PMK Nomor 240/PMK.03/2014 Tanggal 22 Desember 2014 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure)
Rangkuman/Ringkasan dan Isi PMK
Nomor 240/PMK.03/2014 Tanggal 22 Desember 2014 Tentang Tata Cara Pelaksanaan
Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) :
- Rangkuman/Ringkasan PMK Nomor 240/PMK.03/2014 Tanggal 22 Desember 2014 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) adalah sebagai berikut :
- Pasal 1 Tentang Pengertian dari Undang-Undang, Negara Mitra, Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, Otoritas Pajak Negara Mitra, Prosedur Persetujuan Bersama, Persetujuan Bersama, Warga Negara Indonesia, Hubungan Istimewa, Penentuan Harga Transfer, Penyesuaian Lanjutan, Permintaan Penyesuaian Lanjutan, Permintaan Penyesuaian Lanjutan, Dual Residence, dan Kesepakatan Harga Transfer.
- Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 Tentang Ruang lingkup dari Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure).
- Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 11 Tentang Prosedur Permintaan pelaksanaan MAP (Mutual Agreement Procedure) yang diajukan oleh Wajib Pajak melalui Direktur Jenderal Pajak.
- Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16 Tentang Prosedur Permintaan pelaksanaan MAP (Mutual Agreement Procedure) oleh Direktur Jenderal Pajak.
- Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20 dan Pasal 21 Tentang Prosedur Permintaan pelaksanaan MAP (Mutual Agreement Procedure) yang diajukan oleh Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
- Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 Tentang pelaksanaan MAP (Mutual Agreement Procedure).
- Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 dan Pasal 30 Tentang Pelaksanaan Persetujuan Bersama.
- Pasal 31 dan Pasal 32 Tentang Dokumentasi proses MAP dan kerahasiaan.
- Pasal 33 Tentang Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pembentukan tim pelaksanaan MAP, tim quality assurance, delegasi perunding Direktorat Jenderal Pajak, dan penetapan naskah posisi (position paper), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
- Pasal 34 Tentang Penyelesaian Permintaan pelaksanaan MAP sebelum berlakunya PMK Nomor 240/PMK.03/2014.
- Pasal 35 Tentang Saat berlakunya PMK Nomor 240/PMK.03/2014.
- Status PMK Nomor 240/PMK.03/2014 Tanggal 22 Desember 2014 adalah sebagai berikut :
- PMK Nomor 240/PMK.03/2014 Tanggal 22 Desember 2014 mulai berlaku sejak Tanggal 22 Desember 2014.
- Peraturan Yang Terkait :
- PMK Nomor 240/PMK.03/2014 Tanggal 22 Desember 2014 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) selengkapnya adalah sebagai berikut :
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 240/PMK.03/2014
TENTANG
TATA CARA PELAKSANAAN PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA
(MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
NOMOR 240/PMK.03/2014
TENTANG
TATA CARA PELAKSANAAN PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA
(MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a.
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal
32A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
diatur bahwa Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan Pemerintah
negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan
pajak;
b.
bahwa sesuai ketentuan dalam
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Pemerintah Indonesia dengan
pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra diatur mengenai Prosedur
Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure);
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 59 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama
(Mutual Agreement Procedure);
Mengingat :
1.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun
2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran
negara Republik Indonesia 5268);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA (MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE).
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
1.
|
Undang-Undang adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang.
|
2.
|
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra adalah negara atau
yurisdiksi yang terikat dengan Pemerintah Indonesia dalam Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda.
|
3.
|
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya
disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak
berganda dan pengelakan pajak.
|
4.
|
Otoritas Pajak Negara Mitra atau Otoritas Pajak Yurisdiksi
Mitra yang selanjutnya disebut Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi
Mitra adalah otoritas perpajakan pada negara mitra atau otoritas perpajakan
pada yurisdiksi mitra yang berwenang melaksanakan ketentuan dalam P3B.
|
5.
|
Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure)
yang selanjutnya disebut MAP adalah prosedur administratif yang diatur dalam
P3B untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B.
|
6.
|
Persetujuan Bersama adalah hasil yang telah disepakati
dalam penerapan P3B oleh pejabat yang berwenang dari Pemerintah Indonesia dan
pemerintah Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra P3B sehubungan dengan MAP yang
telah dilaksanakan.
|
7.
|
Warga Negara Indonesia, yang selanjutnya disingkat WNI
adalah Warga Negara Indonesia berdasarkan ketentuan perundang-undangan di
bidang kewarganegaraan.
|
8.
|
Hubungan Istimewa adalah hubungan antara Wajib Pajak
dengan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang
Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya atau Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
|
9.
|
Penentuan Harga Transfer atau Transfer Pricing yang
selanjutnya disebut Transfer Pricing adalah penentuan harga dalam transaksi
antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
|
10.
|
Penyesuaian Lanjutan (Corresponding Adjustment) yang
selanjutnya disebut Penyesuaian Lanjutan adalah penyesuaian penghasilan kena
pajak Wajib Pajak suatu negara atau yurisdiksi oleh otoritas pajak negara
atau yurisdiksi tersebut sebagai akibat koreksi Transfer Pricing yang
dilakukan oleh otoritas pajak negara atau yurisdiksi lainnya (primary adjustment)
sehingga alokasi penghasilan pada kedua negara atau yurisdiksi tersebut
konsisten, dengan tujuan untuk menghilangkan pengenaan pajak berganda.
|
11.
|
Permintaan Penyesuaian Lanjutan oleh Direktorat Jenderal
Pajak adalah permintaan Penyesuaian Lanjutan dari Direktorat Jenderal Pajak
kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
|
12.
|
Permintaan Penyesuaian Lanjutan oleh Otoritas Pajak Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra adalah permintaan Penyesuaian Lanjutan dari
Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra kepada Direktorat Jenderal
Pajak.
|
13.
|
Dual Residence adalah kondisi subjek pajak yang pada saat
bersamaan dianggap menjadi subjek pajak dalam negeri di dua negara atau
yurisdiksi berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku
di masing-masing negara atau yurisdiksi dimaksud.
|
14.
|
Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement)
yang selanjutnya disebut APA adalah perjanjian tertulis antara:
a.
