PMK Nomor 239/PMK.03/2014 Tanggal 22 Desember 2014 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
PMK
Nomor 239/PMK.03/2014 Tanggal 22 Desember 2014 Tentang Tata Cara Pemeriksaan
Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan mengatur tentang :
- Pasal 1 Tentang Pengertian dari Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan, Undang-Undang Bea Meterai, Undang-Undang Penagihan Pajak, Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, Pemeriksaan, Verifikasi, Bukti Permulaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, Penyidikan Tindak Pidana, Informasi, Data, Laporan, Pengaduan, Peristiwa Pidana, Bahan Bukti, Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan, Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan, Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan, Penyegelan, Kertas Kerja Pemeriksaan Bukti Permulaan, Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan, dan Laporan Kejadian.
- Pasal 2 Tentang Dasar pemeriksaan bukti permulaan.
- Pasal 3 Tentang Ruang Lingkup Pemeriksaan Bukti Permulaan.
- Pasal 4 Tentang Jenis Pemeriksaan Bukti Permulaan.
- Pasal 5 Tentang Jangka Waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan.
- Pasal 6 Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 Tentang Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
- Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 Tentang Hak, Kewajiban dan Kewenangan dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan.
- Pasal 13 dan Pasal 14 Tentang Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan.
- Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25 Tentang Pengertian Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka.
- Pasal 26 dan Pasal 27 Tentang Pengertian Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup.
- Pasal 28 Tentang Penangguhan Pemeriksaan dan penghentian verifikasi.
- Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32 dan Pasal 33 Tentang Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan dan Tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan.
- Pasal 34 Tentang Pengertian Bahan bukti.
- Pasal 35 Tentang Pengertian Pidana yang diketahui seketika.
- Pasal 36 Tentang Pengertian Bukti permulaan yang cukup dan laporan kejadian.
- Pasal 37 Tentang Peraturan pelaksanaan PMK Nomor 239/PMK.03/2014.
- Pasal 38 Tentang Ketentuan peralihan dari PMK Nomor 239/PMK.03/2014.
- Pasal 39 Tentang Pencabutan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
- Pasal 40 Tentang Saat berlakunya PMK Nomor 239/PMK.03/2014.
- Lampiran PMK Nomor 239/PMK.03/2014 Tentang Contoh cara menghitung jumlah yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai kerugian pada pendapatan negara.
- Peraturan Yang Terkait :
- PMK Nomor 239/PMK.03/2014 Tanggal 22 Desember 2014 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan selengkapnya adalah sebagai berikut :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 239/PMK.03/2014
TENTANG
TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
NOMOR 239/PMK.03/2014
TENTANG
TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a.
bahwa ketentuan mengenai tata cara
Pemeriksaan Bukti Permulaan tindak pidana di bidang perpajakan telah diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013 tentang Tata Cara
Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan;
b.
bahwa ketentuan mengenai tindak
pidana di bidang perpajakan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
c.
bahwa ketentuan mengenai tindak
pidana di bidang perpajakan yang terkait dengan Pajak Bumi dan Bangunan telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994;
d.
bahwa ketentuan mengenai tindak
pidana di bidang perpajakan yang terkait dengan Bea Meterai telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai;
e.
bahwa ketentuan mengenai tindak
pidana di bidang perpajakan yang terkait dengan Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2000;
f.
bahwa berdasarkan hasil evaluasi dan
untuk memberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaan tata cara Pemeriksaan
Bukti Permulaan tindak pidana di bidang perpajakan, perlu mengatur kembali
ketentuan mengenai tata cara Pemeriksaan Bukti Permulaan tindak pidana di
bidang perpajakan;
g.
bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f, serta untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 43A ayat (4) Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, serta Pasal 7 ayat
(5) dan Pasal 60 ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak
Pidana di Bidang Perpajakan;
Mengingat :
1.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985
tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3569);
3.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985
tentang Bea Meterai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 69,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3313);
4.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997
tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun
2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran
negara Republik Indonesia 5268);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1.
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
2.
Undang-Undang Pajak Bumi dan
Bangunan yang selanjutnya disebut Undang Undang PBB adalah Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
3.
Undang-Undang Bea Meterai adalah
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.
4.
Undang-Undang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPSP adalah Undang
Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 19 Tahun 2000.
5.
Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
adalah perbuatan yang diancam sanksi pidana oleh undang-undang di bidang
perpajakan yang meliputi Pasal 38, Pasal 39, Pasal 39A, Pasal 41, Pasal 41A,
Pasal 41B, Pasal 41C, dan Pasal 43 Undang Undang KUP, Pasal 24 dan Pasal 25
Undang Undang PBB, Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Bea Meterai, dan Pasal
41A Undang-Undang PPSP.
6.
Pemeriksaan adalah serangkaian
kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang
dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar
pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau
untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
7.
Verifikasi adalah serangkaian kegiatan
pengujian pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif atau penghitungan dan
pembayaran pajak, berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan data dan
informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktur Jenderal Pajak,
dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak, menerbitkan/menghapus Nomor
Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan/mencabut pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak.
8.
Bukti Permulaan adalah keadaan,
perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat
memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu
Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
9.
Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan Bukti Permulaan tentang adanya
dugaan telah terjadi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
10.
Penyidikan Tindak Pidana di Bidang
Perpajakan yang selanjutnya disebut Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang
dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang terjadi serta
menemukan tersangkanya.
11.
Informasi adalah keterangan yang
disampaikan secara lisan maupun tertulis yang dapat dikembangkan dan dianalisis
untuk mengetahui ada tidaknya Bukti Permulaan.
12.
Data adalah kumpulan angka, huruf,
kata, atau citra yang bentuknya dapat berupa surat, dokumen, buku, atau
catatan, baik dalam bentuk elektronik maupun bukan elektronik, yang dapat
dikembangkan dan dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya Bukti Permulaan.
13.
Laporan adalah pemberitahuan yang
disampaikan oleh orang atau institusi karena hak dan/atau kewajiban berdasarkan
undang-undang kepada pejabat yang berwenang mengenai dugaan telah atau sedang
atau akan terjadinya Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
14.
Pengaduan adalah pemberitahuan
disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang
berwenang untuk menindak menurut hukum orang pribadi atau badan yang telah
melakukan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang merugikannya.
15.
Peristiwa Pidana adalah peristiwa
yang mengandung Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
16.
Bahan Bukti adalah buku, catatan,
dokumen, keterangan, data yang dikelola secara elektronik, dan/atau benda
lainnya, yang dapat digunakan untuk menemukan Bukti Permulaan.
17.
Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti
Permulaan adalah unit yang berwenang melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
18.
Surat Perintah Pemeriksaan Bukti
Permulaan adalah surat perintah yang diterbitkan oleh kepala Unit Pelaksana
Pemeriksaan Bukti Permulaan untuk melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
19.
Surat Perintah Pemeriksaan Bukti
Permulaan Perubahan adalah Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan yang
diterbitkan karena terjadi perubahan tim pemeriksa Bukti Permulaan dan/atau
penggantian Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan.
20.
Penyegelan adalah tindakan
menempatkan tanda segel pada tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak
dan/atau tidak bergerak yang digunakan atau patut diduga digunakan sebagai
tempat atau alat untuk menyimpan Bahan Bukti.
21.
Kertas Kerja Pemeriksaan Bukti
Permulaan adalah dokumentasi yang dibuat oleh pemeriksa Bukti Permulaan
mengenai prosedur Pemeriksaan Bukti Permulaan yang ditempuh, Bahan Bukti yang
dikumpulkan, analisis Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang dilakukan, serta
simpulan yang diambil sehubungan dengan pelaksanaan Pemeriksaan Bukti
Permulaan.
22.
Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan
adalah laporan yang disusun oleh pemeriksa Bukti Permulaan yang mengungkapkan
tentang pelaksanaan, simpulan, dan usul tindak lanjut Pemeriksaan Bukti
Permulaan.
23.
Laporan Kejadian adalah laporan
tertulis tentang adanya Peristiwa Pidana yang terdapat Bukti Permulaan yang
cukup sebagai dasar dilakukan Penyidikan.
BAB II
DASAR, RUANG LINGKUP, JENIS, DAN JANGKA WAKTU
PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
Bagian Kesatu
Dasar Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pasal 2
DASAR, RUANG LINGKUP, JENIS, DAN JANGKA WAKTU
PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
Bagian Kesatu
Dasar Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pasal 2
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak berwenang
melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan berdasarkan Informasi, Data, Laporan,
dan Pengaduan.
|
(2)
|
Informasi, Data, Laporan, dan
Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diterima atau diperoleh
Direktur Jenderal Pajak, dikembangkan dan dianalisis melalui kegiatan
intelijen atau pengamatan.
|
(3)
|
Informasi, Data, Laporan, dan
Pengaduan dengan indikasi kuat adanya Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang
ditemukan dari hasil pengembangan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Penyidikan
dapat langsung ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
(4)
|
Informasi, Data, Laporan, dan
Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) yang berkaitan
dengan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak baik yang belum
maupun telah diterbitkan surat ketetapan pajak ditindaklanjuti dengan
Pemeriksaan Bukti Permulaan sepanjang terdapat indikasi Tindak Pidana di
Bidang Perpajakan.
|
Bagian
Kedua
Ruang Lingkup Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pasal 3
Ruang Lingkup Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pasal 3
Ruang lingkup Pemeriksaan Bukti Permulaan yaitu dugaan suatu Peristiwa Pidana yang ditentukan dalam Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Bagian
Ketiga
Jenis Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pasal 4
Jenis Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pasal 4
(1)
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat dilakukan:
a.
secara
terbuka; atau
b.
secara
tertutup.
|
(2)
|
Dalam hal:
a.
Pemeriksaan
Bukti Permulaan terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP; atau
b.
