PMK-41/PMK.03/2020 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Impor Dan Penyerahan Alat Angkutan Tertentu Serta Penyerahan Dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu Yang Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai
PMK-41/PMK.03/2020 Tanggal 23 Apr 2020 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Impor Dan Penyerahan Alat Angkutan Tertentu Serta Penyerahan Dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu Yang Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai mengatur tentang :
1. Jenis Alat angkutan tertentu yang atas impor dan penyerahannya tidak dipungut PPN.
2. Jenis Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu yang atas penyerahannya di dalam Daerah Pabean tidak dipungut PPN.
3.Tata cara Wajib Pajak untuk mendapatkan Fasilitas tidak dipungut PPN.
PMK-41/PMK.03/2020 Tanggal 23 Apr 2020 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Impor Dan Penyerahan Alat Angkutan Tertentu Serta Penyerahan Dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu Yang Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai selengkapnya :
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2019 tentang Impor dan Penyerahan Alat Angkutan Tertentu serta Penyerahan dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu yang Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Persyaratan dan Tata Cara Impor dan Penyerahan Alat Angkutan Tertentu serta Penyerahan dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu yang Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai;
Mengingat :
1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2019 tentang Impor dan Penyerahan Alat Angkutan Tertentu serta Penyerahan dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu yang Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6366);
4. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA IMPOR DAN PENYERAHAN ALAT ANGKUTAN TERTENTU SERTA PENYERAHAN DAN PEMANFAATAN JASA KENA PAJAK TERKAIT ALAT ANGKUTAN TERTENTU YANG TIDAK DIPUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI.
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
1. Pajak Pertambahan Nilai, yang selanjutnya disingkat PPN, adalah pajak yang dikenakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
2. Wajib Pajak adalah :
a. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan;
b. Tentara Nasional Indonesia;
c. pihak lain yang ditunjuk oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
d. Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional;
e. Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional;
f. Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional;
g. Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan. Penyeberangan Nasional;
h. Badan Usaha Angkutan Udara Nasional;
i. pihak yang ditunjuk oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional;
j. Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum;
k. Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum; dan
l. pihak yang ditunjuk oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum.
3. Surat Keterangan Tidak Dipungut, yang selanjutnya disingkat SKTD, adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak memperoleh fasilitas tidak dipungut PPN atas impor dan/atau penyerahan alat angkutan tertentu serta perolehan dan/atau pemanfaatan Jasa kena Pajak terkait alat angkutan tertentu.
4. Rencana Kebutuhan Impor dan Perolehan, yang selanjutnya disingkat RKIP, adalah daftar alat angkutan tertentu yang direncanakan untuk diimpor dan/atau diperoleh, yang digunakan untuk memperoleh fasilitas tidak dipungut PPN.
5. Laporan Realisasi Impor dan/atau Perolehan adalah laporan yang memuat informasi realisasi impor dan/atau perolehan alat angkutan tertentu yang menggunakan fasilitas tidak dipungut PPN.
6. Surat Keterangan Tidak Dipungut Pengganti, yang selanjutnya disingkat SKTD Pengganti, adalah surat keterangan yang diterbitkan untuk mengganti SKTD dalam hal terdapat kesalahan dalam penerbitan SKTD.
7. Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha jasa angkutan laut atas dasar sewa untuk jangka waktu atau perjalanan tertentu ataupun berdasarkan perjanjian dan telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
8. Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional adalah badan hukum Indonesia atau badan usaha Indonesia yang menyelenggarakan kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, yang menggunakan kapal untuk kegiatan memuat dan mengangkut, serta telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
9. Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan jasa yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan antara lain jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labuh, serta telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
10. Perusahaan Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional adalah badan hukum Indonesia atau badan usaha Indonesia yang menyelenggarakan usaha jasa pelayaran angkutan sungai, danau, dan penyeberangan dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia, serta telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
11. Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, yang kegiatan utamanya mengoperasikan pesawat udara untuk digunakan mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos dengan memungut pembayaran.
12. Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum adalah badan hukum Indonesia yang mengusahakan sarana perkeretaapian umum berupa kendaraan yang dapat bergerak di jalan rel dan telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
13. Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian berupa jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api agar kereta api dapat dioperasikan, serta telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
Alat angkutan tertentu yang atas impornya tidak dipungut PPN meliputi:
a. alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara, dan kereta api, serta suku cadangnya, dan alat keselamatan pelayaran dan alat keselamatan manusia, alat keselamatan penerbangan dan alat keselamatan manusia, yang diimpor oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara, dan kereta api, serta suku cadangnya, dan alat keselamatan pelayaran dan alat keselamatan manusia, alat keselamatan penerbangan dan alat keselamatan manusia, yang diimpor oleh pihak lain yang ditunjuk oleh kementerian yang menyelenggarakan urusam pemerintahan di bidang pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melakukan impor tersebut;
c. kapal angkutan laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan, kapal penangkap ikan, kapal pandu, kapal tunda, kapal tongkang, serta suku cadangnya, alat perlengkapan kapal, alat keselamatan pelayaran dan alat keselamatan manusia, yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional, dan Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya;
d. pesawat udara dan suku cadangnya serta alat keselamatan penerbangan dan alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan, yang diimpor dan digunakan oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional;
e. suku cadang pesawat udara serta peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan pesawat udara, yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional, yang digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan dan perbaikan pesawat udara kepada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional;
f. kereta api dan suku cadangnya serta peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan serta prasarana perkeretaapian, yang diimpor dan digunakan oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum; dan
g. komponen atau bahan yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum, yang digunakan untuk pembuatan:
1) kereta api;
2) suku cadang kereta api;
3) peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan kereta api; dan/atau
4) prasarana perkeretaapian, yang akan digunakan oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum.
Alat angkutan tertentu yang atas penyerahannya tidak dipungut PPN meliputi:
a. alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara, dan kereta api, serta suku cadangnya, dan alat keselamatan pelayaran dan alat keselamatan manusia, alat keselamatan penerbangan dan alat keselamatan manusia, yang diserahkan kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. kapal angkutan laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan, kapal penangkap ikan, kapal pandu, kapal tunda, kapal tongkang, serta suku cadangnya, alat perlengkapan kapal, alat keselamatan pelayaran, dan alat keselamatan manusia, yang diserahkan kepada dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional dan Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya;
c. pesawat udara dan suku cadangnya serta alat keselamatan penerbangan dan alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan, yang diserahkan kepada dan digunakan oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional;
d. suku cadang pesawat udara serta peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan pesawat udara, yang diperoleh oleh pihak yang ditunjuk oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional, yang digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan dan perbaikan Pesawat Udara kepada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional;
e. kereta api dan suku cadangnya serta peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan serta prasarana perkeretaapian, yang diserahkan kepada dan digunakan oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum; dan
f. komponen atau bahan yang diserahkan kepada pihak yang ditunjuk oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum, yang digunakan untuk pembuatan:
1) kereta api;
2) suku cadang kereta api;
3) peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan kereta api; dan/atau
4) prasarana perkeretaapian,
yang akan digunakan oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum.
Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu yang atas penyerahannya di dalam Daerah Pabean tidak dipungut PPN meliputi:
a. jasa yang diterima oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional, dan Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional yang meliputi:
1) jasa persewaan kapal;
2) jasa kepelabuhanan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labuh; dan
3) jasa perawatan dan perbaikan kapal;
b. jasa yang diterima oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional yang meliputi:
1) jasa persewaan pesawat udara; dan
2) jasa perawatan dan perbaikan pesawat udara; dan
c. jasa perawatan dan perbaikan kereta api yang diterima oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum.
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean terkait alat angkutan tertentu yang atas pemanfaatannya tidak dipungut PPN meliputi jasa persewaan pesawat udara yang dimanfaatkan oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional.
(1) Fasilitas tidak dipungut PPN atas:
a. impor alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, huruf b, dan huruf g; atau
b. penyerahan alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dan huruf f,
diberikan dengan menggunakan SKTD.
(2) SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan SKTD yang berlaku untuk setiap impor atau penyerahan.
(3) Fasilitas tidak dipungut PPN atas:
a. impor alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f;
b. penyerahan alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; dan/atau
d. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean terkait alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
diberikan dengan menggunakan SKTD.