Direktur
Jenderal Pajak dan Wajib Pajak; atau
b.
Direktur
Jenderal Pajak dengan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang
melibatkan Wajib Pajak,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a)
Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya untuk menyepakati
kriteria-kriteria dan/atau menentukan harga wajar atau laba wajar dimuka.
|
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
RUANG LINGKUP
Pasal 2
(1)
|
MAP dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak dan Otoritas
Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
|
(2)
|
MAP yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Direktur Peraturan
Perpajakan II, yang bertindak sebagai pejabat yang berwenang atau competent
authority di Indonesia.
|
(3)
|
MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam P3B yang berlaku efektif sebelum,
sejak, atau setelah berlakunya Peraturan Menteri ini.
|
Pasal 3
(1)
|
Permintaan pelaksanaan MAP dapat diajukan oleh:
a.
Wajib
Pajak melalui Direktur Jenderal Pajak;
b.
Direktur
Jenderal Pajak; atau
c.
Otoritas
Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra,
dalam batas waktu pelaksanaan MAP sebagaimana ditetapkan
dalam P3B.
|
(2)
|
Wajib Pajak yang dapat mengajukan permintaan pelaksanaan
MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah Wajib Pajak dalam
negeri Indonesia yaitu subjek pajak dalam negeri yang menerima atau
memperoleh penghasilan dan dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak
Penghasilan 1984 dan perubahannya.
|
Pasal 4
(1)
|
Permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) diajukan dalam batas waktu terhitung sejak saat
pemberitahuan pertama mengenai tindakan yang menimbulkan pengenaan pajak yang
tidak sesuai dengan P3B sampai dengan berakhirnya batas waktu dimaksud sesuai
ketentuan dalam P3B.
|
(2)
|
Untuk permintaan pelaksanaan MAP yang diajukan oleh
Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b
atau permintaan pelaksanaan MAP yang diajukan oleh Otoritas Pajak Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf
c, saat pemberitahuan pertama mengenai tindakan yang menimbulkan pengenaan
pajak yang tidak sesuai dengan P3B sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.
tanggal
surat ketetapan pajak;
b.
tanggal
bukti pemotongan/pemungutan pajak penghasilan; atau
c.
saat
lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
|
Pasal 5
(1)
|
Permintaan pelaksanaan MAP oleh pihak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dapat diajukan bersamaan dengan permohonan Wajib Pajak untuk
mengajukan:
a.
keberatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang;
b.
permohonan
banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Undang-Undang; atau
c.
pengurangan
atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang.
|
(2)
|
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat
mengajukan secara bersamaan dengan permintaan pelaksanaan MAP oleh pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yaitu:
a.
Wajib
Pajak dalam negeri Indonesia yang mengajukan permintaan pelaksanaan MAP
melalui Direktur Jenderal Pajak;
b.
Wajib
Pajak dalam negeri Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia yang
terkait dengan permintaan pelaksanaan MAP oleh Direktur Jenderal Pajak; atau
c.
Wajib
Pajak dalam negeri Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia yang
terkait dengan permintaan pelaksanaan MAP oleh Otoritas Pajak Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra.
|
(3)
|
Permintaan pelaksanaan MAP tidak dapat diajukan dalam hal
sidang telah dicukupkan oleh Pengadilan Pajak atas surat ketetapan pajak yang
diajukan permintaan pelaksanaan MAP.
|
Pasal 6
Pengajuan permintaan pelaksanaan MAP dan pelaksanaan MAP:
a.
tidak menunda kewajiban membayar
pajak yang terutang sebagaimana tercantum dalam surat ketetapan pajak atau
surat keputusan keberatan berdasarkan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
b.
tidak menunda pelaksanaan penagihan
pajak.
BAB III
PERMINTAAN PELAKSANAAN MAP YANG DIAJUKAN OLEH
WAJIB PAJAK MELALUI DIREKTUR JENDERAL PAJAK
Pasal 7
PERMINTAAN PELAKSANAAN MAP YANG DIAJUKAN OLEH
WAJIB PAJAK MELALUI DIREKTUR JENDERAL PAJAK
Pasal 7
(1)
|
Wajib Pajak dalam negeri Indonesia yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dapat mengajukan permintaan
pelaksanaan MAP kepada Direktur Peraturan Perpajakan II atas:
a.
tindakan
Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang mengakibatkan atau
akan mengakibatkan pengenaan pajak berganda terhadap Wajib Pajak dalam negeri
Indonesia, sebagai akibat praktik Transfer Pricing yang dilakukan dengan
Wajib Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;.
b.
tindakan
Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang mengakibatkan atau
akan mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B,
sehubungan dengan keberadaan atau penghasilan bentuk usaha tetap di Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang dimiliki Wajib Pajak dalam negeri Indonesia;
c.
permasalahan
Dual Residence; atau
d.
penerapan
ketentuan yang tidak sesuai dengan P3B sehubungan dengan penghasilan yang
bersumber dari Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, termasuk pemotongan atau
pemungutan pajak oleh Wajib Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
|
(2)
|
Wajib Pajak yang mengajukan permintaan pelaksanaan MAP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan informasi sebagai
berikut:
a.
nama,
Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat, dan jenis usaha Wajib Pajak dalam negeri
Indonesia yang mengajukan permintaan pelaksanaan MAP;
b.
nama dan
identitas pendukung dari Wajib Pajak dalam negeri Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra yang terkait transaksi Transfer Pricing, antara lain nomor
identitas Wajib Pajak dan surat keterangan domisili;
c.
nama dan
identitas pendukung dari Wajib Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang
melakukan pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak dalam negeri Indonesia yang mengajukan permintaan MAP, antara
lain nomor identitas Wajib Pajak dan surat keterangan domisili;
d.