Pemeriksaan
Bukti Permulaan merupakan tindak lanjut dari Pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan,
Pemeriksaan Bukti Permulaan hanya dapat dilakukan secara
terbuka.
|
(3)
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan secara
terbuka dilakukan dengan pemberitahuan secara tertulis perihal Pemeriksaan
Bukti Permulaan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan
Bukti Permulaan.
|
(4)
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan secara
tertutup dilakukan tanpa pemberitahuan tentang adanya Pemeriksaan Bukti
Permulaan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti
Permulaan.
|
Bagian
Keempat
Jangka Waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pasal 5
Jangka Waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pasal 5
(1)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan melaksanakan
Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dalam jangka waktu paling lama 12
(dua belas) bulan sejak tanggal penyampaian surat pemberitahuan Pemeriksaan
Bukti Permulaan sampai dengan tanggal Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
(2)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan
melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup dalam jangka waktu
paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Perintah Pemeriksaan
Bukti Permulaan diterima oleh Pemeriksa Bukti Permulaan sampai dengan tanggal
Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
(3)
|
Apabila pemeriksa Bukti Permulaan
tidak dapat melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), pemeriksa Bukti Permulaan
dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu kepada kepala Unit
Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
(4)
|
Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan
Bukti Permulaan dapat memberikan perpanjangan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak
berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2).
|
(5)
|
Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan
Bukti Permulaan mempertimbangkan permohonan perpanjangan jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan memperhatikan:
a.
daluwarsa
penetapan pajak;
b.
daluwarsa
penuntutan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan; atau
c.
pertimbangan
lain.
|
BAB III
STANDAR PELAKSANAAN PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
Pasal 6
STANDAR PELAKSANAAN PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
Pasal 6
Pemeriksaan Bukti Permulaan harus dilaksanakan sesuai dengan:
a.
standar umum Pemeriksaan Bukti
Permulaan;
b.
standar pelaksanaan Pemeriksaan
Bukti Permulaan; dan
c.
standar pelaporan Pemeriksaan Bukti
Permulaan.
Pasal 7
Standar umum Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a berkaitan dengan pemeriksa Bukti Permulaan, yaitu Pemeriksaan Bukti Permulaan dilaksanakan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang:
a.
diberi tugas, wewenang, dan tanggung
jawab oleh kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan untuk melaksanakan
Pemeriksaan Bukti Permulaan;
b.
mendapat pendidikan dan pelatihan
teknis yang cukup sebagai pemeriksa Bukti Permulaan;
c.
menggunakan keterampilannya secara
cermat dan saksama;
d.
jujur, bersih dari tindakan-tindakan
tercela, dan senantiasa mengutamakan kepentingan negara; dan
e.
taat terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pasal 8
Standar pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
dilaksanakan oleh tim pemeriksa
Bukti Permulaan;
b.
dilakukan pengawasan oleh kepala
Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan;
c.
didahului dengan persiapan yang
baik;
d.
dilaksanakan di kantor Direktorat
Jenderal Pajak dan/atau tempat lain yang dianggap perlu oleh pemeriksa Bukti
Permulaan;
e.
dilaksanakan dalam jangka waktu
tertentu;
f.
didokumentasikan dalam Kertas Kerja
Pemeriksaan Bukti Permulaan; dan
g.
diperoleh simpulan yang berdasarkan
pada Bahan Bukti yang sah dan cukup.
Pasal 9
Standar pelaporan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan
disusun berdasarkan Kertas Kerja Pemeriksaan Bukti Permulaan; dan
b.
Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan
mengungkapkan tentang pelaksanaan, simpulan, dan usul tindak lanjut Pemeriksaan
Bukti Permulaan.
BAB IV
KEWAJIBAN, HAK, DAN KEWENANGAN
DALAM PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
Bagian Kesatu
Kewajiban dan Hak dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pasal 10
KEWAJIBAN, HAK, DAN KEWENANGAN
DALAM PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
Bagian Kesatu
Kewajiban dan Hak dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pasal 10
(1)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan wajib:
a.
menyampaikan
surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi atau
badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, jika Pemeriksaan Bukti
Permulaan dilakukan secara terbuka;
b.
memperlihatkan
kartu tanda pengenal pemeriksa Bukti Permulaan, jika diminta oleh orang
pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan;
c.
memperlihatkan
Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Surat Perintah Pemeriksaan
Bukti Permulaan Perubahan, jika diminta oleh orang pribadi atau badan yang
dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan;
d.
mengembalikan
Bahan Bukti yang telah diperoleh melalui peminjaman dan tidak diperlukan
dalam proses Penyidikan;
e.
merahasiakan
kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau
diberitahukan kepadanya dalam rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan; dan
f.
mengamankan
Bahan Bukti yang ditemukan dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
(2)
|
Orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti
Permulaan secara terbuka, wajib:
a.
memberikan
kesempatan kepada pemeriksa Bukti Permulaan untuk memasuki dan/atau memeriksa
tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak yang diduga
atau patut diduga digunakan untuk menyimpan Bahan Bukti;
b.
memberikan
kesempatan kepada pemeriksa Bukti Permulaan untuk mengakses dan/atau
mengunduh data yang dikelola secara elektronik;
c.
memperlihatkan
dan/atau meminjamkan Bahan Bukti kepada pemeriksa Bukti Permulaan;
d.
memberikan
keterangan lisan dan/atau tertulis kepada pemeriksa Bukti Permulaan; dan
e.
memberikan
bantuan kepada pemeriksa Bukti Permulaan guna kelancaran Pemeriksaan Bukti
Permulaan.