(4) SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan SKTD yang berlaku untuk periode:
a. sejak 1 Januari sampai dengan 31 Desember tahun takwim dilakukan impor, perolehan, dan/atau pemanfaatan, dalam hal permohonan untuk memperoleh SKTD diajukan sebelum tahun takwim dimaksud; atau
b. sejak tanggal penerbitan SKTD sampai dengan 31 Desember tahun penerbitan SKTD, dalam hal permohonan untuk memperoleh SKTD diajukan dalam tahun takwim dimaksud.
(5) SKTD untuk pemberian fasilitas tidak dipungut PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilampiri dengan RKIP.
(6) Wajib Pajak yang melakukan impor atau menerima penyerahan alat angkutan tertentu, atau yang melakukan pemanfaatan atau menerima penyerahan Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu harus memiliki SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) sebelum pengajuan pemberitahuan pabean impor, menerima penyerahan, dan/atau melakukan pemanfaatan.
(1) Wajib Pajak diberikan SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (3), dalam hal memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk 2 (dua) Tahun Pajak terakhir dan/atau Surat Pemberitahuan Masa PPN untuk 3 (tiga) Masa Pajak terakhir, yang sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. tidak mempunyai utang pajak di Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak maupun cabangnya terdaftar, atau mempunyai utang pajak namun atas keseluruhan utang pajak tersebut telah mendapatkan izin untuk menunda atau mengangsur pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. memiliki kegiatan usaha utama pengusaha di bidang pelayaran niaga, penangkapan ikan, penyelenggara jasa kepelabuhan atau penyelenggara jasa angkutan sungai, danau, dan penyeberangan, dalam hal pemohon SKTD merupakan Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional, dan Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional; dan
d. telah menyampaikan Laporan Realisasi Impor dan/atau Perolehan atau laporan realisasi RKIP, yang sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal pemohon SKTD merupakan Wajib Pajak ¡sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, huruf b, dan huruf c.
(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf m mengajukan permohonan SKTD yang berlaku untuk setiap impor atau penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) kepada Direktur Jenderal Pajak secara elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Permohonan SKTD yang disampaikan secara elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat informasi:
a. Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. jenis usaha;
c. nama dan/atau jenis barang;
d. kuantitas barang;
e. Nilai Impor, dalam hal impor atau harga jual, dalam hal penyerahan;
f. PPN yang terutang;
g. informasi terkait dokumen pemesanan barang, dokumen pengiriman, dan/atau dokumen pembayaran;
h. identitas pihak yang melakukan penunjukan, dalam hal permohonan SKTD diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf d dan huruf m;
i. nomor kontrak atau surat perintah kerja, dalam hal permohonan SKTD diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf d;
j. nomor dokumen perjanjian atau kontrak pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan, serta prasarana perkeretaapian, dalam hal permohonan SKTD diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf m; dan
k. identitas pengurus yang mengajukan permohonan atau pejabat dengan jabatan minimal setingkat administrator yang mengajukan permohonan dalam hal permohonan SKTD diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, huruf b, dan huruf c.
(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal Pajak:
a. menerbitkan SKTD yang berlaku untuk setiap impor atau penyerahan, dalam hal Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b dan Pasal 8 ayat (2); atau
b. tidak memproses permohonan, dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b dan/atau Pasal 8 ayat (2),
secara otomatis melalui laman milik Direktorat Jenderal Pajak, segera setelah permohonan disampaikan.
(4) Terhadap SKTD yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, Wajib Pajak harus menyampaikan dokumen pendukung secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat terdaftar dengan menunjukkan asli dokumen, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal penerbitan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a.
(5) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa:
a. fotokopi dokumen :
1) invoice;
2) Bill of Lading, Air Way Bill, atau dokumen lain yang dapat dipersamakan;
3) kontrak pembelian atau dokumen lain yang dapat dipersamakan; dan
4) pembayaran atau dokumen pengakuan utang dalam hal melakukan impor alat angkutan tertentu;
b. fotokopi dokumen:
1) pemesanan barang;
2) proforma invoice; dan/atau
3) kontrak pembelian atau dokumen lain yang dapat dipersamakan,
dalam hal menerima penyerahan alat angkutan tertentu;
c. fotokopi dokumen penunjukan berupa kontrak atau surat perintah kerja, dalam hal impor dilakukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf d;
d. fotokopi dokumen perjanjian atau kontrak pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan, serta prasarana perkeretaapian, dalam hal impor dilakukan dan/atau penyerahan diterima oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf m; dan/atau
e surat kuasa khusus, dalam hal Wajib Pajak, menunjuk seorang kuasa untuk mengajukan permohonan SKTD.
(6) Dalam hal laman Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia atau tidak dapat diakses, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan SKTD yang berlaku untuk setiap impor atau penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat terdaftar yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak dengan melampirkan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Permohonan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dianggap sah apabila ditandatangani oleh:
a. pejabat yang berwenang dengan jabatan minimal setingkat administrator, untuk permohonan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, huruf b, dan huruf c; atau
b. pengurus atau kuasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, untuk permohonan SKTD oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf d dan huruf m.
(8) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (b), Kepala Kantor Pelayanan Pajak:
a. menerbitkan SKTD yang berlaku untuk setiap impor atau penyerahan, dalam hal Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 8 ayat (2), Pasal 8 ayat (5), dan Pasal 8 ayat (7); atau
b. menerbitkan surat penolakan, dalam hal permohonan Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 8 ayat (2), Pasal 8 ayat (5), dan/atau Pasal 8 ayat (7),
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan SKTD diterima lengkap.
(9) SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan ayat (8) huruf a diterbitkan atas sebagian atau seluruh alat angkutan tertentu sebagaimana yang dimohonkan, yang disetujui untuk diberikan fasilitas tidak dipungut PPN.
(10) Dalam hal terdapat penerimaan pembayaran yang terjadi sebelum penerbitan SKTD atas penyerahan alat angkutan tertentu, SKTD diterbitkan atas bagian PPN yang belum dipungut.
(11) Wajib Pajak harus bertanggung jawab terhadap kebenaran informasi yang diisi atau disampaikan dalam permohonan penerbitan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (6).
(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf e sampai dengan huruf l, mengajukan permohonan SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) kepada Direktur Jenderal Pajak secara elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Dalam hal permohonan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan atas impor dan/atau perolehan alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a dan huruf b, permohonan SKTD dilampiri dengan RKIP.
(3) Permohonan SKTD yang disampaikan secara elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memuat informasi:
a. Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. jenis usaha;
c. nomor izin usaha angkutan laut, izin usaha perikanan, izin penyelenggaraan pelabuhan, izin usaha angkutan sungai dan danau, atau angkutan penyeberangan, izin usaha angkutan udara, izin usaha penyelenggaraan sarana dan/atau izin usaha prasarana perkeretaapian umum;
d. identitas pihak yang melakukan penunjukan, dalam hal pemohon adalah Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf j;
e. nomor perjanjian atau kontrak pemberian jasa perawatan dan perbaikan pesawat udara, dalam hal pemohon adalah Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf j;
f. jenis Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu yang diajukan permohonan SKTD;
g. periode yang diajukan permohonan SKTD; dan
h. identitas pengurus yang mengajukan permohonan SKTD.
(4) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal Pajak:
a. menerbitkan SKTD, dalam hal Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), dan Pasal 9 ayat (3); atau
b. tidak memproses permohonan, dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), dan/atau Pasal 9 ayat (3),
secara otomatis melalui laman milik Direktorat Jenderal Pajak, segera setelah permohonan disampaikan.
(5) Terhadap SKTD yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, Wajib Pajak harus menyampaikan dokumen pendukung secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat terdaftar dengan menunjukkan asli dokumen, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal penerbitan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a.
(6) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berupa:
a. fotokopi surat perizinan berusaha yaitu izin usaha angkutan laut, izin usaha perikanan, izin penyelenggaraan pelabuhan, izin usaha angkutan sungai dan danau, atau angkutan penyeberangan, dalam hal impor dilakukan dan/atau penyerahan diterima oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h;
b. fotokopi surat izin usaha atau kegiatan angkutan udara, dalam hal impor dilakukan dan/atau penyerahan diterima oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf i;
c. fotokopi surat izin penyelenggaraan sarana dan/atau prasarana perkeretaapian umum, dalam hal impor dilakukan dan/atau penyerahan diterima oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf k dan huruf 1;
d. fotokopi dokumen perjanjian atau kontrak pemberian jasa perawatan dan perbaikan pesawat udara, dalam hal impor dilakukan dan/atau penyerahan diterima oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf j; dan
e. surat kuasa khusus, dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa untuk mengajukan permohonan SKTD.
