitaan yang akan dilakukan penjualan secara Lelang.
(5) Apabila setelah lewat waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pengumuman Lelang, Penanggung Pajak belum melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Pejabat melakukan penjualan Barang sitaan Penanggung Pajak melalui Kantor Lelang.
(6) Apabila setelah lewat waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terhadap Barang sitaan yang penjualannya dikecualikan dari penjualan secara Lelang, Penanggung Pajak belum melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Pejabat segera menggunakan, menjual, dan/atau memindahbukukan Barang sitaan.
(7) Dalam hal telah dilakukan upaya:
a. penjualan Barang sitaan secara Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (5); dan/atau
b. penggunaan, penjualan, dan/atau pemindahbukuan Barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
Pejabat dapat mengusulkan Pencegahan.
(8) Pengusulan Pencegahan dapat dilakukan setelah tanggal Surat Paksa diberitahukan tanpa didahului penerbitan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, pelaksanaan Penyitaan, atau penjualan Barang sitaan, dalam hal:
a. Objek Sita tidak dapat ditemukan;
b. hak untuk melakukan penagihan Pajak atas Utang Pajak akan kedaluwarsa dalam jangka waktu kurang dari 2 (dua) tahun;
c. berdasarkan data dan informasi terdapat indikasi Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
d. terdapat tanda-tanda bahwa Badan akan dibubarkan, digabungkan, dimekarkan, dipindahtangankan, atau dilakukan perubahan bentuk lainnya; atau
e. terdapat tanda-tanda kepailitan dan/atau dalam keadaan pailit.
(9) Dalam hal terhadap Penanggung Pajak telah dilakukan Pencegahan, Penyanderaan dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak dalam jangka waktu paling cepat 1 (satu) bulan kalender sebelum berakhirnya jangka waktu Pencegahan atau berakhirnya jangka waktu perpanjangan Pencegahan.
(10) Penyanderaan dapat dilakukan setelah lewat waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan, dalam hal:
a. hak untuk melakukan penagihan Pajak atas Utang Pajak akan kedaluwarsa dalam jangka waktu kurang dari 2 (dua) tahun;
b. terdapat tanda-tanda bahwa Badan akan dibubarkan, digabungkan, dimekarkan, dipindahtangankan, atau dilakukan perubahan bentuk lainnya; atau
c. terdapat tanda-tanda kepailitan dan/atau dalam keadaan pailit.
Paragraf 2
Penerbitan Surat Teguran
Pasal 100
(1) Penagihan dilakukan dengan terlebih dahulu menerbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud Pasal 98 ayat (1) huruf a oleh Pejabat.
(2) Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencantumkan batas waktu pelunasan Utang Pajak oleh Penanggung Pajak.
(3) Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diterbitkan terhadap Wajib Pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran Utang Pajak.
Paragraf 3
Penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus
Pasal 101
Jurusita melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus berdasarkan surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud Pasal 98 ayat (1) huruf b apabila:
a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan usahanya atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
c. Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan Badan usahanya, menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
d. Badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
e. Terjadi penyitaan atas Barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
Pasal 102
(1) Surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 diterbitkan:
a. sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran;
b. tanpa didahului Surat Teguran;
c. sebelum jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja sejak Surat Teguran disampaikan; atau
d. sebelum penerbitan Surat Paksa.
(2) Surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak;
b. besarnya Utang Pajak;
c. perintah untuk membayar; dan
d. saat pelunasan Pajak.
Paragraf 4
Penerbitan dan Pemberitahuan Surat Paksa
Pasal 103
(1) Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) huruf c diawali dengan frasa DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Surat Paksa paling sedikit memuat:
a. nama Wajib Pajak atau Penanggung Pajak;
b. dasar penagihan Pajak;
c. besarnya Utang Pajak; dan
d. perintah untuk membayar.
Pasal 104
(1) Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita dengan pernyataan dan penyerahan salinan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak.
(2) Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan dengan cara membacakan isi Surat Paksa oleh Jurusita.
(3) Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap Penanggung Pajak atas Wajib Pajak orang pribadi dilakukan kepada:
a. Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) huruf a; atau
b. orang dewasa yang bertempat tinggal bersama Penanggung Pajak atau yang bekerja di tempat usaha Penanggung Pajak dalam hal Jurusita tidak dapat menjumpai Penanggung Pajak.
(4) Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap Penanggung Pajak atas Wajib Pajak Badan dilakukan kepada:
a. Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) huruf b; atau
b. pegawai tetap yang meliputi pegawai perusahaan yang membidangi keuangan, Pembukuan, perpajakan, personalia, hubungan masyarakat, atau bagian umum dan bukan pegawai harian di tempat kedudukan atau tempat usaha Badan yang bersangkutan dalam hal Jurusita tidak dapat menjumpai salah seorang Penanggung Pajak.
(5) Pemberitahuan Surat Paksa atas Wajib Pajak yang dinyatakan pailit dilakukan kepada kurator, hakim pengawas, atau balai harta peninggalan.
(6) Pemberitahuan Surat Paksa atas Wajib Pajak yang dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, dilakukan kepada orang atau Badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator.