|
(3)
|
Pihak yang berkaitan atau pihak
ketiga yang mempunyai hubungan dengan orang pribadi atau badan yang dilakukan
Pemeriksaan Bukti Permulaan wajib memberikan keterangan dan/atau bukti yang
diminta oleh pemeriksa Bukti Permulaan.
|
Pasal 11
Orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka mempunyai hak meminta kepada pemeriksa Bukti Permulaan untuk:
a.
menyampaikan surat pemberitahuan
Pemeriksaan Bukti Permulaan;
b.
memperlihatkan kartu tanda pengenal pemeriksa
Bukti Permulaan;
c.
memperlihatkan Surat Perintah
Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan
Perubahan; dan
d.
mengembalikan Bahan Bukti yang telah
dipinjam dan tidak diperlukan dalam proses Penyidikan.
Bagian
Kedua
Kewenangan Pemeriksa Bukti Permulaan
Pasal 12
Kewenangan Pemeriksa Bukti Permulaan
Pasal 12
Pemeriksa Bukti Permulaan berwenang:
a.
memasuki dan/atau memeriksa tempat,
ruang, dan/atau barang yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan
Bahan Bukti;
b.
mengakses dan/atau mengunduh data
yang dikelola secara elektronik;
c.
meminjam dan/atau memeriksa Bahan
Bukti;
d.
melakukan Penyegelan terhadap tempat
atau ruang tertentu serta barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
e.
meminta keterangan kepada pihak yang
berkaitan;
f.
meminta keterangan dan/atau bukti
yang diduga dapat memberi petunjuk tentang Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
kepada pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan orang pribadi atau badan;
g.
meminta bantuan kepada pihak lain
sehubungan dengan keahliannya dalam rangka pelaksanaan Pemeriksaan Bukti
Permulaan; dan
h.
melakukan tindakan lain yang
diperlukan dalam rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan.
BAB V
SURAT PERINTAH PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
Pasal 13
SURAT PERINTAH PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
Pasal 13
(1)
|
Surat Perintah Pemeriksaan Bukti
Permulaan menjadi dasar pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan oleh tim
pemeriksa Bukti Permulaan.
|
(2)
|
Surat Perintah Pemeriksaan Bukti
Permulaan diterbitkan terhadap dugaan suatu Peristiwa Pidana.
|
(3)
|
Untuk membantu tugas tim pemeriksa
Bukti Permulaan, pejabat yang berwenang dapat menunjuk:
a.
satu
atau lebih pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang memiliki keahlian tertentu
disertai dengan surat tugas; dan/atau
b.
satu
atau lebih ahli yang memiliki keahlian tertentu, seperti penerjemah bahasa
atau ahli di bidang teknologi informasi, yang berasal dari luar Direktorat
Jenderal Pajak.
|
Pasal 14
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat
mengganti Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan berdasarkan pertimbangan
efektivitas, efisiensi, atau perubahan struktur organisasi.
|
(2)
|
Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan
Bukti Permulaan dapat melakukan perubahan tim pemeriksa Bukti Permulaan.
|
(3)
|
Dalam hal dilakukan penggantian
Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
atau perubahan tim pemeriksa Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan menerbitkan Surat
Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan.
|
BAB VI
PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN SECARA TERBUKA
Bagian Kesatu
Pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pasal 15
PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN SECARA TERBUKA
Bagian Kesatu
Pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pasal 15
(1)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan wajib
menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang
pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal
Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan secara terbuka.
|
(2)
|
Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan
secara terbuka dilakukan terhadap orang pribadi, Pemeriksa Bukti Permulaan
menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang
pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, keluarga yang telah
dewasa, atau kuasa.
|
(3)
|
Dalam hal Pemeriksaan Bukti
Permulaan secara terbuka dilakukan terhadap badan, Pemeriksa Bukti Permulaan
menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada wakil,
kuasa, atau pegawai dari badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
(4)
|
Dalam hal penyampaian surat
pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat
dilaksanakan, pemeriksa Bukti Permulaan menyampaikan surat pemberitahuan
Pemeriksaan Bukti Permulaan melalui:
a.
pos
dengan bukti pengiriman surat;
b.
faksimili;
atau
c.
perusahaan
jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
|
Pasal 16
(1)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan dapat
langsung melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan dan menggunakan
kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 setelah surat pemberitahuan
Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan.
|
(2)
|
Dalam hal orang pribadi atau wakil
badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau kuasanya menolak untuk
dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, pemeriksa Bukti Permulaan membuat
berita acara penolakan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
(3)
|
Dalam hal orang pribadi atau wakil
badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau kuasanya menolak untuk
menandatangani berita acara penolakan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), pemeriksa Bukti Permulaan membuat berita acara
penolakan penandatanganan.
|
(4)
|
Berdasarkan berita acara penolakan
Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau berita
acara penolakan penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemeriksa
Bukti Permulaan dapat mengusulkan kepada kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan
Bukti Permulaan untuk dilakukan Penyidikan.
|
Bagian
Kedua
Pengumpulan Bahan Bukti
Pasal 17
Pengumpulan Bahan Bukti
Pasal 17
(1)
|
Dalam rangka memperoleh Bahan
Bukti, pemeriksa Bukti Permulaan dapat memasuki dan/atau memeriksa tempat,
ruang, dan/atau barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau
patut diduga digunakan untuk menyimpan Bahan Bukti.