(7) Dalam hal laman Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia atau tidak dapat diakses, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak dengan melampirkan RKIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(8) Permohonan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dianggap sah apabila ditandatangani oleh pengurus atau kuasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(9) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar:
a. menerbitkan SKTD, dalam hal Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), Pasal 9 ayat (3), dan Pasal 9 ayat (8); atau
b. menerbitkan surat penolakan, dalam hal permohonan Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), Pasal 9 ayat (3), dan/atau Pasal 9 ayat (8),
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan SKTD diterima lengkap.
(10) Dalam hal permohonan SKTD diajukan atas impor dan/atau perolehan alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a dan huruf b, SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan ayat (9) huruf a diterbitkan dengan dilampiri RKIP atas seluruh atau sebagian alat angkutan tertentu yang terdapat dalam RKIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diberikan persetujuan untuk diberikan fasilitas tidak dipungut PPN.
(11) Dalam hal terdapat penerimaan pembayaran yang terjadi sebelum penerbitan SKTD atas penyerahan dan/atau pemanfaatan, SKTD diterbitkan atas bagian PPN yang belum dipungut.
(12) Wajib Pajak harus bertanggung jawab terhadap kebenaran informasi yang diisi atau disampaikan dalam permohonan penerbitan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (7).
(1) Wajib Pajak dapat menyampaikan dokumen pendukung melebihi jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) dan Pasal 9 ayat (5), dalam hal terjadi keadaan kahar antara lain peperangan, kerusuhan, revolusi, bencana alam, pemogokan, kebakaran, dan bencana lainnya yang harus dinyatakan oleh pejabat atau instansi yang berwenang.
(2) Kewajiban penyampaian dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan paling lambat 1 (satu) bulan setelah berakhirnya penetapan keadaan kahar atau penetapan keadaan tanggap darurat.
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan perubahan RKIP yang menjadi lampiran SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (10), kepada Direktur Jenderal Pajak melalui saluran elektronik pada laman Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan perubahan RKIP, dalam hal terdapat:
a. perubahan, penambahan, atau pengurangan jenis alat angkutan tertentu;
b. penambahan atau pengurangan jumlah alat angkutan tertentu;
c. perubahan, penambahan, atau pengurangan pelabuhan, dalam hal impor; dan/atau
d. perubahan, penambahan, atau pengurangan Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan alat angkutan tertentu, dalam hal penyerahan.
(3) Berdasarkan permohonan perubahan RKIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak:
a. menerbitkan RKIP perubahan, dalam hal permohonan memenuhi seluruh atau sebagian ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3); atau
b. tidak memproses permohonan, dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3),
secara otomatis melalui laman milik Direktorat Jenderal Pajak, segera setelah permohonan disampaikan.
(4) Dalam hal laman Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia atau tidak dapat diakses, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan perubahan RKIP secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
(5) Berdasarkan, permohonan perubahan RKIP sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian dan memberikan keputusan berupa penerbitan:
a. RKIP perubahan, dalam hal permohonan memenuhi seluruh atau sebagian ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3); atau
b. surat penolakan dengan menyebutkan alasan penolakan, dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3),
paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima lengkap.
(6) RKIP perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan ayat (5) huruf a harus dimiliki sebelum pengajuan pemberitahuan pabean impor dan/atau menerima penyerahan.
(7) RKIP perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan ayat (5) huruf a:
a. merupakan pengganti atas RKIP sebelumnya dan menjadi lampiran dari SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (10); dan
b. memuat daftar seluruh alat angkutan tertentu yang disetujui untuk diberikan fasilitas tidak dipungut PPN.
(8) Penerbitan RKIP perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat dilakukan tanpa mengubah SKTD yang masih berlaku.
(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) yang telah diterbitkan SKTD yang dilampiri RKIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (10), harus menyampaikan Laporan Realisasi Impor dan/atau Perolehan secara elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Dalam hal laman Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia atau tidak dapat diakses, Laporan Realisasi Impor dan/atau Perolehan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(3) Laporan Realisasi Impor dan/atau Perolehan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat untuk periode sesuai dengan masa berlakunya SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), dan disampaikan paling lambat akhir bulan Januari tahun takwim berikutnya.
(4) Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak melakukan impor dan/atau perolehan alat angkutan tertentu yang tidak dipungut PPN, Laporan Realisasi Impor dan/atau Perolehan tetap harus disampaikan.
(1) Dalami hal terdapat kesalahan penerbitan SKTD, Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKTD Pengganti.
(2) Penerbitan SKTD Pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
(3) Kesalahan penerbitan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan, pada SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a dan Pasal 8 ayat (8) huruf a; dan
b. kesalahan tulis pada SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) huruf a dan Pasal 9 ayat (9) huruf a.
(4) Permohonan penggantian SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan langsung kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar secara tertulis, dengan disertai alasan penggantian dan harus dilampiri SKTD yang telah diterbitkan.
(5) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian dan memberikan keputusan berupa penerbitan:
a. SKTD Pengganti, dalam hal permohonan disetujui; atau
b. surat penolakan dengan menyebutkan alasan, dalam hal permohonan tidak disetujui,
paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima lengkap.
(6) SKTD Pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak tanggal mulai berlakunya SKTD yang dilakukan penggantian.
(7) Atas penerbitan SKTD Pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak wajib membayar PPN terutang yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal terdapat kekeliruan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan pada saat penerbitan SKTD.
(8) PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terutang pada saat dilakukannya impor atau saat terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(9) PPN terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disetorkan ke Kas Negara dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak berupa Bukti Penerimaan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(10) PPN yang sudah dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan, pada Masa Pajak dilakukannya impor atau penyerahan.
(1) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan atau menyampaikan namun tidak lengkap dokumen pendukung permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) dan Pasal 9 ayat (5), Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak membatalkan pemberian fasilitas tidak dipungut PPN dengan menerbitkan surat keterangan pembatalan SKTD.
(2) Dalam hal diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak tidak berhak memperoleh fasilitas tidak dipungut PPN yang terdapat dalam SKTD, Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak membatalkan pemberian fasilitas tidak dipungut PPN dengan menerbitkan surat keterangan pembatalan SKTD.
(3) Atas pembatalan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Wajib Pajak wajib membayar PPN terutang.
(4) PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terutang pada saat dilakukannya impor atau saat terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) PPN terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetorkan ke Kas Negara dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak berupa Bukti Penerimaan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) PPN yang sudah dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan, pada Masa Pajak dilakukannya impor atau penyerahan.
(1) PPN terutang atas impor dan/atau perolehan alat angkutan tertentu yang telah mendapat fasilitas tidak dipungut PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g, dan Pasal 3 huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f wajib dibayar, apabila dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak saat impor dan/atau perolehan alat angkutan tertentu tersebut:
a. digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula; atau
b. dipindahtangankan kepada pihak lain, baik sebagian atau seluruhnya.
(2) Dikecualikan dari kewajiban membayar kembali PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dalam hal:
a. alat angkutan tertentu tersebut dipindahtangankan dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau antar cabang; atau
b. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h melakukan, pemindahtanganan kapal angkutan laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan, kapal penangkap ikan, kapal pandu, kapal tunda, dan/atau kapal tongkang untuk digantikan dengan kapal dalam jenis yang sama dengan ukuran atau kapasitas yang lebih besar, yang harus dinyatakan oleh pejabat atau instansi yang berwenang.
(3) PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang pada saat alat angkutan tertentu digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan kepada pihak lain baik sebagian atau seluruhnya.
(4) Pembayaran PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh:
a. Wajib Pajak yang melakukan impor alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g; atau
b. Wajib Pajak yang menerima penyerahan alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f.
(5) Pembayaran PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak alat angkutan tertentu digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan kepada pihak lain baik sebagian atau seluruhnya.