(7) Pemberitahuan Surat Paksa atas Wajib Pajak yang menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban Pajak, dapat dilakukan kepada penerima kuasa.
Pasal 105
(1) Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dituangkan dalam berita acara pemberitahuan Surat Paksa yang ditandatangani oleh Jurusita dan pihak yang menerima pemberitahuan Surat Paksa.
(2) Berita acara pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. hari dan tanggal pemberitahuan Surat Paksa;
b. nama Jurusita;
c. nama yang menerima Surat Paksa; dan
d. tempat pemberitahuan Surat Paksa.
Pasal 106
(1) Dalam hal pemberitahuan Surat Paksa kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (3) dan ayat (4) tidak dapat dilaksanakan, Surat Paksa disampaikan melalui aparat Pemerintah Daerah setempat sekurang- kurangnya setingkat sekretaris kelurahan atau sekretaris desa.
(2) Dalam hal Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, penyampaian Surat Paksa dilaksanakan dengan menempelkan Surat Paksa pada papan pengumuman di kantor Pejabat yang menerbitkannya, mengumumkan melalui media massa, atau cara lain.
(3) Cara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mengumumkan melalui situs resmi yang ditetapkan oleh Kepala Daerah.
(4) Dalam hal pihak yang dimaksud dalam Pasal 104 ayat (3) dan ayat (4) menolak untuk menerima Surat Paksa, Jurusita meninggalkan Surat Paksa dimaksud dan mencatatnya dalam berita acara bahwa Penanggung Pajak menolak untuk menerima Surat Paksa, dan Surat Paksa dianggap telah diberitahukan.
Pasal 107
Surat Paksa dapat diterbitkan tanpa didahului Surat Teguran dalam hal:
a. terhadap Penanggung Pajak telah diterbitkan surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) huruf b; atau
b. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan pengangsuran atau penundaan pembayaran Utang Pajak.
Paragraf 5
Penerbitan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dan Pelaksanaan Penyitaan
Pasal 108
(1) Jurusita melaksanakan Penyitaan terhadap Objek Sita berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) huruf d.
(2) Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak;
b. nomor dan tanggal penerbitan Surat Paksa;
c. tanggal pemberitahuan Surat Paksa;
d. nama Jurusita; dan
e. perintah untuk melaksanakan Penyitaan.
Pasal 109
(1) Dalam pelaksanaan Penyitaan, Jurusita harus:
a. memperlihatkan kartu tanda pengenal Jurusita;
b. memperlihatkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan;
c. memberitahukan tentang maksud dan tujuan Penyitaan; dan
d. membuat berita acara pelaksanaan sita atas setiap pelaksanaan Penyitaan.
(2) Berita acara pelaksanaan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditandatangani oleh Jurusita, Penanggung Pajak, dan paling sedikit 2 (dua) orang saksi yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita, dan dapat dipercaya.
(3) Dalam hal Penanggung Pajak menolak untuk menandatangani berita acara pelaksanaan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Jurusita:
a. mencantumkan alasan penolakan tersebut dalam berita acara pelaksanaan sita; dan
b. menandatangani berita acara pelaksanaan sita tersebut bersama saksi.
(4) Dalam hal pelaksanaan Penyitaan tidak dihadiri oleh Penanggung Pajak atau Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggal, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, berita acara pelaksanaan sita ditandatangani oleh Jurusita dan saksi, dengan syarat salah seorang saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berasal dari aparat Pemerintah Daerah setempat sekurang-kurangnya setingkat sekretaris kelurahan atau sekretaris desa.
(5) Berita acara pelaksanaan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tetap sah serta mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
(6) Salinan berita acara pelaksanaan sita disampaikan kepada Penanggung Pajak dan dapat ditempelkan:
a. pada Barang bergerak dan/atau Barang tidak bergerak yang disita;
b. di tempat Barang bergerak dan/atau Barang tidak bergerak yang disita berada; atau
c. di tempat umum.
(7) Dalam hal Penyitaan dilaksanakan terhadap Barang yang kepemilikannya terdaftar, salinan berita acara pelaksanaan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan juga kepada instansi tempat kepemilikan Barang dimaksud terdaftar.
(8) Dalam hal Penyitaan dilaksanakan terhadap Barang bergerak dan/atau Barang tidak bergerak yang kepemilikannya belum terdaftar, salinan berita acara pelaksanaan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disampaikan juga kepada aparat Pemerintah Daerah setempat dan pengadilan negeri setempat untuk diumumkan menurut cara yang lazim di tempat itu.
Pasal 110
Penyitaan tambahan dapat dilaksanakan dalam hal:
a. nilai Barang sitaan yang tidak cukup untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak; atau
b. hasil Lelang, penggunaan, penjualan, dan/atau pemindahbukuan Barang sitaan yang tidak cukup untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak.
Pasal 111
(1) Objek Sita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) meliputi:
a. Barang milik Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93; atau
b. Barang milik istri atau suami dan anak yang masih dalam tanggungan dari Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a, kecuali terdapat perjanjian pemisahan harta, yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain termasuk yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu.
(2) Pemisahan harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pemisahan harta yang tercantum dalam perjanjian perkawinan yang telah dicatat oleh instansi yang berwenang berdasarkan peraturan perundang- undangan.