|
(2)
|
Dalam hal Bahan Bukti sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diperoleh, dengan segera pemeriksa Bukti Permulaan
dapat melakukan peminjaman Bahan Bukti tersebut dan membuat tanda terima
peminjaman.
|
(3)
|
Dalam hal Bahan Bukti sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum diperoleh, pemeriksa Bukti Permulaan dapat
melakukan peminjaman dengan surat peminjaman.
|
(4)
|
Bahan Bukti yang dipinjam
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diserahkan kepada pemeriksa Bukti
Permulaan paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal pengiriman surat
peminjaman.
|
(5)
|
Setiap Bahan Bukti yang diperoleh
pemeriksa Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuatkan tanda
terima peminjaman.
|
(6)
|
Dalam hal orang pribadi atau wakil
badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau kuasanya tidak memenuhi
permintaan peminjaman dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
pemeriksa Bukti Permulaan dapat mengusulkan kepada kepala Unit Pelaksana
Pemeriksaan Bukti Permulaan untuk dilakukan Penyidikan.
|
Bagian
Ketiga
Penyegelan
Pasal 18
Penyegelan
Pasal 18
(1)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan dapat
melakukan Penyegelan terhadap tempat atau ruang tertentu serta barang
bergerak dan/atau barang tidak bergerak untuk memperoleh atau mengamankan
Bahan Bukti.
|
(2)
|
Penyegelan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
a.
pemeriksa
Bukti Permulaan tidak diberi atau tidak mempunyai kesempatan untuk memasuki
dan/atau memeriksa tempat, ruang, dan/atau barang bergerak dan/atau barang
tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan Bahan
Bukti;
b.
orang
pribadi, wakil badan, atau kuasa yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan
tidak meminjamkan Bahan Bukti yang diminta oleh pemeriksa Bukti Permulaan;
atau
c.
terdapat
keadaan selain dimaksud pada huruf a dan huruf b, sehingga pemeriksa Bukti
Permulaan memerlukan upaya penyegelan.
|
(3)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan
melakukan penyegelan dengan menggunakan tanda segel dan disaksikan paling
sedikit 2 (dua) orang selain anggota tim pemeriksa Bukti Permulaan.
|
(4)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan
menuangkan pelaksanaan Penyegelan dalam berita acara Penyegelan.
|
(5)
|
Dalam hal saksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) menolak menandatangani berita acara Penyegelan,
pemeriksa Bukti Permulaan membuat catatan tentang penolakan tersebut dalam
berita acara Penyegelan.
|
Pasal 19
(1)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan dapat
membuka segel dalam hal:
a.
orang
pribadi, wakil badan, atau kuasa yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan
telah memberi kesempatan untuk memasuki dan memeriksa tempat, ruang, dan/atau
barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak yang disegel;
b.
orang
pribadi, wakil badan, atau kuasa yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan
bersedia meminjamkan Bahan Bukti yang diminta oleh pemeriksa Bukti Permulaan;
c.
berdasarkan
pertimbangan pemeriksa Bukti Permulaan, Penyegelan tidak diperlukan lagi;
dan/atau
d.
terdapat
permintaan pembukaan segel dari penyidik yang sedang melakukan penyidikan
tindak pidana.
|
(2)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan membuka
segel dengan disaksikan paling sedikit 2 (dua) orang selain anggota tim
pemeriksa Bukti Permulaan dan menuangkan dalam berita acara pembukaan segel.
|
(3)
|
Dalam hal saksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) menolak menandatangani berita acara pembukaan segel,
pemeriksa Bukti Permulaan membuat catatan tentang penolakan tersebut dalam
berita acara pembukaan segel.
|
Pasal 20
(1)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan dapat
meminta bantuan pengamanan atau meminta sebagai saksi kepada Kepolisian
Negara Republik Indonesia dan/atau instansi atau unsur pemerintah daerah
setempat dalam rangka Penyegelan dan/atau pembukaan segel.
|
(2)
|
Dalam hal tanda segel yang
digunakan untuk melakukan Penyegelan rusak atau hilang, pemeriksa Bukti
Permulaan membuat berita acara mengenai kerusakan atau kehilangan tersebut
dan melaporkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia sehubungan dengan
tindak pidana terkait penyegelan sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
|
Bagian
Keempat
Permintaan Keterangan
Pasal 21
Permintaan Keterangan
Pasal 21
(1)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan dapat
meminta keterangan kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan dugaan Tindak
Pidana di Bidang Perpajakan, yaitu orang pribadi atau wakil badan yang
dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, pegawai, pelanggan, pemasok, bank,
akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, konsultan
hukum, konsultan keuangan, dan pihak-pihak terkait lainnya.
|
(2)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan dapat
meminta keterangan secara langsung atau didahului dengan pemanggilan.
|
(3)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan dapat
melakukan permintaan keterangan di kantor Direktorat Jenderal Pajak atau
tempat lain dengan alasan yang patut dan wajar.