(6) PPN terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan ke Kas Negara dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak berupa Bukti Penerimaan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) PPN yang dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (6), tidak dapat dikreditkan.
(8) Kewajiban pembayaran Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberlakukan dalam hal pemindah tangan an dilakukan dalam keadaan kahar yang dinyatakan oleh instansi yang berwenang.
(1) Wajib Pajak wajib membayar PPN terutang yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal:
a. Wajib Pajak melakukan impor alat angkutan tertentu, menerima penyerahan alat angkutan tertentu, melakukan pemanfaatan Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu dan/atau menerima penyerahan Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu yang menggunakan fasilitas tidak dipungut PPN sebelum memiliki SKTD;
b. Wajib Pajak melakukan impor atau menerima penyerahan alat angkutan tertentu yang menggunakan fasilitas tidak dipungut PPN, melebihi jumlah alat angkutan tertentu yang disetujui dalam SKTD untuk setiap impor atau penyerahan atau jumlah yang disetujui dalam RKIP atau RKIP perubahan; atau
c. Wajib Pajak melakukan impor atau menerima penyerahan barang dengan menggunakan fasilitas tidak dipungut PPN, yang tidak termasuk dalam jenis alat angkutan tertentu yang tidak dipungut PPN atas impor atau perolehannya.
(2) PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang pada saat dilakukannya impor atau saat terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) PPN terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c disetorkan ke Kas Negara dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak berupa Bukti Penerimaan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) PPN yang sudah dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan, pada Masa Pajak dilakukannya impor atau penyerahan.
Kepala Kantor Pelayanan Pajak, menerbitkan:
a. Surat Tagihan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam hal pembayaran dilakukan setelah saat terutang atau jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (8), Pasal 14 ayat (4), Pasal 15 ayat (5), dan Pasal 16 ayat (2); dan/atau
b. surat ketetapan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam hal kewajiban pembayaran PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (7), Pasal 14 ayat (3), Pasal 15 ayat (1), dan Pasal 16 ayat (1) tidak dipenuhi.
(1) Wajib Pajak yang melakukan impor alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, harus mencantumkan informasi nomor SKTD yang menjadi dasar pemberian fasilitas tidak dipungut PPN pada dokumen pemberitahuan pabean di bidang impor.
(2) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan:
a. penyerahan alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; dan/atau
b. penyerahan Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
wajib membuat Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mencantumkan informasi nomor SKTD yang menjadi dasar pemberian fasilitas tidak dipungut PPN dan diberikan keterangan "PPN TIDAK DIPUNGUT SESUAI DENGAN PP NOMOR 50 TAHUN 2019”.
(4) Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memastikan bahwa alat angkutan tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu yang diserahkan terdapat dalam SKTD yang dimiliki oleh pihak yang menerima penyerahan.
(5) Pengusaha yang telah mendapatkan SKTD dan melakukan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, tidak wajib memungut dan menyetor PPN terutang atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut.
(1) Alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a sampai dengan huruf f, serta Pasal 3 huruf a sampai dengan huruf e, yaitu sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) Dokumen berupa contoh format:
a. permohonan SKTD untuk setiap impor atau penyerahan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6), tercantum dalam Lampiran huruf B,
b. permohonan SKTD, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7), tercantum dalam Lampiran huruf C,
c. RKIP yang dilampirkan pada permohonan SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), tercantum dalam Lampiran huruf D,
d. SKTD yang berlaku untuk setiap impor atau penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a dan Pasal 8 ayat (8) huruf a, serta tata cara penatausahaan SKTD untuk setiap impor atau penyerahan, tercantum dalam Lampiran huruf E,
e. SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) huruf a dan Pasal 9 ayat (9) huruf a, serta tata cara penatausahaan SKTD, tercantum dalam Lampiran huruf F,
f. RKIP yang menjadi lampiran SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (10), tercantum dalam Lampiran huruf G,
g. SKTD Pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf a, tercantum dalam Lampiran huruf H,
h. surat penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (8) huruf b, Pasal 9 ayat (9) huruf b, Pasal 11 ayat (5) huruf b, dan Pasal 13 ayat (5) huruf b, tercantum dalam Lampiran huruf I,
i. RKIP perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf a dan Pasal 11 ayat (5) huruf a, tercantum dalam Lampiran huruf J,
j. Laporan Realisasi Impor dan/atau Perolehan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), tercantum dalam Lampiran huruf K,
k. Surat Pembatalan SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), tercantum dalam Lampiran huruf L,
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) Tata cara pengisian Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (9), Pasal 14 ayat (5), Pasal 15 ayat (6), dan Pasal 16 ayat (3), tercantum dalam Lampiran huruf M yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Permohonan SKTD yang telah diterima oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, namun belum diselesaikan sampai dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, diproses berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2015.
(1) SKTD yang telah diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2015, tetap dapat digunakan sampai dengan berakhirnya masa berlaku SKTD tersebut.
(2) Terhadap SKTD yang telah diterbitkan dan berlaku berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2015, ketentuan terkait penggantian atau pembatalan SKTD mengikuti ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
(1) Wajib Pajak yang sebelumnya telah memiliki SKTD yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2020 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2015, dan mengajukan permohonan perubahan RKIP sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, penyelesaian permohonannya dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 193/PMK.03/2015.
(2) Wajib Pajak yang sebelumnya telah memiliki SKTD yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2020 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2015, dan mengajukan permohonan perubahan RKIP setelah berlakunya Peraturan Menteri ini, pengajuan dan penyelesaian permohonan perubahan RKIP dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri ini.
(3) Wajib Pajak yang telah memiliki SKTD yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2020 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2015, menyampaikan laporan RKIP sesuai dengan Peraturan Menteri ini.
Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional yang telah memiliki SKTD yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2020 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2015, dianggap sudah mengajukan permohonan SKTD atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu dan diberikan fasilitas tidak dipungut PPN atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean terkait alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, sampai dengan tanggal 31 Desember 2020.
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pembayaran Kembali Pajak Pertambahan Nilai yang Seharusnya Tidak Mendapat Fasilitas Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai atas Impor dan/atau Penyerahan Alat Angkutan Tertentu yang Telah Mendapat Fasilitas Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai yang Digunakan Tidak Sesuai dengan Tujuan Semula atau Dipindahtangankan kepada Pihak Lain Baik Sebagian atau Seluruhnya serta Pengenaan Sanksi atas Keterlambatan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1537); dan
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai atas Impor dan/atau Penyerahan Alat Angkutan Tertentu dan Penyerahan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1538),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 April 2020
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 24 April 2020
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 407
1. Jenis Alat angkutan tertentu yang atas impor dan penyerahannya tidak dipungut PPN.
2. Jenis Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu yang atas penyerahannya di dalam Daerah Pabean tidak dipungut PPN.
3.Tata cara Wajib Pajak untuk mendapatkan Fasilitas tidak dipungut PPN.
PMK-41/PMK.03/2020 Tanggal 23 Apr 2020 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Impor Dan Penyerahan Alat Angkutan Tertentu Serta Penyerahan Dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu Yang Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai selengkapnya :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41/PMK.03/2020
TENTANG
PERSYARATAN DAN TATA CARA IMPOR DAN PENYERAHAN ALAT ANGKUTAN TERTENTU SERTA PENYERAHAN DAN PEMANFAATAN JASA KENA PAJAK TERKAIT ALAT ANGKUTAN TERTENTU YANG TIDAK DIPUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2019 tentang Impor dan Penyerahan Alat Angkutan Tertentu serta Penyerahan dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu yang Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Persyaratan dan Tata Cara Impor dan Penyerahan Alat Angkutan Tertentu serta Penyerahan dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu yang Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai;
Mengingat :
1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2019 tentang Impor dan Penyerahan Alat Angkutan Tertentu serta Penyerahan dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu yang Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6366);
4. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA IMPOR DAN PENYERAHAN ALAT ANGKUTAN TERTENTU SERTA PENYERAHAN DAN PEMANFAATAN JASA KENA PAJAK TERKAIT ALAT ANGKUTAN TERTENTU YANG TIDAK DIPUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
1. Pajak Pertambahan Nilai, yang selanjutnya disingkat PPN, adalah pajak yang dikenakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
2. Wajib Pajak adalah :
a. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan;
b. Tentara Nasional Indonesia;
c. pihak lain yang ditunjuk oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
d. Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional;
e. Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional;
f. Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional;
g. Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan. Penyeberangan Nasional;
h. Badan Usaha Angkutan Udara Nasional;
i. pihak yang ditunjuk oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional;
j. Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum;
k. Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum; dan
l. pihak yang ditunjuk oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum.