Tahun
Pajak dan/atau Masa Pajak sehubungan dengan permintaan pelaksanaan MAP;
e.
tindakan
yang telah dilakukan oleh Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra
atau oleh Wajib Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, yang dianggap tidak
sesuai dengan ketentuan P3B;
f.
penjelasan
mengenai transaksi yang telah dilakukan koreksi oleh Otoritas Pajak Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra, yang meliputi substansi transaksi, nilai
koreksi, dan dasar dilakukannya koreksi; dan
g.
pendapat
Wajib Pajak dalam negeri Indonesia atas penerapan ketentuan dalam P3B
sehubungan dengan tindakan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra
sebagaimana dimaksud pada huruf f.
|
(3)
|
Pengajuan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a.
diajukan
secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
b.
ditandatangani
oleh Wajib Pajak dalam negeri Indonesia atau wakilnya yang sah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang; dan
c.
dalam
hal ditandatangani oleh kuasa, dilampiri surat kuasa khusus sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang.
|
Pasal 8
(1)
|
Direktur Peraturan Perpajakan II meneliti pengajuan
permintaan pelaksanaan MAP, mengenai pemenuhan:
a.
ketentuan
terkait batas waktu pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) huruf a dan Pasal 4 ayat (1); dan
b.
ketentuan
Pasal 7.
|
(2)
|
Dalam melaksanakan penelitian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Direktur Peraturan Perpajakan II dapat meminta penjelasan lebih
lanjut kepada Wajib Pajak dalam negeri Indonesia yang mengajukan permintaan
pelaksanaan MAP, termasuk meminta dokumen pendukung dan informasi lain yang
diperlukan.
|
Pasal 9
(1)
|
Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 permintaan pelaksanaan MAP dapat dilaksanakan,
Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan:
a.
surat
pemberitahuan kepada Wajib Pajak dalam negeri Indonesia yang mengajukan
permintaan pelaksanaan MAP, bahwa permintaan pelaksanaan MAP telah lengkap
dan permintaan dimaksud akan disampaikan kepada Otoritas Pajak Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra; dan
b.
surat
permintaan pelaksanaan MAP kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi
Mitra.
|
(2)
|
Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 permintaan pelaksanaan MAP tidak dapat dilaksanakan,
Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan surat penolakan permintaan
pelaksanaan MAP kepada Wajib Pajak dalam negeri Indonesia yang mengajukan
permintaan pelaksanaan MAP, beserta alasannya.
|
Pasal 10
(1)
|
Terhadap permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) yang diterima oleh Otoritas Pajak Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan:
a.
pemberitahuan
secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa permintaan pelaksanaan
MAP telah diterima oleh Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra,
dan akan dilakukan pelaksanaan MAP; dan
b.
usulan
pembentukan tim pelaksanaan MAP kepada Direktur Jenderal Pajak.
|
(2)
|
Dalam hal permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) ditolak oleh Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi
Mitra, Direktur Peraturan Perpajakan II dapat meminta penjelasan lebih lanjut
atas alasan penolakan tersebut.
|
(3)
|
Dalam hal Direktur Peraturan Perpajakan II dapat menerima
alasan penolakan oleh Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, Direktur
Peraturan Perpajakan II menyampaikan surat penolakan pelaksanaan MAP kepada
Wajib Pajak dalam negeri Indonesia yang mengajukan permintaan pelaksanaan
MAP, beserta alasannya.
|
Pasal 11
(1)
|
Wajib Pajak dalam negeri Indonesia yang mengajukan
permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dapat
mencabut permintaan pelaksanaan MAP dimaksud paling lambat sebelum diperoleh
Persetujuan Bersama.
|
(2)
|
Pencabutan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada Direktur Peraturan Perpajakan II, dan harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a.
diajukan
secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
b.
disampaikan
alasan pencabutan permintaan pelaksanaan MAP;
c.
ditandatangani
oleh Wajib Pajak dalam negeri Indonesia atau wakilnya yang sah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang; dan
d.
dalam
hal ditandatangani oleh kuasa, dilampiri surat kuasa khusus sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang.
|
BAB IV
PERMINTAAN PELAKSANAAN MAP OLEH
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
Pasal 12
PERMINTAAN PELAKSANAAN MAP OLEH
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
Pasal 12
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat mengajukan permintaan
pelaksanaan MAP atas hal yang dianggap perlu dan atas inisiatif Direktur
Jenderal Pajak.
|
(2)
|
Hal yang dianggap perlu dan atas inisiatif Direktur
Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
peninjauan
ulang Persetujuan Bersama yang telah disepakati sebelumnya karena terdapat
indikasi ketidakbenaran informasi atau dokumen yang diajukan oleh Wajib Pajak
dalam negeri Indonesia dan/atau oleh Otoritas Pajak Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra, termasuk karena terdapat data baru atau data yang semula
belum terungkap pada pelaksanaan MAP sebelumnya;
b.