(3) Objek Sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan Penyitaan meliputi:
a. Barang bergerak; dan
b. Barang tidak bergerak.
(4) Barang bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, dapat berupa:
a. uang tunai termasuk mata uang asing dan uang elektronik atau uang dalam bentuk lainnya;
b. logam mulia, perhiasan emas, permata, dan sejenisnya;
c. harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada LJK sektor perbankan meliputi deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
d. surat berharga meliputi obligasi, saham, dan sejenisnya yang tidak diperdagangkan di pasar modal;
e. piutang;
f. penyertaan modal pada perusahaan lain;
g. kendaraan bermotor;
h. yacht; dan
i. pesawat terbang.
(5) Barang tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat berupa:
a. tanah dan/atau bangunan; dan
b. kapal dengan isi kotor paling sedikit 20 (dua puluh) meter kubik.
Pasal 112
(1) Penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan Barang bergerak, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilaksanakan langsung terhadap Barang tidak bergerak.
(2) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mencakup:
a. Jurusita tidak menjumpai Barang bergerak yang dapat dijadikan Objek Sita; atau
b. Barang bergerak yang dijumpai tidak mempunyai nilai atau harganya tidak memadai jika dibandingkan dengan Utang Pajaknya.
(3) Urutan Barang bergerak dan/atau Barang tidak bergerak yang disita ditentukan oleh Jurusita dengan memperhatikan jumlah Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak serta kemudahan penjualan atau pencairannya.
(4) Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sampai dengan jumlah nilai Barang sitaan diperkirakan cukup untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak.
(5) Dalam memperkirakan nilai Barang yang disita, Jurusita dapat meminta bantuan penilaian kepada penilai pajak atau penilai pemerintah.
Pasal 113
(1) Barang sitaan dititipkan kepada Penanggung Pajak, kecuali dalam hal menurut Jurusita, Barang sitaan perlu disimpan di kantor Pejabat atau di tempat lain.
(2) Dasar pertimbangan Jurusita untuk menentukan tempat penitipan atau penyimpanan Barang sitaan, dapat berupa:
a. risiko kehilangan, kecurian, atau kerusakan; dan
b. jenis, sifat, ukuran, atau jumlah Barang sitaan.
(3) Tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. LJK;
b. kantor pegadaian;
c. kantor pos;
d. kantor aparat Pemerintah Daerah setempat yang menjadi saksi dalam pelaksanaan sita dalam hal Penyitaan tidak dihadiri oleh Penanggung Pajak;
e. rumah penyimpanan benda sitaan negara; dan
f. tempat tertentu yang ditetapkan Kepala Daerah.
Pasal 114
(1) Pencabutan sita dilaksanakan dalam hal:
a. Penanggung Pajak telah melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan sesuai dengan tanggung jawab Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93;
b. adanya putusan pengadilan atau berdasarkan putusan pengadilan pajak; atau
c. terdapat kondisi tertentu.
(2) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a. Barang sitaan musnah karena terbakar, gagal teknologi, bencana sosial dan/atau bencana alam;
b. Penanggung Pajak menyerahkan Barang lain yang nilainya paling sedikit sama dengan Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan sesuai dengan tanggung jawab Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93;
c. Penanggung Pajak dapat meyakinkan Pejabat dengan membuktikan bahwa dalam kedudukannya tidak dapat dibebani Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
d. Penanggung Pajak dapat meyakinkan Pejabat dengan membuktikan bahwa Barang sitaan tidak dapat digunakan untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
e. Barang sitaan digunakan untuk kepentingan umum;
f. hak untuk melakukan penagihan Pajak atas Utang Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan telah kedaluwarsa penagihan;
g. Barang sitaan telah dilakukan penjualan secara Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (5) atau penggunaan, penjualan, dan/atau pemindahbukuan Barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (6);
h. Barang sitaan telah dilakukan penjualan secara Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (5) atau penjualan Barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (6) tetapi tidak terjual dan Pejabat mendapatkan Barang lain yang nilainya paling sedikit sama dengan Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan sesuai dengan tanggung jawab Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93; dan/atau
i. Wajib Pajak telah mendapatkan keputusan persetujuan pengangsuran pembayaran Pajak atas Utang Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan.
(3) Barang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf h merupakan:
a. milik Penanggung Pajak, termasuk milik istri/suami dan anak yang masih dalam tanggungan Penanggung Pajak kecuali terdapat perjanjian pemisahan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2);
b. tidak sedang dijaminkan atas pelunasan utang tertentu; dan
c. Barang yang setara atau lebih mudah dijual atau dicairkan dari Barang yang telah disita.
(4) Terhadap pelaksanaan pencabutan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf h, Pejabat melakukan Penyitaan terlebih dahulu atas Barang yang diserahkan atau didapatkan.
(5) Pencabutan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan surat pencabutan sita yang diterbitkan oleh Pejabat dan disampaikan oleh Jurusita kepada Penanggung Pajak dan instansi yang terkait.
Paragraf 6
Penyitaan terhadap Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang Disimpan pada Lembaga Jasa Keuangan
Pasal 115
Jurusita melaksanakan Penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang disimpan pada LJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (4) huruf c, dengan terlebih dahulu melakukan permintaan Pemblokiran.