3. Surat Keterangan Tidak Dipungut, yang selanjutnya disingkat SKTD, adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak memperoleh fasilitas tidak dipungut PPN atas impor dan/atau penyerahan alat angkutan tertentu serta perolehan dan/atau pemanfaatan Jasa kena Pajak terkait alat angkutan tertentu.
4. Rencana Kebutuhan Impor dan Perolehan, yang selanjutnya disingkat RKIP, adalah daftar alat angkutan tertentu yang direncanakan untuk diimpor dan/atau diperoleh, yang digunakan untuk memperoleh fasilitas tidak dipungut PPN.
5. Laporan Realisasi Impor dan/atau Perolehan adalah laporan yang memuat informasi realisasi impor dan/atau perolehan alat angkutan tertentu yang menggunakan fasilitas tidak dipungut PPN.
6. Surat Keterangan Tidak Dipungut Pengganti, yang selanjutnya disingkat SKTD Pengganti, adalah surat keterangan yang diterbitkan untuk mengganti SKTD dalam hal terdapat kesalahan dalam penerbitan SKTD.
7. Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha jasa angkutan laut atas dasar sewa untuk jangka waktu atau perjalanan tertentu ataupun berdasarkan perjanjian dan telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
8. Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional adalah badan hukum Indonesia atau badan usaha Indonesia yang menyelenggarakan kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, yang menggunakan kapal untuk kegiatan memuat dan mengangkut, serta telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
9. Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan jasa yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan antara lain jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labuh, serta telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
10. Perusahaan Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional adalah badan hukum Indonesia atau badan usaha Indonesia yang menyelenggarakan usaha jasa pelayaran angkutan sungai, danau, dan penyeberangan dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia, serta telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
11. Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, yang kegiatan utamanya mengoperasikan pesawat udara untuk digunakan mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos dengan memungut pembayaran.
12. Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum adalah badan hukum Indonesia yang mengusahakan sarana perkeretaapian umum berupa kendaraan yang dapat bergerak di jalan rel dan telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
13. Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian berupa jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api agar kereta api dapat dioperasikan, serta telah memiliki surat izin usaha dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
BAB II
PERSYARATAN
Pasal 2
Alat angkutan tertentu yang atas impornya tidak dipungut PPN meliputi:
a. alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara, dan kereta api, serta suku cadangnya, dan alat keselamatan pelayaran dan alat keselamatan manusia, alat keselamatan penerbangan dan alat keselamatan manusia, yang diimpor oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara, dan kereta api, serta suku cadangnya, dan alat keselamatan pelayaran dan alat keselamatan manusia, alat keselamatan penerbangan dan alat keselamatan manusia, yang diimpor oleh pihak lain yang ditunjuk oleh kementerian yang menyelenggarakan urusam pemerintahan di bidang pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melakukan impor tersebut;
c. kapal angkutan laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan, kapal penangkap ikan, kapal pandu, kapal tunda, kapal tongkang, serta suku cadangnya, alat perlengkapan kapal, alat keselamatan pelayaran dan alat keselamatan manusia, yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional, dan Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya;
d. pesawat udara dan suku cadangnya serta alat keselamatan penerbangan dan alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan, yang diimpor dan digunakan oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional;
e. suku cadang pesawat udara serta peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan pesawat udara, yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional, yang digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan dan perbaikan pesawat udara kepada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional;
f. kereta api dan suku cadangnya serta peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan serta prasarana perkeretaapian, yang diimpor dan digunakan oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum; dan
g. komponen atau bahan yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum, yang digunakan untuk pembuatan:
1) kereta api;
2) suku cadang kereta api;
3) peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan kereta api; dan/atau
4) prasarana perkeretaapian, yang akan digunakan oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum.
Pasal 3
Alat angkutan tertentu yang atas penyerahannya tidak dipungut PPN meliputi:
a. alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara, dan kereta api, serta suku cadangnya, dan alat keselamatan pelayaran dan alat keselamatan manusia, alat keselamatan penerbangan dan alat keselamatan manusia, yang diserahkan kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. kapal angkutan laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan, kapal penangkap ikan, kapal pandu, kapal tunda, kapal tongkang, serta suku cadangnya, alat perlengkapan kapal, alat keselamatan pelayaran, dan alat keselamatan manusia, yang diserahkan kepada dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional dan Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya;
c. pesawat udara dan suku cadangnya serta alat keselamatan penerbangan dan alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan, yang diserahkan kepada dan digunakan oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional;
d. suku cadang pesawat udara serta peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan pesawat udara, yang diperoleh oleh pihak yang ditunjuk oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional, yang digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan dan perbaikan Pesawat Udara kepada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional;
e. kereta api dan suku cadangnya serta peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan serta prasarana perkeretaapian, yang diserahkan kepada dan digunakan oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum; dan
f. komponen atau bahan yang diserahkan kepada pihak yang ditunjuk oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum, yang digunakan untuk pembuatan:
1) kereta api;
2) suku cadang kereta api;
3) peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan kereta api; dan/atau
4) prasarana perkeretaapian,
yang akan digunakan oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum.
Pasal 4
Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu yang atas penyerahannya di dalam Daerah Pabean tidak dipungut PPN meliputi:
a. jasa yang diterima oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional, dan Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional yang meliputi:
1) jasa persewaan kapal;
2) jasa kepelabuhanan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labuh; dan
3) jasa perawatan dan perbaikan kapal;
b. jasa yang diterima oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional yang meliputi:
1) jasa persewaan pesawat udara; dan
2) jasa perawatan dan perbaikan pesawat udara; dan
c. jasa perawatan dan perbaikan kereta api yang diterima oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum.
Pasal 5
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean terkait alat angkutan tertentu yang atas pemanfaatannya tidak dipungut PPN meliputi jasa persewaan pesawat udara yang dimanfaatkan oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional.
Pasal 6
(1) Fasilitas tidak dipungut PPN atas:
a. impor alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, huruf b, dan huruf g; atau
b. penyerahan alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dan huruf f,
diberikan dengan menggunakan SKTD.
(2) SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan SKTD yang berlaku untuk setiap impor atau penyerahan.
(3) Fasilitas tidak dipungut PPN atas:
a. impor alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f;
b. penyerahan alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; dan/atau
d. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean terkait alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
diberikan dengan menggunakan SKTD.
(4) SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan SKTD yang berlaku untuk periode:
a. sejak 1 Januari sampai dengan 31 Desember tahun takwim dilakukan impor, perolehan, dan/atau pemanfaatan, dalam hal permohonan untuk memperoleh SKTD diajukan sebelum tahun takwim dimaksud; atau
b. sejak tanggal penerbitan SKTD sampai dengan 31 Desember tahun penerbitan SKTD, dalam hal permohonan untuk memperoleh SKTD diajukan dalam tahun takwim dimaksud.
(5) SKTD untuk pemberian fasilitas tidak dipungut PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilampiri dengan RKIP.
(6) Wajib Pajak yang melakukan impor atau menerima penyerahan alat angkutan tertentu, atau yang melakukan pemanfaatan atau menerima penyerahan Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu harus memiliki SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) sebelum pengajuan pemberitahuan pabean impor, menerima penyerahan, dan/atau melakukan pemanfaatan.
Pasal 7
(1) Wajib Pajak diberikan SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (3), dalam hal memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk 2 (dua) Tahun Pajak terakhir dan/atau Surat Pemberitahuan Masa PPN untuk 3 (tiga) Masa Pajak terakhir, yang sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. tidak mempunyai utang pajak di Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak maupun cabangnya terdaftar, atau mempunyai utang pajak namun atas keseluruhan utang pajak tersebut telah mendapatkan izin untuk menunda atau mengangsur pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. memiliki kegiatan usaha utama pengusaha di bidang pelayaran niaga, penangkapan ikan, penyelenggara jasa kepelabuhan atau penyelenggara jasa angkutan sungai, danau, dan penyeberangan, dalam hal pemohon SKTD merupakan Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional, dan Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional; dan
d. telah menyampaikan Laporan Realisasi Impor dan/atau Perolehan atau laporan realisasi RKIP, yang sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal pemohon SKTD merupakan Wajib Pajak ¡sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, huruf b, dan huruf c.