penyampaian
Permintaan Penyesuaian Lanjutan oleh Direktorat Jenderal Pajak;
c.
tindak
lanjut permohonan APA dari Wajib Pajak di Indonesia;
d.
penafsiran
atas suatu ketentuan tertentu dalam P3B yang diperlukan dalam pelaksanaan P3B
yang bersangkutan; atau
e.
hal-hal
lain yang diperlukan dalam rangka melaksanakan ketentuan P3B.
|
(3)
|
Pengajuan permintaan pelaksanaan MAP atas hal yang
dianggap perlu dan atas inisiatif Direktur Jenderal Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat juga dilakukan untuk menindaklanjuti permintaan
pelaksanaan MAP dari WNI yang menjadi Wajib Pajak dalam negeri Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra yakni dalam hal WNI dimaksud dikenai pajak di Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang lebih berat dibandingkan dengan yang dikenai
oleh Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra kepada warga negaranya terkait kasus
non diskriminasi berdasarkan ketentuan P3B.
|
(4)
|
WNI yang mengajukan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) menyampaikan kepada Direktur Peraturan Perpajakan II
mengenai informasi paling sedikit sebagai berikut:
a.
nama,
alamat, dan kegiatan usaha WNI yang mengajukan permintaan pelaksanaan MAP;
b.
tindakan
atau pengenaan pajak yang telah dilakukan oleh Otoritas Pajak Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra yang dianggap lebih berat dibandingkan dengan tindakan
atau pengenaan pajak yang dilakukan oleh Otoritas Pajak Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra dimaksud kepada warga negaranya sendiri; dan
c.
tahun
pajak dan/atau masa pajak sehubungan dengan permintaan pelaksanaan MAP.
|
(5)
|
Permintaan pelaksanaan MAP dari WNI sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a.
diajukan
secara tertulis dalam bahasa Indonesia; dan
b.
ditandatangani
oleh WNI yang bersangkutan, atau dalam hal ditandatangani oleh kuasa,
dilampiri surat kuasa khusus berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
Pasal 13
(1)
|
Direktur Peraturan Perpajakan II meneliti pemenuhan:
a.
ketentuan
terkait batas waktu pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) huruf b dan Pasal 4; dan
b.
ketentuan
Pasal 12.
|
(2)
|
Dalam melaksanakan penelitian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Direktur Peraturan Perpajakan II dapat meminta penjelasan lebih
lanjut, termasuk meminta dokumen pendukung dan informasi lain yang diperlukan
kepada:
a.
Wajib
Pajak di Indonesia yang terkait dengan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2); atau
b.
WNI yang
mengajukan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (3).
|
Pasal 14
(1)
|
Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 permintaan pelaksanaan MAP dapat dilaksanakan,
Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan:
a.
pemberitahuan
secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa akan dilakukan
permintaan pelaksanaan MAP kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi
Mitra;
b.
surat
pemberitahuan kepada Wajib Pajak di Indonesia yang terkait sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) atau kepada WNI sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (3), bahwa permintaan pelaksanaan MAP telah lengkap; dan
c.
surat
permintaan pelaksanaan MAP kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi
Mitra.
|
(2)
|
Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 permintaan pelaksanaan MAP tidak dapat dilaksanakan,
Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan surat permintaan pelaksanaan
MAP tidak dapat dilaksanakan kepada WNI atau Wajib Pajak di Indonesia yang
terkait dengan permintaan pelaksanaan MAP.
|
Pasal 15
(1)
|
Terhadap permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) yang diterima oleh Otoritas Pajak Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan:
a.
pemberitahuan
secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa akan dilaksanakan MAP
dengan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
b.
surat
pemberitahuan kepada Wajib Pajak di Indonesia yang terkait sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) atau kepada WNI sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (3), bahwa akan dilaksanakan MAP dengan Otoritas Pajak Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra; dan
c.
usulan
pembentukan tim pelaksanaan MAP kepada Direktur Jenderal Pajak.
|
(2)
|
Dalam hal permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) ditolak oleh Otoritas Pajak Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra, dan alasan penolakan dimaksud tidak dapat diterima,
Direktur Peraturan Perpajakan II dapat meminta penjelasan lebih lanjut atas
ditolaknya permintaan pelaksanaan MAP.
|
(3)
|
Dalam hal Direktur Peraturan Perpajakan II dapat menerima
alasan penolakan oleh Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra,
Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan:
a.
pemberitahuan
secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak tentang penolakan permintaan
pelaksanaan MAP; dan/atau
b.
surat
penolakan pelaksanaan MAP kepada Wajib Pajak di Indonesia yang terkait
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) atau kepada WNI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3).
|
Pasal 16
(1)
|
WNI yang mengajukan permintaan
pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dapat mencabut
permintaan pelaksanaan MAP paling lambat sebelum diperoleh Persetujuan
Bersama.
|
(2)
|
Pencabutan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada Direktur Peraturan Perpajakan II, dan harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a.
diajukan
secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
b.
disampaikan
alasan pencabutan permintaan pelaksanaan MAP;
c.
ditandatangani
oleh WNI yang bersangkutan atau dalam hal ditandatangani oleh kuasa,
dilampiri surat kuasa khusus berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
BAB V
PERMINTAAN PELAKSANAAN MAP YANG DIAJUKAN OLEH OTORITAS
PAJAK NEGARA MITRA ATAU YURISDIKSI MITRA
Pasal 17
PERMINTAAN PELAKSANAAN MAP YANG DIAJUKAN OLEH OTORITAS
PAJAK NEGARA MITRA ATAU YURISDIKSI MITRA
Pasal 17
(1)
|
Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dapat
mengajukan permintaan pelaksanaan MAP kepada Direktur Peraturan Perpajakan II
atas:
a.