|
(4)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan
menuangkan hasil permintaan keterangan dalam berita acara permintaan
keterangan.
|
(5)
|
Dalam hal keterangan dari
pihak-pihak yang berkaitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
diperoleh, pemeriksa Bukti Permulaan membuat berita acara tidak terpenuhinya
permintaan keterangan.
|
Bagian
Kelima
Pengumpulan Keterangan dan/atau Bukti
Melalui Permintaan Secara Tertulis kepada Pihak Ketiga
Pasal 22
Pengumpulan Keterangan dan/atau Bukti
Melalui Permintaan Secara Tertulis kepada Pihak Ketiga
Pasal 22
(1)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan dapat
melakukan permintaan secara tertulis kepada pihak ketiga untuk mendapatkan
keterangan dan/atau bukti sesuai dengan peraturan perundang-undangan di
bidang perpajakan.
|
(2)
|
Pihak ketiga sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yaitu pihak lain yang mempunyai hubungan dengan tindakan,
pekerjaan, kegiatan usaha, atau pekerjaan bebas orang pribadi, badan,
dan/atau wakil badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, termasuk
tetapi tidak terbatas pada bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak,
kantor administrasi, konsultan hukum, konsultan keuangan, pelanggan, dan
pemasok.
|
Bagian
Keenam
Pengungkapan Ketidakbenaran Perbuatan
Pasal 23
Pengungkapan Ketidakbenaran Perbuatan
Pasal 23
(1)
|
Orang pribadi atau badan selaku
Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dapat
dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya atas tindak
pidana:
a.
tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara; atau
b.
menyampaikan
Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara.
|
||||
(2)
|
Surat Pemberitahuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yaitu surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan
objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, termasuk:
a.
Surat
Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang KUP;
b.
Surat
Pemberitahuan Masa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang KUP; dan
c.
Surat
Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PBB.
|
||||
(3)
|
Termasuk Tindak Pidana di Bidang
Perpajakan yang dapat dilakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
yang berkaitan dan berbarengan dengan tindak pidana tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar
atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
|
||||
(4)
|
Orang pribadi atau badan selaku
Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dapat
menyampaikan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan atas tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) sepanjang surat pemberitahuan
dimulainya Penyidikan belum disampaikan kepada penuntut umum melalui penyidik
pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia.
|
||||
(5)
|
Dalam melakukan pengungkapan
ketidakbenaran perbuatan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (3), orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak yang dilakukan
Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka harus:
|
||||
(6)
|
Orang pribadi atau badan selaku
Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan menyampaikan
pengungkapan ketidakbenaran perbuatan kepada kepala Kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar atau tempat Objek Pajak diadministrasikan dan
tembusannya kepada kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
Pasal 24
(1)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan melakukan
pengujian atas pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 untuk memastikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran perbuatan
telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
|
(2)
|
Yang dimaksud sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu jumlah
pembayaran atas pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak
seharusnya dikembalikan menurut pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sama dengan
atau lebih besar daripada jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan menurut Pemeriksaan Bukti
Permulaan.
|
(3)
|
Dalam hal pengungkapan
ketidakbenaran perbuatan telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, kepala
Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan mengirimkan pemberitahuan kepada
orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak bahwa Pemeriksaan Bukti Permulaan
tidak ditindaklanjuti dengan Penyidikan.
|
(4)
|
Dalam hal pengungkapan
ketidakbenaran perbuatan orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak tidak
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan
Bukti Permulaan mengirimkan pemberitahuan kepada orang pribadi atau badan
selaku Wajib Pajak bahwa pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tidak sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya dan Pemeriksaan Bukti Permulaan
ditindaklanjuti dengan Penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
Pasal 25
(1)
|
Dalam hal Pemeriksaan Bukti
Permulaan ditindaklanjuti dengan Penyidikan, pembayaran atas pengungkapan
ketidakbenaran perbuatan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) dan/atau tidak sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya tidak menghilangkan seluruh kerugian pada pendapatan
negara.
|
(2)
|
Pembayaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai kerugian pada
pendapatan negara sepanjang pembayaran dilakukan sebelum surat pemberitahuan
dimulainya Penyidikan disampaikan kepada penuntut umum melalui penyidik
pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia.
|
(3)
|
Pembayaran yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diminta kembali oleh Wajib
Pajak.
|
(4)
|
Jumlah yang dapat diperhitungkan
sebagai pengurang nilai kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) yaitu sebesar dua per lima bagian dari jumlah pembayaran dalam
rangka pengungkapan ketidakbenaran perbuatannya.
|
(5)
|
Contoh cara menghitung jumlah yang
dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai kerugian pada pendapatan negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
BAB VII
PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN SECARA TERTUTUP
Bagian Kesatu
Pengumpulan Keterangan dan/atau Bukti
Pasal 26
PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN SECARA TERTUTUP
Bagian Kesatu
Pengumpulan Keterangan dan/atau Bukti
Pasal 26
Pemeriksa Bukti Permulaan dapat meminta keterangan kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan dugaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dan/atau melakukan permintaan secara tertulis kepada pihak ketiga untuk mendapatkan keterangan dan/atau bukti dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22.