Pasal 116
(1) Permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115, disampaikan oleh Pejabat kepada:
a. kantor pusat atau divisi pada LJK, bagi Penanggung Pajak yang belum diketahui nomor rekening keuangannya; dan/atau
b. unit vertikal LJK yang mengelola rekening keuangan Penanggung Pajak yang bersangkutan, bagi Penanggung Pajak yang telah diketahui nomor rekening keuangannya.
(2) Permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis dan dilampiri dengan:
a. salinan Surat Paksa atau daftar Surat Paksa; dan
b. salinan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
(3) Pejabat melakukan permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar jumlah Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sebagaimana tercantum dalam Surat Paksa atau daftar Surat Paksa.
(4) Dalam hal terdapat perbedaan mengenai identitas Penanggung Pajak yang terdapat pada data LJK dengan permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), informasi identitas yang digunakan berdasarkan dokumen:
a. kartu tanda penduduk;
b. akta pendirian Badan atau dokumen lain yang dipersamakan;
c. NPWPD; dan/atau
d. paspor atau dokumen yang menunjukkan identitas diri untuk warga negara asing.
Pasal 117
(1) Berdasarkan permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116, LJK wajib melakukan Pemblokiran sebesar jumlah Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak terhadap Penanggung Pajak yang tercantum dalam surat permintaan Pemblokiran.
(2) Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara seketika setelah permintaan Pemblokiran diterima oleh LJK.
(3) Sejak saat diterimanya permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116, LJK tidak diizinkan melakukan pemindahbukuan dan/atau penarikan atas saldo dalam rekening keuangan Penanggung Pajak yang telah diblokir.
Pasal 118
(1) Berdasarkan pelaksanaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117, pihak LJK membuat berita acara Pemblokiran atau dokumen yang dipersamakan.
(2) Berita acara Pemblokiran atau dokumen yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:
a. nomor dan tanggal permintaan Pemblokiran;
b. hari, tanggal, dan waktu diterima permintaan Pemblokiran oleh LJK;
c. hari, tanggal, dan waktu dilaksanakan Pemblokiran oleh LJK;
d. nama, nomor identitas, dan alamat Penanggung Pajak; dan
e. nomor rekening keuangan Penanggung Pajak yang telah dilakukan Pemblokiran oleh LJK.
(3) Berita acara Pemblokiran atau dokumen yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Pejabat dan Penanggung Pajak segera setelah dilaksanakan Pemblokiran.
Pasal 119
(1) Setelah menerima berita acara Pemblokiran, Pejabat memerintahkan Penanggung Pajak untuk memberikan kuasa kepada LJK untuk memberitahukan saldo harta kekayaan yang tersimpan pada LJK tersebut kepada Jurusita dengan menggunakan surat perintah memberikan kuasa kepada LJK untuk memberitahukan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada LJK.
(2) Dalam hal Penanggung Pajak bersedia memberitahukan saldo harta kekayaan yang tersimpan pada LJK, Penanggung Pajak memberikan kuasa kepada pimpinan LJK atau pejabat LJK yang ditunjuk dengan membuat surat kuasa memberitahukan saldo harta kekayaan yang tersimpan pada LJK dan menyampaikan surat kuasa beserta salinannya kepada Jurusita.
(3) Pimpinan LJK atau pejabat LJK yang ditunjuk memberitahukan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada LJK secara tertulis kepada Jurusita berdasarkan surat kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal Penanggung Pajak menolak memberikan kuasa kepada pimpinan LJK atau pejabat LJK yang ditunjuk untuk memberitahukan saldo harta kekayaannya yang tersimpan pada LJK, Jurusita membuat berita acara penolakan pemberian kuasa oleh Penanggung Pajak kepada LJK untuk memberitahukan saldo harta kekayaan yang tersimpan pada LJK kepada Jurusita.
(5) Dalam hal Penanggung Pajak:
a. tidak memberikan jawaban atas perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja sejak disampaikannya surat perintah tersebut; atau
b. tidak dapat ditemukan,
Jurusita membuat berita acara tidak diperoleh kuasa Penanggung Pajak kepada bank untuk memberitahukan saldo harta kekayaan yang tersimpan pada bank.
(6) Dalam hal Penanggung Pajak:
a. menolak memberikan kuasa kepada pimpinan LJK atau pejabat LJK yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (4);
b. tidak memberikan jawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a; atau
c. tidak dapat ditemukan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b,
Pejabat melakukan Permintaan informasi saldo rekening terblokir kepada LJK sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
Pasal 120
(1) Pencabutan blokir sebelum dilaksanakan Penyitaan, dilakukan dalam hal:
a. Penanggung Pajak melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Pemblokiran dengan menggunakan harta kekayaan Penanggung Pajak yang telah diblokir sesuai dengan tanggung jawab Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93;
b. Penanggung Pajak melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Pemblokiran sesuai dengan tanggung jawab Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93;
c. Penanggung Pajak menyerahkan Barang lain yang nilainya paling sedikit sama dengan Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Pemblokiran sesuai dengan tanggung jawab Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93;
d. Penanggung Pajak dapat meyakinkan Pejabat dengan membuktikan bahwa dalam kedudukannya tidak dapat dibebani Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
e. Penanggung Pajak dapat meyakinkan Pejabat dengan membuktikan bahwa harta kekayaan yang diblokir tidak dapat digunakan untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
f. terdapat putusan pengadilan pajak;
g. hak untuk melakukan penagihan Pajak atas Utang Pajak yang menjadi dasar dilakukan Pemblokiran telah kedaluwarsa penagihan;
h. Wajib Pajak telah mendapatkan keputusan persetujuan pengangsuran pembayaran Pajak atas Utang Pajak yang menjadi dasar dilakukan Pemblokiran; dan/atau
i. telah dilakukan Pemblokiran yang melebihi jumlah Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Pemblokiran sesuai dengan tanggung jawab Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93.