surat
ketetapan pajak yang diterbitkan kepada Wajib Pajak dalam negeri Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia, yang atas penetapan pajak dalam surat
ketetapan pajak dimaksud dianggap tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B,
termasuk akibat koreksi Transfer Pricing yang dianggap tidak sesuai dengan
ketentuan dalam P3B;
b.
surat
ketetapan pajak yang diterbitkan kepada Wajib Pajak dalam negeri Indonesia
terkait transaksi dengan Wajib Pajak dalam negeri Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra, yang atas penetapan pajak dalam surat ketetapan pajak
dimaksud dianggap tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B, termasuk akibat
koreksi Transfer Pricing yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan dalam
P3B;
c.
Permintaan
Penyesuaian Lanjutan oleh Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
d.
pemotongan
atau pemungutan pajak oleh Wajib Pajak di Indonesia sehubungan dengan
penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang dianggap tidak sesuai dengan
ketentuan dalam P3B;
e.
penafsiran
ketentuan dalam P3B yang dapat menimbulkan pengenaan pajak berganda atau
penghindaran pajak;
f.
permasalahan
Dual Residence;
g.
tindak
lanjut permohonan APA dari Wajib Pajak dalam negeri Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra; atau
h.
pemajakan
yang lebih berat yang dikenai terhadap Warga Negara Mitra atau Yurisdiksi
Mitra yang menjadi Wajib Pajak dalam negeri Indonesia dibandingkan dengan
yang dikenai terhadap WNI terkait kasus non diskriminasi berdasarkan
ketentuan P3B.
|
(2)
|
Pengajuan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditandatangani oleh pejabat yang berwenang di Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra, dan menyampaikan informasi sebagai berikut:
a.
nama dan
identitas pendukung dari Wajib Pajak dalam negeri Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra terkait, atas pengajuan permintaan pelaksanaan MAP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf g;
b.
nama dan
identitas pendukung dari Warga Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang
menjadi Wajib Pajak dalam negeri Indonesia, atas pengajuan permintaan
pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h;
c.
nama
dan/atau Nomor Pokok Wajib Pajak di Indonesia yang terkait dengan permintaan
pelaksanaan MAP;
d.
Tahun
Pajak dan/atau masa pajak sehubungan dengan permintaan pelaksanaan MAP; dan
e.
tindakan
yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri Indonesia atau oleh
Direktorat Jenderal Pajak yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan P3B,
atau penjelasan atas penafsiran Direktorat Jenderal Pajak terhadap ketentuan
dalam P3B yang dapat menimbulkan pengenaan pajak berganda atau penghindaran
pajak.
|
(3)
|
Dalam hal Otoritas Pajak Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra mengajukan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan
kepada Wajib Pajak di Indonesia terkait mengenai adanya permintaan
pelaksanaan MAP atas Permintaan Penyesuaian Lanjutan oleh Otoritas Pajak
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
|
(4)
|
Dalam hal Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi
Mitra mengajukan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf g, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan kepada Wajib Pajak
di Indonesia terkait mengenai adanya permintaan pelaksanaan MAP sebagai
tindak lanjut permohonan APA dari Wajib Pajak dalam negeri Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra.
|
Pasal 18
(1)
|
Direktur Peraturan Perpajakan II meneliti pengajuan
permintaan pelaksanaan MAP, mengenai pemenuhan:
a.
ketentuan
terkait batas waktu pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) huruf c dan Pasal 4; dan
b.
ketentuan
Pasal 17.
|
(2)
|
Dalam melaksanakan penelitian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Direktur Peraturan Perpajakan II dapat meminta penjelasan lebih
lanjut kepada:
a.
Otoritas
Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang mengajukan permintaaan
pelaksanaan MAP;
b.
Wajib
Pajak dalam negeri Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia yang
terkait dengan permintaan pelaksanaan MAP, termasuk meminta dokumen pendukung
dan informasi lain yang diperlukan.
|
(3)
|
Dalam hal permintaan pelaksanaan MAP terkait dengan
transaksi Transfer Pricing, Direktur Peraturan Perpajakan II melakukan
penelitian dalam P3B mengenai ada atau tidaknya ketentuan yang secara
spesifik mengatur mengenai Penyesuaian Lanjutan, sebagai bahan pertimbangan
dapat diterima atau tidaknya permintaan pelaksanaan MAP.
|
(4)
|
Pengajuan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1) huruf c yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dapat diterima sepanjang Wajib Pajak di Indonesia terkait
mengajukan pelaksanaan MAP atas permasalahan yang sama kepada Direktur
Peraturan Perpajakan II.
|
(5)
|
Pengajuan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1) huruf g yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dapat diterima dalam hal Wajib Pajak di Indonesia terkait juga
mengajukan permintaan pelaksanaan APA atas permasalahan yang sama kepada
Direktur Jenderal Pajak.
|
Pasal 19
(1)
|
Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 permintaan pelaksanaan MAP dapat diterima, Direktur
Peraturan Perpajakan II menyampaikan persetujuan secara tertulis pelaksanaan
MAP kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
|
(2)
|
Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 permintaan pelaksanaan MAP tidak dapat diterima,
Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan penolakan secara tertulis
pelaksanaan MAP beserta alasannya kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra.
|
Pasal 20
(1)
|
Dalam hal permintaan pelaksanaan MAP diterima sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), Direktur Peraturan Perpajakan II
menyampaikan:
a.