BAB III
TATA CARA
Pasal 8
(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf m mengajukan permohonan SKTD yang berlaku untuk setiap impor atau penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) kepada Direktur Jenderal Pajak secara elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Permohonan SKTD yang disampaikan secara elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat informasi:
a. Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. jenis usaha;
c. nama dan/atau jenis barang;
d. kuantitas barang;
e. Nilai Impor, dalam hal impor atau harga jual, dalam hal penyerahan;
f. PPN yang terutang;
g. informasi terkait dokumen pemesanan barang, dokumen pengiriman, dan/atau dokumen pembayaran;
h. identitas pihak yang melakukan penunjukan, dalam hal permohonan SKTD diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf d dan huruf m;
i. nomor kontrak atau surat perintah kerja, dalam hal permohonan SKTD diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf d;
j. nomor dokumen perjanjian atau kontrak pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan, serta prasarana perkeretaapian, dalam hal permohonan SKTD diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf m; dan
k. identitas pengurus yang mengajukan permohonan atau pejabat dengan jabatan minimal setingkat administrator yang mengajukan permohonan dalam hal permohonan SKTD diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, huruf b, dan huruf c.
(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal Pajak:
a. menerbitkan SKTD yang berlaku untuk setiap impor atau penyerahan, dalam hal Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b dan Pasal 8 ayat (2); atau
b. tidak memproses permohonan, dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b dan/atau Pasal 8 ayat (2),
secara otomatis melalui laman milik Direktorat Jenderal Pajak, segera setelah permohonan disampaikan.
(4) Terhadap SKTD yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, Wajib Pajak harus menyampaikan dokumen pendukung secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat terdaftar dengan menunjukkan asli dokumen, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal penerbitan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a.
(5) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa:
a. fotokopi dokumen :
1) invoice;
2) Bill of Lading, Air Way Bill, atau dokumen lain yang dapat dipersamakan;
3) kontrak pembelian atau dokumen lain yang dapat dipersamakan; dan
4) pembayaran atau dokumen pengakuan utang dalam hal melakukan impor alat angkutan tertentu;
b. fotokopi dokumen:
1) pemesanan barang;
2) proforma invoice; dan/atau
3) kontrak pembelian atau dokumen lain yang dapat dipersamakan,
dalam hal menerima penyerahan alat angkutan tertentu;
c. fotokopi dokumen penunjukan berupa kontrak atau surat perintah kerja, dalam hal impor dilakukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf d;
d. fotokopi dokumen perjanjian atau kontrak pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan, serta prasarana perkeretaapian, dalam hal impor dilakukan dan/atau penyerahan diterima oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf m; dan/atau
e surat kuasa khusus, dalam hal Wajib Pajak, menunjuk seorang kuasa untuk mengajukan permohonan SKTD.
(6) Dalam hal laman Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia atau tidak dapat diakses, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan SKTD yang berlaku untuk setiap impor atau penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat terdaftar yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak dengan melampirkan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Permohonan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dianggap sah apabila ditandatangani oleh:
a. pejabat yang berwenang dengan jabatan minimal setingkat administrator, untuk permohonan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, huruf b, dan huruf c; atau
b. pengurus atau kuasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, untuk permohonan SKTD oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf d dan huruf m.
(8) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (b), Kepala Kantor Pelayanan Pajak:
a. menerbitkan SKTD yang berlaku untuk setiap impor atau penyerahan, dalam hal Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 8 ayat (2), Pasal 8 ayat (5), dan Pasal 8 ayat (7); atau
b. menerbitkan surat penolakan, dalam hal permohonan Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 8 ayat (2), Pasal 8 ayat (5), dan/atau Pasal 8 ayat (7),
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan SKTD diterima lengkap.
(9) SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan ayat (8) huruf a diterbitkan atas sebagian atau seluruh alat angkutan tertentu sebagaimana yang dimohonkan, yang disetujui untuk diberikan fasilitas tidak dipungut PPN.
(10) Dalam hal terdapat penerimaan pembayaran yang terjadi sebelum penerbitan SKTD atas penyerahan alat angkutan tertentu, SKTD diterbitkan atas bagian PPN yang belum dipungut.
(11) Wajib Pajak harus bertanggung jawab terhadap kebenaran informasi yang diisi atau disampaikan dalam permohonan penerbitan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (6).
Pasal 9
(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf e sampai dengan huruf l, mengajukan permohonan SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) kepada Direktur Jenderal Pajak secara elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Dalam hal permohonan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan atas impor dan/atau perolehan alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a dan huruf b, permohonan SKTD dilampiri dengan RKIP.
(3) Permohonan SKTD yang disampaikan secara elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memuat informasi:
a. Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. jenis usaha;
c. nomor izin usaha angkutan laut, izin usaha perikanan, izin penyelenggaraan pelabuhan, izin usaha angkutan sungai dan danau, atau angkutan penyeberangan, izin usaha angkutan udara, izin usaha penyelenggaraan sarana dan/atau izin usaha prasarana perkeretaapian umum;
d. identitas pihak yang melakukan penunjukan, dalam hal pemohon adalah Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf j;
e. nomor perjanjian atau kontrak pemberian jasa perawatan dan perbaikan pesawat udara, dalam hal pemohon adalah Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf j;
f. jenis Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu yang diajukan permohonan SKTD;
g. periode yang diajukan permohonan SKTD; dan
h. identitas pengurus yang mengajukan permohonan SKTD.
(4) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal Pajak:
a. menerbitkan SKTD, dalam hal Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), dan Pasal 9 ayat (3); atau
b. tidak memproses permohonan, dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), dan/atau Pasal 9 ayat (3),
secara otomatis melalui laman milik Direktorat Jenderal Pajak, segera setelah permohonan disampaikan.
(5) Terhadap SKTD yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, Wajib Pajak harus menyampaikan dokumen pendukung secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat terdaftar dengan menunjukkan asli dokumen, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal penerbitan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a.
(6) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berupa:
a. fotokopi surat perizinan berusaha yaitu izin usaha angkutan laut, izin usaha perikanan, izin penyelenggaraan pelabuhan, izin usaha angkutan sungai dan danau, atau angkutan penyeberangan, dalam hal impor dilakukan dan/atau penyerahan diterima oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h;
b. fotokopi surat izin usaha atau kegiatan angkutan udara, dalam hal impor dilakukan dan/atau penyerahan diterima oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf i;
c. fotokopi surat izin penyelenggaraan sarana dan/atau prasarana perkeretaapian umum, dalam hal impor dilakukan dan/atau penyerahan diterima oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf k dan huruf 1;
d. fotokopi dokumen perjanjian atau kontrak pemberian jasa perawatan dan perbaikan pesawat udara, dalam hal impor dilakukan dan/atau penyerahan diterima oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf j; dan
e. surat kuasa khusus, dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa untuk mengajukan permohonan SKTD.
(7) Dalam hal laman Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia atau tidak dapat diakses, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak dengan melampirkan RKIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(8) Permohonan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dianggap sah apabila ditandatangani oleh pengurus atau kuasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(9) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar:
a. menerbitkan SKTD, dalam hal Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), Pasal 9 ayat (3), dan Pasal 9 ayat (8); atau
b. menerbitkan surat penolakan, dalam hal permohonan Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), Pasal 9 ayat (3), dan/atau Pasal 9 ayat (8),
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan SKTD diterima lengkap.
(10) Dalam hal permohonan SKTD diajukan atas impor dan/atau perolehan alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a dan huruf b, SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan ayat (9) huruf a diterbitkan dengan dilampiri RKIP atas seluruh atau sebagian alat angkutan tertentu yang terdapat dalam RKIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diberikan persetujuan untuk diberikan fasilitas tidak dipungut PPN.
(11) Dalam hal terdapat penerimaan pembayaran yang terjadi sebelum penerbitan SKTD atas penyerahan dan/atau pemanfaatan, SKTD diterbitkan atas bagian PPN yang belum dipungut.