(2) Barang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan:
a. milik Penanggung Pajak, termasuk milik istri/suami, dan anak yang masih dalam tanggungan Penanggung Pajak kecuali terdapat perjanjian pemisahan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2);
b. tidak sedang dijaminkan atas pelunasan utang tertentu; dan
c. Barang yang mudah dijual atau dicairkan.
(3) Terhadap pelaksanaan pencabutan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Pejabat melakukan Penyitaan terlebih dahulu atas Barang yang diserahkan.
(4) Atas Pemblokiran yang dilakukan melebihi jumlah Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i, pencabutan blokir dilakukan terhadap nilai yang melebihi jumlah Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak.
Pasal 121
(1) Pembayaran Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dengan menggunakan harta kekayaan Penanggung Pajak yang telah diblokir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1) huruf a dilakukan dengan mengajukan permohonan secara tertulis dari Wajib Pajak kepada Pejabat.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan melampirkan:
a. cetakan surat setoran, kode billing atau dokumen yang dipersamakan untuk pembayaran Utang Pajak;
b. cetakan surat setoran, kode billing atau dokumen yang dipersamakan untuk pembayaran Biaya Penagihan Pajak; dan
c. surat permintaan pemindahbukuan sebagai pelunasan Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dengan menggunakan harta kekayaan yang telah diblokir kepada LJK.
Pasal 122
(1) Berdasarkan permohonan penggunaan harta kekayaan yang diblokir untuk membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Pejabat menyampaikan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak kepada LJK dengan tembusan kepada Penanggung Pajak yang dilampiri dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121.
(2) Berdasarkan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LJK secara seketika melakukan:
a. pencabutan blokir; dan
b. pemindahbukuan sebesar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang tertera pada Surat Paksa atau daftar Surat Paksa yang disampaikan pada saat melakukan Pemblokiran.
Pasal 123
Pencabutan blokir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf i dilakukan berdasarkan permintaan pencabutan blokir yang diajukan oleh Pejabat kepada LJK dengan tembusan kepada Penanggung Pajak
Pasal 124
(1) Dalam hal jumlah saldo harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada LJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 diketahui dan Penanggung Pajak tidak melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Jurusita melaksanakan Penyitaan.
(2) Penyitaan terhadap saldo harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sampai dengan jumlah yang mencukupi untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sesuai dengan tanggungjawab Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93.
(3) Atas Penyitaan terhadap saldo harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Jurusita:
a. membuat berita acara pelaksanaan sita yang ditandatangani oleh:
1. Jurusita;
2. Penanggung Pajak;
3. saksi-saksi; dan
4. pihak LJK;
b. menyampaikan salinan berita acara pelaksanaan sita kepada:
1. Penanggung Pajak; dan
2. pihak LJK.
Pasal 125
(1) Setelah dilaksanakannya Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (3) tetapi belum dilakukan pemindahbukuan, pencabutan sita dilakukan dalam hal:
a. Penanggung Pajak telah melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan sesuai dengan tanggungjawab Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93;
b. adanya putusan pengadilan atau berdasarkan putusan pengadilan pajak; atau
c. terdapat kondisi tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Daerah.
(2) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a. Penanggung Pajak membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan dengan menggunakan harta kekayaan yang telah disita sesuai dengan tanggung jawab Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93;
b. Barang sitaan musnah karena gagal teknologi;
c. Penanggung Pajak menyerahkan Barang lain yang nilainya paling sedikit sama dengan Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan sesuai dengan tanggungjawab Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93;
d. Penanggung Pajak dapat meyakinkan Pejabat dengan membuktikan bahwa dalam kedudukannya tidak dapat dibebani Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
e. Penanggung Pajak dapat meyakinkan Pejabat dengan membuktikan bahwa Barang sitaan tidak dapat digunakan untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
f. Barang sitaan digunakan untuk kepentingan umum;
g. hak untuk melakukan penagihan Pajak atas Utang Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan telah kedaluwarsa penagihan; dan/atau
h. Wajib Pajak telah mendapatkan keputusan persetujuan pengangsuran pembayaran Pajak atas Utang Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan.
(3) Barang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan:
a. milik Penanggung Pajak, termasuk milik istri atau suami dan anak yang masih dalam tanggungan Penanggung Pajak kecuali terdapat perjanjian pemisahan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2);
b. tidak sedang dijaminkan atas pelunasan utang tertentu; dan
c. Barang yang mudah dijual atau dicairkan.