pemberitahuan
secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa akan dilaksanakan MAP
dengan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra; dan
b.
usulan
pembentukan tim pelaksanaan MAP kepada Direktur Jenderal Pajak.
|
(2)
|
Dalam hal permintaan pelaksanaan MAP diterima sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan
pemeriksaan untuk Tahun Pajak dan/atau Masa Pajak yang sedang diproses dalam
MAP.
|
(3)
|
Dalam hal permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terkait dengan Wajib Pajak dalam negeri Indonesia atau bentuk
usaha tetap di Indonesia, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis mengenai pelaksanaan MAP kepada Wajib Pajak
dalam negeri Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dimaksud.
|
(4)
|
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi
informasi mengenai:
a.
tanggal
diterimanya permintaan pelaksanaan MAP;
b.
nama dan
identitas pendukung dari Wajib Pajak dalam negeri Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf
a; dan
c.
Tahun
Pajak dan/atau Masa Pajak yang akan dibahas dalam pelaksanaan MAP.
|
Pasal 21
(1)
|
Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dapat
mencabut permintaan pelaksanaan MAP paling lambat sebelum diperoleh
Persetujuan Bersama.
|
(2)
|
Pencabutan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada Direktur Peraturan Perpajakan II, dan
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari Negara Mitra atau Yurisdiksi
Mitra.
|
BAB VI
PELAKSANAAN MAP
Pasal 22
PELAKSANAAN MAP
Pasal 22
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak membentuk tim pelaksanaan MAP
dengan mempertimbangkan usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
huruf b, Pasal 15 ayat (1) huruf c, atau Pasal 20 ayat (1) huruf b.
|
(2)
|
Tim pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertugas untuk:
a.
melakukan
penelitian atas hal-hal yang diajukan dalam permintaan pelaksanaan MAP;
b.
melakukan
pembahasan dengan Wajib Pajak dalam negeri Indonesia yang mengajukan
permintaan pelaksanaan MAP atas permasalahan yang akan atau sedang dibahas
dalam pelaksanaan MAP, dalam hal permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a;
c.
melakukan
pembahasan dengan WNI atau Wajib Pajak di Indonesia yang terkait dengan
permintaan pelaksanaan MAP atas permasalahan yang akan atau sedang dibahas
dalam pelaksanaan MAP, dalam hal permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b;
d.
melakukan
pembahasan dengan Wajib Pajak dalam negeri Indonesia atau bentuk usaha tetap
di Indonesia yang terkait dengan permintaan pelaksanaan MAP atas permasalahan
yang akan atau sedang dibahas dalam pelaksanaan MAP, dalam hal permintaan
pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c;
e.
melakukan
peninjauan ke tempat kegiatan usaha Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada
huruf b, huruf c, atau huruf d, dalam hal diperlukan;
f.
melakukan
pembahasan dengan unit terkait di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak;
g.
meminta
dokumen pendukung dan informasi lain yang diperlukan dari WNI atau Wajib
Pajak di Indonesia yang terkait dengan permintaan pelaksanaan MAP;
h.
melakukan
penelitian ketentuan perpajakan dan kelaziman praktik secara internasional
terkait permasalahan yang akan atau sedang dibahas dalam pelaksanaan MAP;
i.
meminta
untuk dilakukan pertukaran informasi dalam rangka perpajakan kepada Otoritas
Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, dalam hal diperlukan;
j.
meminta
usulan dari unit terkait di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal
diperlukan;
k.
meminta
dokumen dan informasi yang diperlukan dari pihak terkait lainnya, dalam hal
diperlukan;
l.
menyiapkan
rekomendasi naskah posisi (position paper);
m.
meneliti
perlu tidaknya dilakukan konfirmasi kepada Wajib Pajak di Indonesia atas
rancangan Persetujuan Bersama, dalam hal permintaan pelaksanaan MAP atas hal
yang dianggap perlu dan atas inisiatif Direktur Jenderal Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), atau atas penafsiran ketentuan dalam P3B
yang dapat menimbulkan pengenaan pajak berganda atau penghindaran pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf e;
n.
menyiapkan
kemungkinan dilakukannya penyesuaian kewajiban objek pajak lainnya (secondary
adjustment) akibat Persetujuan Bersama terkait permasalahan Transfer Pricing,
dalam hal diperlukan; dan
o.
melakukan
dokumentasi atas kegiatan yang dilakukan.
|
Pasal 23
(1)
|
Naskah posisi (position paper) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 huruf l merupakan posisi runding Direktorat Jenderal Pajak dalam
MAP.
|
(2)
|
Tim pelaksanaan MAP menyampaikan rekomendasi naskah posisi
(position paper) kepada Direktur Peraturan Perpajakan II.
|
(3)
|
Terhadap rekomendasi naskah posisi (position paper)
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah disetujui, Direktur Peraturan
Perpajakan II menyampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak.
|
Pasal 24
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak membahas naskah posisi (position
paper) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) bersama dengan tim
quality assurance.
|
(2)
|
Tim quality assurance sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan tim yang dibentuk oleh Direktur Jenderal Pajak dalam rangka
penetapan naskah posisi (position paper).
|
(3)
|
Dalam pelaksanaan MAP, dengan mempertimbangkan pendapat
Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dan keadaan yang sebenarnya
dapat dilakukan perubahan naskah posisi (position paper, untuk melaksanakan
ketentuan dalam P3B.
|
(4)
|
Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan usulan
perubahan naskah posisi (position paper) sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
kepada Direktur Jenderal Pajak.