(12) Wajib Pajak harus bertanggung jawab terhadap kebenaran informasi yang diisi atau disampaikan dalam permohonan penerbitan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (7).
Pasal 10
(1) Wajib Pajak dapat menyampaikan dokumen pendukung melebihi jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) dan Pasal 9 ayat (5), dalam hal terjadi keadaan kahar antara lain peperangan, kerusuhan, revolusi, bencana alam, pemogokan, kebakaran, dan bencana lainnya yang harus dinyatakan oleh pejabat atau instansi yang berwenang.
(2) Kewajiban penyampaian dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan paling lambat 1 (satu) bulan setelah berakhirnya penetapan keadaan kahar atau penetapan keadaan tanggap darurat.
Pasal 11
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan perubahan RKIP yang menjadi lampiran SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (10), kepada Direktur Jenderal Pajak melalui saluran elektronik pada laman Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan perubahan RKIP, dalam hal terdapat:
a. perubahan, penambahan, atau pengurangan jenis alat angkutan tertentu;
b. penambahan atau pengurangan jumlah alat angkutan tertentu;
c. perubahan, penambahan, atau pengurangan pelabuhan, dalam hal impor; dan/atau
d. perubahan, penambahan, atau pengurangan Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan alat angkutan tertentu, dalam hal penyerahan.
(3) Berdasarkan permohonan perubahan RKIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak:
a. menerbitkan RKIP perubahan, dalam hal permohonan memenuhi seluruh atau sebagian ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3); atau
b. tidak memproses permohonan, dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3),
secara otomatis melalui laman milik Direktorat Jenderal Pajak, segera setelah permohonan disampaikan.
(4) Dalam hal laman Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia atau tidak dapat diakses, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan perubahan RKIP secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
(5) Berdasarkan, permohonan perubahan RKIP sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian dan memberikan keputusan berupa penerbitan:
a. RKIP perubahan, dalam hal permohonan memenuhi seluruh atau sebagian ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3); atau
b. surat penolakan dengan menyebutkan alasan penolakan, dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3),
paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima lengkap.
(6) RKIP perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan ayat (5) huruf a harus dimiliki sebelum pengajuan pemberitahuan pabean impor dan/atau menerima penyerahan.
(7) RKIP perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan ayat (5) huruf a:
a. merupakan pengganti atas RKIP sebelumnya dan menjadi lampiran dari SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (10); dan
b. memuat daftar seluruh alat angkutan tertentu yang disetujui untuk diberikan fasilitas tidak dipungut PPN.
(8) Penerbitan RKIP perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat dilakukan tanpa mengubah SKTD yang masih berlaku.
Pasal 12
(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) yang telah diterbitkan SKTD yang dilampiri RKIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (10), harus menyampaikan Laporan Realisasi Impor dan/atau Perolehan secara elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Dalam hal laman Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia atau tidak dapat diakses, Laporan Realisasi Impor dan/atau Perolehan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(3) Laporan Realisasi Impor dan/atau Perolehan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat untuk periode sesuai dengan masa berlakunya SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), dan disampaikan paling lambat akhir bulan Januari tahun takwim berikutnya.
(4) Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak melakukan impor dan/atau perolehan alat angkutan tertentu yang tidak dipungut PPN, Laporan Realisasi Impor dan/atau Perolehan tetap harus disampaikan.
Pasal 13
(1) Dalami hal terdapat kesalahan penerbitan SKTD, Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKTD Pengganti.
(2) Penerbitan SKTD Pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
(3) Kesalahan penerbitan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan, pada SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a dan Pasal 8 ayat (8) huruf a; dan
b. kesalahan tulis pada SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) huruf a dan Pasal 9 ayat (9) huruf a.
(4) Permohonan penggantian SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan langsung kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar secara tertulis, dengan disertai alasan penggantian dan harus dilampiri SKTD yang telah diterbitkan.
(5) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian dan memberikan keputusan berupa penerbitan:
a. SKTD Pengganti, dalam hal permohonan disetujui; atau
b. surat penolakan dengan menyebutkan alasan, dalam hal permohonan tidak disetujui,
paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima lengkap.
(6) SKTD Pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak tanggal mulai berlakunya SKTD yang dilakukan penggantian.
(7) Atas penerbitan SKTD Pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak wajib membayar PPN terutang yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal terdapat kekeliruan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan pada saat penerbitan SKTD.
(8) PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terutang pada saat dilakukannya impor atau saat terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(9) PPN terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disetorkan ke Kas Negara dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak berupa Bukti Penerimaan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(10) PPN yang sudah dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan, pada Masa Pajak dilakukannya impor atau penyerahan.
Pasal 14
(1) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan atau menyampaikan namun tidak lengkap dokumen pendukung permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) dan Pasal 9 ayat (5), Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak membatalkan pemberian fasilitas tidak dipungut PPN dengan menerbitkan surat keterangan pembatalan SKTD.
(2) Dalam hal diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak tidak berhak memperoleh fasilitas tidak dipungut PPN yang terdapat dalam SKTD, Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak membatalkan pemberian fasilitas tidak dipungut PPN dengan menerbitkan surat keterangan pembatalan SKTD.
(3) Atas pembatalan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Wajib Pajak wajib membayar PPN terutang.
(4) PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terutang pada saat dilakukannya impor atau saat terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) PPN terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetorkan ke Kas Negara dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak berupa Bukti Penerimaan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) PPN yang sudah dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan, pada Masa Pajak dilakukannya impor atau penyerahan.
Pasal 15
(1) PPN terutang atas impor dan/atau perolehan alat angkutan tertentu yang telah mendapat fasilitas tidak dipungut PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g, dan Pasal 3 huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f wajib dibayar, apabila dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak saat impor dan/atau perolehan alat angkutan tertentu tersebut:
a. digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula; atau
b. dipindahtangankan kepada pihak lain, baik sebagian atau seluruhnya.
(2) Dikecualikan dari kewajiban membayar kembali PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dalam hal:
a. alat angkutan tertentu tersebut dipindahtangankan dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau antar cabang; atau
b. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h melakukan, pemindahtanganan kapal angkutan laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan, kapal penangkap ikan, kapal pandu, kapal tunda, dan/atau kapal tongkang untuk digantikan dengan kapal dalam jenis yang sama dengan ukuran atau kapasitas yang lebih besar, yang harus dinyatakan oleh pejabat atau instansi yang berwenang.
(3) PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang pada saat alat angkutan tertentu digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan kepada pihak lain baik sebagian atau seluruhnya.
(4) Pembayaran PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh:
a. Wajib Pajak yang melakukan impor alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g; atau
b. Wajib Pajak yang menerima penyerahan alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f.
(5) Pembayaran PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak alat angkutan tertentu digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan kepada pihak lain baik sebagian atau seluruhnya.
(6) PPN terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan ke Kas Negara dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak berupa Bukti Penerimaan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) PPN yang dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (6), tidak dapat dikreditkan.
(8) Kewajiban pembayaran Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberlakukan dalam hal pemindah tangan an dilakukan dalam keadaan kahar yang dinyatakan oleh instansi yang berwenang.
Pasal 16
(1) Wajib Pajak wajib membayar PPN terutang yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal:
a. Wajib Pajak melakukan impor alat angkutan tertentu, menerima penyerahan alat angkutan tertentu, melakukan pemanfaatan Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu dan/atau menerima penyerahan Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu yang menggunakan fasilitas tidak dipungut PPN sebelum memiliki SKTD;
b. Wajib Pajak melakukan impor atau menerima penyerahan alat angkutan tertentu yang menggunakan fasilitas tidak dipungut PPN, melebihi jumlah alat angkutan tertentu yang disetujui dalam SKTD untuk setiap impor atau penyerahan atau jumlah yang disetujui dalam RKIP atau RKIP perubahan; atau
c. Wajib Pajak melakukan impor atau menerima penyerahan barang dengan menggunakan fasilitas tidak dipungut PPN, yang tidak termasuk dalam jenis alat angkutan tertentu yang tidak dipungut PPN atas impor atau perolehannya.