(4) Terhadap pelaksanaan pencabutan sita atas kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, Pejabat melakukan Penyitaan terlebih dahulu atas Barang yang diserahkan.
Pasal 126
(1) Pembayaran Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dengan menggunakan harta kekayaan Penanggung Pajak yang telah disita sesuai dengan tanggung jawab Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (2) huruf a dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada Pejabat.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan melampirkan:
a. cetakan surat setoran, kode billing atau dokumen yang dipersamakan untuk pembayaran Utang Pajak; dan
b. cetakan surat setoran, kode billing atau dokumen yang dipersamakan untuk pembayaran Biaya Penagihan Pajak.
Pasal 127
(1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (1), Pejabat menyampaikan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak kepada LJK dengan tembusan kepada Penanggung Pajak, yang dilampiri dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126.
(2) Berdasarkan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LJK secara seketika melakukan:
a. pencabutan blokir; dan
b. melakukan pemindahbukuan sebesar jumlah yang diminta oleh Pejabat.
(3) Permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sekaligus dengan penyampaian surat pencabutan sita oleh Pejabat kepada Penanggung Pajak dengan tembusan kepada LJK.
Pasal 128
(1) Pelaksanaan pencabutan sita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf a sampai dengan huruf h dilakukan oleh Pejabat dengan menyampaikan:
a. permintaan pencabutan blokir kepada LJK dengan tembusan kepada Penanggung Pajak; dan
b. surat pencabutan sita kepada Penanggung Pajak dengan tembusan kepada LJK.
Paragraf 7
Penyitaan Surat Berharga yang Tidak Diperdagangkan di Pasar Modal, Piutang, dan Penyertaan Modal
Pasal 129
(1) Jurusita melaksanakan Penyitaan terhadap:
a. surat berharga yang meliputi obligasi, saham, dan sejenisnya yang tidak diperdagangkan di pasar modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (4) huruf f;
b. piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (4) huruf g; dan
c. penyertaan modal pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (4) huruf h, dengan melakukan inventarisasi dan membuat rincian tentang jenis, jumlah, dan/atau nilai nominal atau nilai perkiraan Barang sitaan dalam suatu daftar yang merupakan lampiran berita acara pelaksanaan sita.
(2) Setelah melakukan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Jurusita membuat:
a. berita acara pengalihan hak surat berharga atas nama dari Penanggung Pajak kepada Pejabat dalam hal Barang sitaan merupakan surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a;
b. berita acara persetujuan pengalihan hak menagih piutang dari Penanggung Pajak kepada Pejabat dalam hal Barang sitaan merupakan piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; atau
c. akta persetujuan pengalihan hak penyertaan modal pada perusahaan lain dari Penanggung Pajak kepada Pejabat dalam hal Barang sitaan merupakan penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c.
Pasal 130
(1) Berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2) huruf a dan huruf b paling sedikit memuat:
a. hari dan tanggal berita acara;
b. nomor dan tanggal Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan;
c. nomor dan tanggal berita acara pelaksanaan sita;
d. nama dan nomor identitas Penanggung Pajak; dan
e. jenis dan nilai Barang sitaan.
(2) Akta persetujuan pengalihan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2) huruf c paling sedikit memuat:
a. hari dan tanggal akta;
b. nama dan nomor identitas Penanggung Pajak;
c. nomor akta pendirian atau akta perubahan anggaran dasar perusahaan tempat penyertaan modal; dan
d. nilai dan nama perusahaan tempat penyertaan modal.
(3) Berita acara atau akta persetujuan pengalihan hak ditandatangani oleh Jurusita, Penanggung Pajak, dan paling sedikit 2 (dua) orang saksi yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita, dan dapat dipercaya.
(4) Dalam hal Penanggung Pajak menolak untuk menandatangani berita acara atau akta persetujuan pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggal, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, atau Penanggung Pajak patut diduga melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, Penyitaan tetap dapat dilaksanakan dan Jurusita membuat berita acara pelaksanaan sita.
(5) Dalam hal Penanggung Pajak menolak untuk menandatangani berita acara atau akta persetujuan pengalihan hak, Jurusita:
a. mencantumkan alasan penolakan; dan
b. menandatangani berita acara atau akta persetujuan pengalihan hak tersebut bersama saksi.
(6) Berita acara atau akta persetujuan pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tetap sah serta mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(7) Salinan berita acara atau persetujuan pengalihan hak disampaikan kepada Penanggung Pajak dan pihak yang berkewajiban membayar utang atau perusahaan tempat penyertaan modal.
Paragraf 8
Penjualan Barang Sitaan
Pasal 131
(1) Dalam hal Penanggung Pajak tidak melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak setelah dilakukan Penyitaan, Pejabat berwenang melakukan penjualan barang sitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) huruf e dengan cara:
a. melaksanakan penjualan secara Lelang sesuai jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (4) dan ayat (5); atau
b. menggunakan, menjual, dan/atau memindahbukukan Barang sitaan yang penjualannya dikecualikan dari penjualan secara Lelang sesuai jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (6), untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak.
(2) Dalam menentukan harga limit untuk penjualan Barang sitaan secara Lelang dan menentukan harga jual untuk Barang sitaan yang penjualannya dikecualikan dari penjualan secara Lelang, Pejabat dapat meminta bantuan penilaian kepada penilai pajak atau penilai pemerintah.