|
(5)
|
Direktur Jenderal Pajak membahas usulan perubahan naskah
posisi (position paper) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersama dengan tim
quality assurance.
|
Pasal 25
(1)
|
Pelaksanaan MAP dilakukan oleh Direktur Peraturan
Perpajakan II melalui konsultasi dengan Otoritas Pajak Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra.
|
(2)
|
Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
pertemuan
langsung;
b.
komunikasi
secara elektronik; dan/atau
c.
korespondensi.
|
(3)
|
Konsultasi berupa pertemuan langsung sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a dilakukan oleh delegasi perunding Direktorat Jenderal
Pajak yang dipimpin oleh Direktur Peraturan Perpajakan II yang bertindak
sebagai pejabat yang berwenang atau competent authority di Indonesia.
|
(4)
|
Delegasi perunding sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dibentuk oleh Direktur Jenderal Pajak dengan mempertimbangkan usulan Direktur
Peraturan Perpajakan II.
|
(5)
|
Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat
konsultasi pertama kali dilakukan.
|
(6)
|
Dalam hal konsultasi dalam rangka pelaksanaan MAP belum
menghasilkan Persetujuan Bersama dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), jangka waktu konsultasi dapat diperpanjang berdasarkan kesepakatan
antara Direktur Peraturan Perpajakan II dengan Otoritas Pajak Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra.
|
(7)
|
Saat konsultasi pertama kali dilakukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) adalah:
a.
tanggal
surat dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang menyatakan
bahwa permintaan pelaksanaan MAP dapat diterima, untuk permintaan pelaksanaan
MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b;
b.
tanggal
surat dari Direktur Peraturan Perpajakan II yang menyatakan bahwa permintaan
pelaksanaan MAP dapat diterima, untuk permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c; atau
c.
tanggal
pertemuan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a yang pertama
kali antara Direktur Peraturan Perpajakan II dengan pejabat yang berwenang
dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, dalam hal pernyataan
dapat diterimanya permintaan pelaksanaan MAP dilakukan tanpa melalui surat
menyurat sebagaimana dimaksud pada huruf a atau huruf b.
|
Pasal 26
(1)
|
Direktur Peraturan Perpajakan II dapat menghentikan
pelaksanaan MAP dalam hal:
|
||||||||||||||||||||
(2)
|
Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis tentang penghentian pelaksanaan MAP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada:
a.
Direktur
Jenderal Pajak; dan
b.
Wajib
Pajak dalam negeri Indonesia, bentuk usaha tetap di Indonesia atau WNI
terkait.
|
BAB VII
PERSETUJUAN BERSAMA
Pasal 27
PERSETUJUAN BERSAMA
Pasal 27
(1)
|
Direktur Peraturan Perpajakan II berwenang untuk
menyepakati Persetujuan Bersama berdasarkan naskah posisi (position paper).
|
(2)
|
Sebelum Direktur Peraturan Perpajakan II menyepakati
Persetujuan Bersama, Direktur Peraturan Perpajakan II dan Otoritas Pajak
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra menyusun rancangan Persetujuan Bersama.
|
(3)
|
Dalam hal permintaan pelaksanan MAP terkait dengan:
a.
Wajib
Pajak dalam negeri Indonesia yang mengajukan permintaan pelaksanaan MAP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a;
b.
WNI yang
menjadi Wajib Pajak dalam negeri Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra terkait
permasalahan diskriminasi berdasarkan ketentuan P3B sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b; atau
c.
Wajib
Pajak dalam negeri Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia yang
terkait dengan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf b atau huruf c,
Direktur Peraturan Perpajakan II harus terlebih dahulu
memintakan konfirmasi kepada Wajib Pajak dalam negeri Indonesia, WNI yang
menjadi Wajib Pajak dalam negeri Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, atau
Wajib Pajak dalam negeri Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia
bersangkutan, mengenai diterima atau tidaknya rancangan Persetujuan Bersama
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
(4)
|
Wajib Pajak dalam negeri Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf a, WNI sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, atau
Wajib Pajak dalam negeri Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf c, menyampaikan konfirmasi secara tertulis
mengenai diterima atau tidaknya rancangan Persetujuan Bersama kepada Direktur
Peraturan Perpajakan II.
|
(5)
|
Direktur Peraturan Perpajakan II menyepakati Persetujuan
Bersama dengan pejabat yang berwenang dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra setelah memperoleh konfirmasi diterimanya rancangan
Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
|
(6)
|
Dalam hal berdasarkan hasil penelitian tim pelaksanaan MAP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf m, rancangan Persetujuan
Bersama tidak perlu dimintakan konfirmasi kepada Wajib Pajak di Indonesia,
Direktur Peraturan Perpajakan II dapat menyepakati Persetujuan Bersama dengan
pejabat yang berwenang dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi
Mitra.
|
Pasal 28
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak yang berisi mengenai Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 serta tindak lanjut Persetujuan Bersama tersebut.
|
(2)
|
Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada:
a.
unit di
lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang terkait dengan pelaksanaan MAP;
b.
Wajib
Pajak dalam negeri Indonesia yang mengajukan permintaan pelaksanaan MAP,
dalam hal permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) huruf a;
c.
WNI yang
menjadi Wajib Pajak dalam negeri Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra terkait
permasalahan diskriminasi berdasarkan ketentuan P3B, dalam hal permintaan
pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b; dan/atau
d.
