Pajak Untuk Bendahara Bos Sekolah Negeri
Bendahara BOS (Bantuan Operasional Sekolah)
Bendahara BOS (Bantuan Operasional Sekolah) adalah bendahara yang ditunjuk oleh pemerintah yang berada di lingkungan Sekolah dan memiliki kewajiban untuk memungut dan memotong pajak, menyetor dan melaporkan atas belanja barang modal, belanja pegawai dan belanja lainnya yang dananya bersumber dari dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah).
Bendahara BOS (Bantuan Operasional Sekolah) mempunyai kewajiban perpajakan yang agak berbeda daripada Bendahara Pemerintah pada umumnya.
Bendahara BOS bisa juga merangkap menjadi bendahara pengeluaran dalam suatu sekolah.
Mulai 1 April 2020
Mulai 1 April 2020
Kewajiban perpajakan untuk BOS (Bantuan Operasional Sekolah) digantikan oleh Instansi Pemerintah, sehingga NPWP BOS (Bantuan Operasional Sekolah) harus dicabut dan diganti dengan NPWP Instansi Pemerintah.
Kewajiban Perpajakan bagi Bendahara BOS atau Instansi Pemerintah
Kewajiban Bendahara BOS atau Instansi Pemerintah dalam bidang perpajakan adalah sebagai berikut :
1. Kewajiban NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)
Bendahara BOS atau Instansi Pemerintah wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.
2. Kewajiban NPPKP (Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak)
Bendahara BOS atau Instansi Pemerintah yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kecuali pengusaha kecil sesuai ketentuan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai batasan pengusaha kecil, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Jadi kalau Bendahara BOS atau Instansi Pemerintah melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dalam satu tahun pajak (Januari sd Desember) jumlahnya melebihi 4,8 M (empat milyar delapan ratus juta rupiah) Wajib mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
3. Kewajiban PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan atau PPnBM (Pajak Penjualan Atas Barang Mewah)
Bendahara BOS atau Instansi Pemerintah mempunyai kewajiban :
a. Wajib melakukan pemungutan PPN atas Belanja Barang dan atau Jasa (nilai pengadaan lebih dari Rp.2.000.000,- tidak termasuk PPN) dengan tarif 11% dari DPP (dasar pengenaan pajak).
b. Wajib melakukan penyetoran PPN paling lambat tanggal 07 bulan berikut.
c. Wajib melaporkan SPT Masa PPN 1111 PUT paling lambat tanggal 14 bulan berikut.
d. Kode jenis setoran untuk pembayaran PPN (MAP) 411211-910 (sumber dana APBN) atau 411211-920 (sumber dana APBD), atau 411211-930 (sumber dana APBDes).
e. Untuk keawajiban SPT Masa PPN, Tetap dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak dengan SPT Masa 1111 PUT meskipun tidak ada transaksi.
f. Pembayaran Setoran Pajak untuk PPN melalui e-billing dilakukan atas nama Rekanan, apabila rekanan tidak memiliki NPWP, maka NPWP diisi 00.000.000.0-kode kantor pelayanan pajak dimana Pengusaha Kena Pajak Terdaftar.
Contoh Kasus :
NPWP : 00.000.000.0-(kode KPP).000 (KPP Pratama Purwokerto :
00.000.000.0-521.000)
4. Kewajiban PPh Pasal 4 ayat (2)
a. Bendahara BOS atau Instansi Pemerintah wajib melakukan Pemotongan PPh Pasal 4 (2)
atas belanja jasa obyek PPh Pasal 4 (2) (dengan tarif yang telah ditentukan dari obyek PPh Pasal 4
(2) atau DPP PPN),
b. Melakukan penyetoran paling lambat tanggal 10 bulan berikut dan
melaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikut melalui SPT Masa PPh Pasal 4 ayat 2.
Dengan kode jenis setoran
(MAP) 411128 (untuk Jasa Konstruksi adalah 411128-409).
c. Untuk kewajiban Pasal 4 (2) dilakukan pelaporan pajak dengan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat 2 apabila ada transaksi, apabila tidak ada tidak perlu lapor.