Bagian
Kedua
Pembetulan Surat Pemberitahuan
Pasal 27
Pembetulan Surat Pemberitahuan
Pasal 27
Pemeriksa Bukti Permulaan dapat mempertimbangkan pembetulan Surat Pemberitahuan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup dalam simpulan hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan.
BAB VIII
PENANGGUHAN PEMERIKSAAN DAN PENGHENTIAN VERIFIKASI
Pasal 28
PENANGGUHAN PEMERIKSAAN DAN PENGHENTIAN VERIFIKASI
Pasal 28
Dalam hal orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak yang sedang dilakukan Pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan atau sedang dilakukan Verifikasi dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak:
a.
dilakukan Pemeriksaan Bukti
Permulaan secara terbuka; atau
b.
dilakukan Pemeriksaan Bukti
Permulaan secara tertutup yang ditindaklanjuti dengan Penyidikan,
Pemeriksaan ditangguhkan atau Verifikasi dihentikan.
BAB IX
LAPORAN PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
DAN TINDAK LANJUT PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
Bagian Kesatu
Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pasal 29
LAPORAN PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
DAN TINDAK LANJUT PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
Bagian Kesatu
Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pasal 29
(1)
|
Pemeriksa Bukti Permulaan
menuangkan hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam Laporan Pemeriksaan Bukti
Permulaan dengan mencantumkan:
a.
simpulan
mengenai ada atau tidaknya Bukti Permulaan; dan
b.
usul
tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
(2)
|
Laporan Pemeriksaan Bukti
Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan Kertas Kerja
Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
(3)
|
Dalam hal ditemukan:
a.
Peristiwa
Pidana selain yang ditentukan dalam Surat Perintah Pemeriksaan Bukti
Permulaan;
b.
tindak
pidana selain Tindak Pidana di Bidang Perpajakan; dan/atau
c.
informasi
potensi pajak yang bukan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan,
pemeriksa Bukti Permulaan harus
mengungkapkan dalam Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
Bagian
Kedua
Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pasal 30
Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pasal 30
(1)
|
Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan
yang dituangkan dalam Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ditindaklanjuti dengan:
a.
Penyidikan
dalam hal ditemukan Bukti Permulaan yang cukup;
b.
pemberitahuan
secara tertulis oleh kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada
orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti
Permulaan secara terbuka bahwa tidak dilakukan Penyidikan dalam hal
pengungkapan ketidakbenaran perbuatan orang pribadi atau badan selaku Wajib
Pajak telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;
c.
penerbitan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pasal 13A Undang-Undang KUP oleh kepala
Kantor Pelayanan Pajak kepada orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak
yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka;
d.
penghentian
Pemeriksaan Bukti Permulaan oleh kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti
Permulaan dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan
Bukti Permulaan meninggal dunia; atau
e.
penghentian
Pemeriksaan Bukti Permulaan oleh kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti
Permulaan dalam hal tidak ditemukan adanya Bukti Permulaan Tindak Pidana di
Bidang Perpajakan.
|
(2)
|
Dalam hal Pemeriksaan Bukti
Permulaan dilakukan secara terbuka, penghentian Pemeriksaan Bukti Permulaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e diberitahukan secara
tertulis oleh kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi
atau badan atau kuasa.
|
Pasal 31
(1)
|
Dalam hal ditemukan Peristiwa
Pidana selain yang telah ditentukan dalam Surat Perintah Pemeriksaan Bukti
Permulaan, kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat
menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
(2)
|
Dalam hal ditemukan tindak pidana
selain Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan
Bukti Permulaan memberitahukan tindak pidana tersebut kepada pihak yang
berwenang.
|
(3)
|
Dalam hal ditemukan potensi pajak
yang bukan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, kepala Unit Pelaksana
Pemeriksaan Bukti Permulaan mengirimkan informasi mengenai potensi pajak
tersebut kepada pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
(4)
|
Tindak lanjut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dilakukan tanpa menunggu Pemeriksaan
Bukti Permulaan selesai.
|
Bagian
Ketiga
Keterlibatan Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
dalam Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
Pasal 32
Keterlibatan Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
dalam Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
Pasal 32
(1)
|
Dalam hal ditemukan Bukti
Permulaan yang cukup mengenai keterlibatan pegawai Direktorat Jenderal Pajak,
Direktur Jenderal Pajak melaporkan keterlibatan pegawai tersebut kepada
Menteri Keuangan.
|
(2)
|
Kewajiban melaporkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak menunda proses Pemeriksaan Bukti Permulaan,
termasuk terhadap pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang terlibat.
|
Bagian
Keempat
Penyitaan dan Pengembalian Bahan Bukti
Pasal 33
Penyitaan dan Pengembalian Bahan Bukti
Pasal 33
(1)
|
Dalam hal Pemeriksaan Bukti
Permulaan secara terbuka ditindaklanjuti dengan Penyidikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a, Bahan Bukti yang diperoleh
pemeriksa Bukti Permulaan yang diperlukan dalam proses Penyidikan dapat
disita oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal
Pajak.