Pasal 132
(1) Pelaksanaan penjualan secara Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1) huruf a dilakukan oleh pejabat Lelang pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang yang berwenang melaksanakan Lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai petunjuk pelaksanaan Lelang.
(2) Dalam hal penjualan secara Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilaksanakan karena Barang sitaan dibebani hak tanggungan atau jaminan fidusia, Pejabat dapat:
a. melaksanakan penjualan secara Lelang; atau
b. membuat pernyataan bersedia mengangkat Penyitaan agar penjualan dapat dilaksanakan oleh pihak yang memiliki hak tanggungan atau jaminan fidusia,
setelah membuat kesepakatan dengan pihak yang memiliki hak tanggungan atau jaminan fidusia.
(3) Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b harus dibuat dengan memperhatikan pembayaran Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak secara optimal.
(4) Dalam hal Barang sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilakukan penjualan, Pejabat mencabut sita.
Pasal 133
(1) Barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1) huruf b dapat berupa:
a. uang tunai termasuk mata uang asing dan uang elektronik atau uang dalam bentuk lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. surat-surat berharga:
1. harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada LJK;
2. obligasi, saham, dan sejenisnya yang tidak diperdagangkan di pasar modal;
3. piutang;
4. penyertaan modal pada perusahaan lain; atau
5. surat berharga lainnya; dan
6. Barang yang mudah rusak atau cepat busuk.
(2) Terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada LJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1, Pejabat meminta kepada pihak LJK untuk melakukan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak.
(3) Terhadap piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 3, Pejabat dapat:
a. menjual piutang; atau
b. meminta pihak yang berkewajiban membayar utang menyetor pembayaran langsung ke kas negara, untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak.
(4) Terhadap Barang yang mudah rusak atau cepat busuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Pejabat dapat menjual Barang dimaksud untuk pelunasan Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (6).
Pasal 134
(1) Pelaksanaan pemindahbukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (2) dilakukan dengan menyampaikan:
a. permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak kepada pihak LJK dengan tembusan kepada Penanggung Pajak; dan
b. surat pencabutan sita kepada Penanggung Pajak dengan tembusan kepada pihak LJK.
(2) Pelaksanaan pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling banyak sebesar sejumlah yang tercantum dalam berita acara pelaksanaan sita.
(3) Permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilampiri dengan:
a. cetakan bukti pembuatan tagihan penerimaan negara bukan Pajak atau yang dipersamakan untuk pembayaran Biaya Penagihan Pajak; dan
b. cetakan kode billing untuk pembayaran Utang Pajak.
(4) Berdasarkan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, pihak LJK secara seketika melakukan:
a. pencabutan blokir; dan
b. pemindahbukuan sebesar jumlah yang diminta oleh Pejabat.
(5) Pejabat dapat melakukan permintaan Pemblokiran kembali terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang telah dilakukan pencabutan blokir dengan menyampaikan kembali permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115.
Pasal 135
Pejabat atau Jurusita yang menerima hasil penjualan secara Lelang atau penggunaan, penjualan, dan/atau pemindahbukuan Barang sitaan yang penjualannya dikecualikan dari penjualan secara Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (7), harus menyetorkan ke kas negara untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak.
Paragraf 9
Pengusulan Pencegahan
Pasal 136
(1) Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) huruf f hanya dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang mempunyai jumlah Utang Pajak paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi Utang Pajak.
(2) Pencegahan dapat dilaksanakan terhadap beberapa orang sebagai Penanggung Pajak Wajib Pajak Badan, atau ahli waris.
(3) Pencegahan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya Utang Pajak dan terhentinya pelaksanaan Penagihan.
(4) Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 10
Pelaksanaan Penyanderaan
Pasal 137
(1) Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) huruf g hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang:
a. mempunyai Utang Pajak paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); dan
b. diragukan iktikad baiknya dalam melunasi Utang Pajak.
(2) Penanggung Pajak diragukan iktikad baiknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain dalam hal:
a. tidak melunasi Utang Pajak baik sekaligus maupun angsuran, walaupun telah diberitahukan Surat Paksa; dan/atau
b. menyembunyikan atau memindahtangankan Barang yang dimiliki atau yang dikuasai, termasuk akan membubarkan Badan, setelah timbulnya Utang Pajak.
(3) Pelaksanaan Penyanderaan terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Pembetulan, Penggantian, dan Pembatalan Dokumen
Pasal 138
(1) Terhadap dokumen Penagihan Pajak dapat dilakukan pembetulan, penggantian, atau pembatalan.
(2) Pembetulan, penggantian, atau pembatalan dokumen Penagihan Pajak dilakukan:
a. berdasarkan permohonan Penanggung Pajak; atau
b. secara jabatan oleh Pejabat.
(3) Pembetulan dokumen Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam penulisan nama, alamat, NPWPD, jumlah Utang Pajak, atau keterangan lain.
(4) Penggantian dokumen Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal hilang, rusak, atau karena alasan lain.
(5) Pembatalan dokumen Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal seharusnya tidak diterbitkan.