Wajib
Pajak dalam negeri Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia yang
terkait dengan pelaksanaan MAP, dalam hal permintaan pelaksanaan MAP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b atau huruf c.
|
Pasal 29
(1)
|
Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama
setelah surat ketetapan pajak diterbitkan tetapi:
a.
tidak
diajukan keberatan;
b.
diajukan
keberatan tetapi dicabut dan diterbitkan surat persetujuan pencabutan;
c.
diajukan
keberatan tetapi tidak memenuhi persyaratan sehingga tidak dipertimbangkan;
d.
tidak
diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang
tidak benar; atau
e.
diajukan
permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar
tetapi tidak memenuhi ketentuan,
Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan atas surat
ketetapan pajak secara jabatan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 Undang-Undang.
|
(2)
|
Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama
dan Wajib Pajak mengajukan keberatan tetapi belum diterbitkan surat keputusan
keberatan, Direktur Jenderal Pajak memperhitungkan Persetujuan Bersama
tersebut dalam Surat Keputusan Keberatan.
|
(3)
|
Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama
setelah Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan tetapi
tidak diajukan banding atau Wajib Pajak mengajukan banding tetapi dicabut,
Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan atas Surat Keputusan Keberatan
secara jabatan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
Undang-Undang.
|
(4)
|
Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama
yang menyebabkan pajak yang masih harus dibayar berkurang dan Wajib Pajak
mengajukan permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan atau pembatalan
surat ketetapan pajak tetapi belum diterbitkan surat keputusan atas
permohonan dimaksud, Direktur Jenderal Pajak memperhitungkan Persetujuan
Bersama dimaksud dalam surat keputusan atas permohonan pembetulan atau
permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak.
|
(5)
|
Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama
yang menyebabkan pajak yang masih harus dibayar bertambah dan Wajib Pajak
mengajukan permohonan pembetulan surat ketetapan pajak tetapi belum
diterbitkan surat keputusan atas permohonan dimaksud, Direktur Jenderal Pajak
memperhitungkan Persetujuan Bersama dimaksud dalam surat keputusan atas
permohonan pembetulan surat ketetapan pajak.
|
(6)
|
Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama
yang menyebabkan pajak yang masih harus dibayar bertambah dan Wajib Pajak
mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak
tetapi belum diterbitkan surat keputusan atas permohonan dimaksud, Direktur
Jenderal Pajak menolak permohonan tersebut dan melakukan pembetulan surat
ketetapan pajak secara jabatan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 Undang-Undang dengan memperhitungkan Persetujuan Bersama.
|
(7)
|
Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama
yang menyebabkan pajak yang masih harus dibayar berkurang setelah Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan atas pengurangan atau pembatalan
ketetapan pajak yang tidak benar, Direktur Jenderal Pajak melakukan
pembetulan atas surat Keputusan tersebut secara jabatan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang dengan
memperhitungkan Persetujuan Bersama.
|
(8)
|
Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama
yang menyebabkan pajak yang masih harus dibayar bertambah setelah Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan keputusan atas pengurangan atau pembatalan
ketetapan pajak yang tidak benar, Direktur Jenderal Pajak:
a.
melakukan
pembetulan atas Surat Keputusan Pengurangan atau Surat Keputusan Pembatalan
Ketetapan Pajak secara jabatan; dan
b.
melakukan
pembetulan surat ketetapan pajak secara jabatan dengan memperhitungkan isi
persetujuan bersama.
|
(9)
|
Dalam hal Persetujuan Bersama berkaitan dengan pemotongan
atau pemungutan Pajak Penghasilan di Indonesia, dapat dilakukan tindak lanjut
berdasarkan prosedur atau tata cara pengembalian pajak yang seharusnya tidak
terutang, sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk Tahun Pajak yang sama
dengan Tahun Pajak Persetujuan Bersama.
|
Pasal 30
Dalam hal pelaksanaan MAP tidak menghasilkan Persetujuan Bersama, berlaku surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembetulan.
BAB VIII
DOKUMENTASI PROSES MAP DAN KERAHASIAAN
Pasal 31
DOKUMENTASI PROSES MAP DAN KERAHASIAAN
Pasal 31
Direktur Peraturan Perpajakan II melakukan dokumentasi atas:
a.
laporan penelitian atas permintaan
pelaksanaan MAP;
b.
laporan penelitian tim pelaksanaan
MAP atas penyiapan usulan naskah posisi (position paper) dan perubahannya;
c.
laporan pembahasan bersama Direktur
Jenderal Pajak dan tim quality assurance dalam menentukan naskah posisi
(position paper) dan perubahannya yang disampaikan kepada Direktur Peraturan
Perpajakan II;
d.
naskah posisi (position paper) dan
perubahannya;
e.
surat menyurat, termasuk surat
menyurat elektronik;
f.
hasil rekaman digital atau
elektronik; dan
g.
dokumen lainnya yang terkait.
Pasal 32
Dokumen yang dipergunakan sejak pengajuan permintaan pelaksanaan MAP sampai dengan penyelesaian atau dihentikannya proses pelaksanaan MAP diperlakukan secara rahasia sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 33
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pembentukan tim pelaksanaan MAP, tim quality assurance, delegasi perunding Direktorat Jenderal Pajak, dan penetapan naskah posisi (position paper), diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 34
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 34
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, terhadap permintaan pelaksanaan MAP yang telah:
a.
diterima oleh Direktur Jenderal
Pajak; atau
b.
diajukan oleh Direktur Jenderal
Pajak kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra,
sebelum
berlakunya Peraturan Menteri ini dan belum diperoleh Persetujuan Bersama,
dilakukan pemrosesan lebih lanjut berdasarkan Peraturan Menteri ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Desember 2014
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG P.S. BRODJONEGORO
pada tanggal 22 Desember 2014
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG P.S. BRODJONEGORO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Desember 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 1952