|
(2)
|
Bahan Bukti yang dipinjam
pemeriksa Bukti Permulaan dari orang pribadi atau badan yang dilakukan
Pemeriksaan Bukti Permulaan dan tidak diperlukan dalam kegiatan Penyidikan,
dikembalikan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti
Permulaan dengan membuat berita acara.
|
(3)
|
Bahan Bukti yang dipinjam dari
pemeriksa dan tidak diperlukan dalam kegiatan Penyidikan, dikembalikan kepada
pemeriksa dengan membuat berita acara.
|
BAB X
BAHAN BUKTI BARU
Pasal 34
BAHAN BUKTI BARU
Pasal 34
(1)
|
Dalam hal diperoleh Bahan Bukti
baru setelah Pemeriksaan Bukti Permulaan diselesaikan yang dapat menyebabkan
simpulan yang berbeda dengan simpulan dalam Laporan Pemeriksaan Bukti
Permulaan, Direktur Jenderal Pajak dapat kembali melakukan Pemeriksaan Bukti
Permulaan.
|
(2)
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan jika Pemeriksaan Bukti Permulaan
sebelumnya telah diselesaikan dengan tindak lanjut selain Penyidikan.
|
BAB XI
TINDAK PIDANA YANG DIKETAHUI SEKETIKA
Pasal 35
TINDAK PIDANA YANG DIKETAHUI SEKETIKA
Pasal 35
(1)
|
Tindak pidana yang diketahui
seketika merupakan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang diketahui sedang
berlangsung atau baru saja terjadi, yang memerlukan penanganan secara segera
terhadap pelaku tindak pidana dan mengamankan Bahan Bukti yang ada padanya.
|
(2)
|
Dalam rangka menangani pelaku
tindak pidana dan mengamankan Bahan Bukti, Penyidik Pegawai Negeri Sipil di
lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dapat secara langsung meminta
keterangan, meminjam dan/atau memeriksa Bahan Bukti.
|
(3)
|
Dalam hal telah diperoleh Bukti
Permulaan yang cukup, terhadap tindak pidana yang diketahui seketika dapat
ditindaklanjuti dengan Penyidikan tanpa didahului Pemeriksaan Bukti
Permulaan.
|
BAB XII
BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP DAN LAPORAN KEJADIAN
Pasal 36
BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP DAN LAPORAN KEJADIAN
Pasal 36
(1)
|
Dalam hal Pemeriksaan Bukti
Permulaan ditindaklanjuti dengan Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat (1) huruf a, pejabat yang berwenang membuat Laporan Kejadian.
|
(2)
|
Dalam hal diperoleh bukti
permulaan yang cukup dari kegiatan:
a.
penanganan
tindak pidana yang diketahui seketika;
b.
pengembangan
Pemeriksaan Bukti Permulaan; atau
c.
pengembangan
Penyidikan,
Laporan Kejadian dapat dibuat
tanpa dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
BAB XIII
PERATURAN PELAKSANAAN
Pasal 37
PERATURAN PELAKSANAAN
Pasal 37
(1)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai:
a.
petunjuk
pelaksanaan pengembangan dan analisis Informasi, Data, Laporan, dan
Pengaduan; dan
b.
petunjuk
pelaksanaan kegiatan intelijen atau pengamatan dalam rangka pengembangan dan
analisis Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan,diatur dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak.
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara penanganan terhadap pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang terlibat
dalam Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak,
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak dan/atau Peraturan Bersama
Direktur Jenderal Pajak dan Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan.
|
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 38
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 38
(1)
|
Pada saat Peraturan Menteri ini
mulai berlaku, Pemeriksaan Bukti Permulaan yang dilakukan berdasarkan Surat
Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan yang diterbitkan sebelum berlakunya
Peraturan Menteri ini, proses penyelesaiannya dilakukan berdasarkan ketentuan
dalam Peraturan Menteri ini kecuali terhadap ketentuan yang mengatur mengenai
jangka waktu penyelesaian Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
(2)
|
Terhadap Pemeriksaan Bukti
Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku ketentuan bahwa
Pemeriksaan Bukti Permulaan diselesaikan oleh pemeriksa Bukti Permulaan dalam
jangka waktu:
a.
paling
lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti
Permulaan secara terbuka disampaikan kepada orang pribadi atau badan;
b.
paling
lama 6 (enam) bulan sejak tanggal Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan
secara tertutup diterima oleh pemeriksa Bukti Permulaan;
c.
sesuai
dengan perpanjangan jangka waktu yang telah diberikan oleh kepala Unit
Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan; atau
d.
paling
lambat tanggal 31 Desember 2016 apabila perpanjangan jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada huruf c melampaui tanggal 31 Desember 2016.
|
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 39
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 39
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 40
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2015.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Desember 2014
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG P.S. BRODJONEGORO
pada tanggal 22 Desember 2014
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG P.S. BRODJONEGORO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Desember 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
Status PMK Nomor 239/PMK.03/2014 Tanggal 22 Desember 2014 adalah sebagai berikut :
- PMK Nomor 239/PMK.03/2014 Tanggal 22 Desember 2014 mulai berlaku sejak Tanggal 1 Januari 2015.
- PMK Nomor 239/PMK.03/2014 Tanggal 22 Desember 2014 mulai berlaku sejak Tanggal 1 Januari 2015.