Pasal 139
(1) Pejabat melakukan penelitian atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (2) huruf a.
(2) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat harus memberi keputusan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal diterima permohonan.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. keputusan pembetulan dalam hal terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam penulisan nama, alamat, NPWPD, jumlah Utang Pajak, atau keterangan lain atas dokumen Penagihan Pajak;
b. keputusan penggantian dalam hal dokumen Penagihan Pajak hilang, rusak, atau karena alasan lain;
c. keputusan pembatalan dalam hal dokumen Penagihan Pajak seharusnya tidak diterbitkan; atau
d. keputusan penolakan atas permohonan Penanggung Pajak dalam hal tidak terdapat kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui, Pejabat tidak memberikan keputusan:
a. permohonan Penanggung Pajak dianggap dikabulkan; dan
b. Pejabat menerbitkan keputusan sesuai permohonan Penanggung Pajak dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir.
(5) Berdasarkan keputusan pembetulan atau penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4), Pejabat menerbitkan dokumen Penagihan Pajak pembetulan atau dokumen Penagihan Pajak pengganti dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal keputusan pembetulan atau penggantian.
(6) Dokumen Penagihan Pajak pembetulan atau pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (5) mempunyai kekuatan eksekutorial dan/atau kedudukan hukum yang sama dengan dokumen Penagihan Pajak yang dibetulkan atau diganti.
(7) Dalam hal permohonan pembetulan, penggantian, atau pembatalan tidak diberikan keputusan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pelaksanaan Penagihan Pajak ditunda sampai dengan dokumen Penagihan Pajak pembetulan, dokumen Penagihan Pajak pengganti, keputusan pembatalan dokumen Penagihan Pajak diterbitkan.
Pasal 140
(1) Pejabat melakukan pembetulan, penggantian, atau pembatalan dokumen Penagihan Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (2) huruf b dengan melakukan penelitian.
(2) Berdasarkan hasil penelitian, Pejabat menerbitkan:
a. keputusan pembetulan dalam hal terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam penulisan nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, jumlah Utang Pajak, atau keterangan lain atas dokumen Penagihan Pajak;
b. keputusan penggantian dalam hal dokumen Penagihan Pajak hilang, rusak, atau karena alasan lain; atau
c. keputusan pembatalan dalam hal dokumen Penagihan Pajak seharusnya tidak diterbitkan.
(3) Berdasarkan keputusan pembetulan atau penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat menerbitkan dokumen Penagihan Pajak pembetulan atau dokumen Penagihan Pajak pengganti dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal keputusan pembetulan atau penggantian.
(4) Dokumen Penagihan Pajak pembetulan atau pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mempunyai kekuatan eksekutorial dan/atau kedudukan hukum yang sama dengan dokumen Penagihan Pajak yang dibetulkan atau diganti.
Bagian Kelima
Ketentuan Lain terkait Penagihan
Pasal 141
Ketentuan lebih lanjut mengenai Tata Cara Penagihan Pajak ditetapkan dalam Peraturan Kepala Daerah.
BAB IV
KERJA SAMA PEMERIKSAAN DAN PENAGIHAN
Pasal 142
(1) Kepala Daerah dapat melakukan kerja sama Pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dengan instansi pemungut pajak lainnya.
(2) Kerja sama pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meliputi:
a. pemeriksaan secara bersama-sama terhadap satu Wajib Pajak atas kepatuhan pemenuhan kewajiban pajak pusat dan daerah; atau
b. pemeriksaan secara bersama-sama terhadap satu Wajib Pajak atas kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak antardaerah.
(3) Kerja sama pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan perjanjian kerja sama antara Pemeritah Daerah dengan instansi pemungut pajak lainnya.
(4) Pelaksanaan pemeriksaan secara bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan.
Pasal 143
(1) Kepala Daerah dapat melakukan kerja sama penagihan pajak dengan instansi lain.
(2) Kerja sama penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pendampingan atau bantuan dari jurusita lain dan/atau pihak lain.
(3) Pelaksanaan pendampingan atau bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 144
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Kepala Daerah yang disusun berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 207 Tahun 2018 tentang Pedoman Penagihan dan Pemeriksaan Pajak Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1852), yang mengatur mengenai Pemeriksaan dan Penagihan Pajak Daerah masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini.
Pasal 145
Peraturan Kepala Daerah yang mengatur mengenai Pemeriksaan dan Penagihan Pajak Daerah yang disusun berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 207 Tahun 2018 tentang Pedoman Penagihan dan Pemeriksaan Pajak Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1852), harus disesuaikan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkannya Peraturan Menteri ini.
Pasal 146
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 207/PMK.07/2018 tentang Pedoman Pemeriksaan dan Penagihan Pajak Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1852), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 147
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Januari 2025
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 Februari 2021
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DHAHANA PUTRA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2025 NOMOR 73
Status PMK Nomor 7 Tahun 2025 Tanggal 21 Januari 2025 Tentang Pedoman Pemeriksaan Dan Penagihan Pajak Daerah sebagai berikut :
- PMK Nomor 7 Tahun 2025 ditetapkan pada tanggal 21 Januari 2025 dan mulai berlaku sejak tanggal 3 Februari 2025.
Baca Juga :