(2) PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang pada saat dilakukannya impor atau saat terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) PPN terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c disetorkan ke Kas Negara dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak berupa Bukti Penerimaan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) PPN yang sudah dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan, pada Masa Pajak dilakukannya impor atau penyerahan.
Pasal 17
Kepala Kantor Pelayanan Pajak, menerbitkan:
a. Surat Tagihan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam hal pembayaran dilakukan setelah saat terutang atau jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (8), Pasal 14 ayat (4), Pasal 15 ayat (5), dan Pasal 16 ayat (2); dan/atau
b. surat ketetapan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam hal kewajiban pembayaran PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (7), Pasal 14 ayat (3), Pasal 15 ayat (1), dan Pasal 16 ayat (1) tidak dipenuhi.
Pasal 18
(1) Wajib Pajak yang melakukan impor alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, harus mencantumkan informasi nomor SKTD yang menjadi dasar pemberian fasilitas tidak dipungut PPN pada dokumen pemberitahuan pabean di bidang impor.
(2) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan:
a. penyerahan alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; dan/atau
b. penyerahan Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
wajib membuat Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mencantumkan informasi nomor SKTD yang menjadi dasar pemberian fasilitas tidak dipungut PPN dan diberikan keterangan "PPN TIDAK DIPUNGUT SESUAI DENGAN PP NOMOR 50 TAHUN 2019”.
(4) Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memastikan bahwa alat angkutan tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu yang diserahkan terdapat dalam SKTD yang dimiliki oleh pihak yang menerima penyerahan.
(5) Pengusaha yang telah mendapatkan SKTD dan melakukan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, tidak wajib memungut dan menyetor PPN terutang atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut.
Pasal 19
(1) Alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a sampai dengan huruf f, serta Pasal 3 huruf a sampai dengan huruf e, yaitu sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) Dokumen berupa contoh format:
a. permohonan SKTD untuk setiap impor atau penyerahan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6), tercantum dalam Lampiran huruf B,
b. permohonan SKTD, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7), tercantum dalam Lampiran huruf C,
c. RKIP yang dilampirkan pada permohonan SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), tercantum dalam Lampiran huruf D,
d. SKTD yang berlaku untuk setiap impor atau penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a dan Pasal 8 ayat (8) huruf a, serta tata cara penatausahaan SKTD untuk setiap impor atau penyerahan, tercantum dalam Lampiran huruf E,
e. SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) huruf a dan Pasal 9 ayat (9) huruf a, serta tata cara penatausahaan SKTD, tercantum dalam Lampiran huruf F,
f. RKIP yang menjadi lampiran SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (10), tercantum dalam Lampiran huruf G,
g. SKTD Pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf a, tercantum dalam Lampiran huruf H,
h. surat penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (8) huruf b, Pasal 9 ayat (9) huruf b, Pasal 11 ayat (5) huruf b, dan Pasal 13 ayat (5) huruf b, tercantum dalam Lampiran huruf I,
i. RKIP perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf a dan Pasal 11 ayat (5) huruf a, tercantum dalam Lampiran huruf J,
j. Laporan Realisasi Impor dan/atau Perolehan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), tercantum dalam Lampiran huruf K,
k. Surat Pembatalan SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), tercantum dalam Lampiran huruf L,
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) Tata cara pengisian Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (9), Pasal 14 ayat (5), Pasal 15 ayat (6), dan Pasal 16 ayat (3), tercantum dalam Lampiran huruf M yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 20
Permohonan SKTD yang telah diterima oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, namun belum diselesaikan sampai dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, diproses berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2015.
Pasal 21
(1) SKTD yang telah diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2015, tetap dapat digunakan sampai dengan berakhirnya masa berlaku SKTD tersebut.
(2) Terhadap SKTD yang telah diterbitkan dan berlaku berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2015, ketentuan terkait penggantian atau pembatalan SKTD mengikuti ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
Pasal 22
(1) Wajib Pajak yang sebelumnya telah memiliki SKTD yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2020 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2015, dan mengajukan permohonan perubahan RKIP sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, penyelesaian permohonannya dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 193/PMK.03/2015.
(2) Wajib Pajak yang sebelumnya telah memiliki SKTD yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2020 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2015, dan mengajukan permohonan perubahan RKIP setelah berlakunya Peraturan Menteri ini, pengajuan dan penyelesaian permohonan perubahan RKIP dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri ini.
(3) Wajib Pajak yang telah memiliki SKTD yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2020 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2015, menyampaikan laporan RKIP sesuai dengan Peraturan Menteri ini.
Pasal 23
Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional yang telah memiliki SKTD yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2020 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2015, dianggap sudah mengajukan permohonan SKTD atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu dan diberikan fasilitas tidak dipungut PPN atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean terkait alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, sampai dengan tanggal 31 Desember 2020.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pembayaran Kembali Pajak Pertambahan Nilai yang Seharusnya Tidak Mendapat Fasilitas Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai atas Impor dan/atau Penyerahan Alat Angkutan Tertentu yang Telah Mendapat Fasilitas Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai yang Digunakan Tidak Sesuai dengan Tujuan Semula atau Dipindahtangankan kepada Pihak Lain Baik Sebagian atau Seluruhnya serta Pengenaan Sanksi atas Keterlambatan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1537); dan
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai atas Impor dan/atau Penyerahan Alat Angkutan Tertentu dan Penyerahan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1538),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 25
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 April 2020
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 24 April 2020
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 407
Lampiran PMK-41/PMK.03/2020 Tanggal 23 Apr 2020 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Impor Dan Penyerahan Alat Angkutan Tertentu Serta Penyerahan Dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu Yang Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai
Status PMK-41/PMK.03/2020 Tanggal 23 Apr 2020 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Impor Dan Penyerahan Alat Angkutan Tertentu Serta Penyerahan Dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu Yang Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagai berikut :
1. PMK-41/PMK.03/2020 ditetapkan pada tanggal 23 April 2020 dan mulai berlaku sejak tanggal 24 April 2020.
2. PMK-41/PMK.03/2020 mencabut dan mengganti :
a. PMK-192/PMK.03/2015 Tanggal 25 Oktober 2015 Tentang Tata Cara Pembayaran Kembali Pajak Pertambahan Nilai yang Seharusnya Tidak Mendapat Fasilitas Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai atas Impor dan/atau Penyerahan Alat Angkutan Tertentu yang Telah Mendapat Fasilitas Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai yang Digunakan Tidak Sesuai dengan Tujuan Semula atau Dipindahtangankan kepada Pihak Lain Baik Sebagian atau Seluruhnya serta Pengenaan Sanksi atas Keterlambatan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai
b. PMK-193/PMK.03/2015 Tanggal 20 Oktober 2015 Tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai atas Impor dan/atau Penyerahan Alat Angkutan Tertentu dan Penyerahan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu.
Baca Juga :
Peraturan Pajak Tahun 2020
Peraturan Pajak Tentang Fasilitas dan Insentif PPN dan PPnBM
Status PMK-41/PMK.03/2020 Tanggal 23 Apr 2020 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Impor Dan Penyerahan Alat Angkutan Tertentu Serta Penyerahan Dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu Yang Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagai berikut :
1. PMK-41/PMK.03/2020 ditetapkan pada tanggal 23 April 2020 dan mulai berlaku sejak tanggal 24 April 2020.
2. PMK-41/PMK.03/2020 mencabut dan mengganti :
a. PMK-192/PMK.03/2015 Tanggal 25 Oktober 2015 Tentang Tata Cara Pembayaran Kembali Pajak Pertambahan Nilai yang Seharusnya Tidak Mendapat Fasilitas Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai atas Impor dan/atau Penyerahan Alat Angkutan Tertentu yang Telah Mendapat Fasilitas Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai yang Digunakan Tidak Sesuai dengan Tujuan Semula atau Dipindahtangankan kepada Pihak Lain Baik Sebagian atau Seluruhnya serta Pengenaan Sanksi atas Keterlambatan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai
b. PMK-193/PMK.03/2015 Tanggal 20 Oktober 2015 Tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai atas Impor dan/atau Penyerahan Alat Angkutan Tertentu dan Penyerahan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu.
Baca Juga :
Peraturan Pajak Tahun 2020
Peraturan Pajak Tentang Fasilitas dan Insentif PPN dan PPnBM