5. Kewajiban PPh Pasal 21
a. Bendahara BOS atau Instansi Pemerintah wajib melakukan Pemotongan melakukan Pemotongan PPh Pasal 21
atas belanja pegawai.
b. Melakukan penyetoran PPh Pasal 21 paling lambat tanggal 10 bulan
berikut.
c. Melaporkan Pemotongan PPh Pasal 21 paling lambat tanggal 20 bulan berikut dengan SPT Masa PPh Pasal 21/26.
d. Tarif PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut :
1). Untuk PNS Golongan II ke bawah tidak dipotong PPh Pasal
21.
2). Untuk PNS Golongan III dipotong PPh Pasal 21 Final
sebesar 5 % dari nilai bruto.
3). Untuk PNS Golongan IV dipotong PPh Pasal 21 Final
sebesar 15 % dari nilai bruto.
4). Untuk Pegawai tidak tetap non PNS (wiyata bakti atau
pegawai honorer) dipotong PPh Pasal 21 sebesar 5 % dari nilai bruto jika
nilainya diatas PTKP (per bulan).
5). Untuk bukan pegawai (hanya menerima penghasilan sekali)
non PNS dipotong PPh Pasal 21 sebesar 5 % x 50 % x nilai bruto.
6). Untuk bukan pegawai (yang menerima penghasilan lebih
dari sekali) non PNS dipotong PPh Pasal 21 sebesar 5 % x 50 % x ( dari
nilai bruto – PTKP) dengan syarat yang bersangkutan telah mempunyai
Nomor Pokok Wajib Pajak dan hanya
memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya
apabila tidak memenuhi syarat maka dipotong PPh Pasal 21 sebesar 5 % x 50
% dari nilai bruto (penghasilan kena pajak kumulatif).
7). Tarif PPh Pasal 21 non final dikenakan sebesar 5 % + (20 % x 5 %) atau 6 % kepada penerima penghasilan yang tidak mempunyai NPWP.
e. Kode Jenis Setoran Pajak PPh Pasal 21.
1. Kode jenis setoran PPh Pasal 21 final : 411121-402.
2. Kode jenis setoran PPh Pasal 21 non final : 411121-100
f. Untuk kewajiban PPh Pasal 21 apabila tidak pembayaran PPh Pasal 21 tidak perlu lapor kecuali Masa Pajak Desember tetap lapor SPT Masa PPh Pasal 21.
6. Kewajiban PPh Pasal 22
Untuk belanja barang yang dananya berasal dari BOS maka PPh Pasal 22 tidak dilakukan pemungutan dengan nilai transaksi berapapun.
7. Kewajiban PPh Pasal 23
a. Bendahara BOS atau Instansi Pemerintah wajib melakukan melakukan Pemotongan PPh Pasal 23 atas belanja jasa dengan tarif 2 % dari obyek PPh Pasal 23/DPP PPN, apabila rekanan tidak mempunyai NPWP tarif pajak menjadi 2% + 2 % (atau 4 %) dari obyek PPh Pasal 23/DPP PPN,
b. Melakukan penyetoran PPh Pasal 23 paling lambat tanggal 10 bulan berikut.
c. Melaporkan Pemotongan PPh Pasal 23 paling lambat tanggal 20 bulan berikut dengan SPT Masa PPh Pasal 23/26.
d. Dengan kode jenis setoran pajak (MAP) 411124-100.
e. Untuk kewajiban PPh Pasal 23 dilakukan pelaporan pajak dengan SPT Masa PPh Pasal 23/26 apabila ada transaksi, apabila tidak ada tidak perlu lapor.
8. Sanksi administrasi
Sanksi
administrasi bagi bendaharawan yang tidak melaksanakan kewajiban penyetoran dan
pelaporan pajak adalah akan diterbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. Sanksi tidak setor PPN adalah sebesar bunga sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Tentang Tarif Bunga Sebagai Dasar Penghitungan Sanksi Administrasi Berupa Bunga x bulan
terlambat x PPN yang seharusnya disetor.
b. Sanksi tidak lapor SPT Masa PPN adalah sebesar
Rp.500.000,- untuk setiap masa pajak.
c. Sanksi tidak setor PPh Pasal 21 adalah sebesar bunga sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Tentang Tarif Bunga Sebagai Dasar Penghitungan Sanksi Administrasi Berupa Bunga x
bulan terlambat x PPh Pasal 21 yang seharusnya disetor.
d. Sanksi tidak lapor SPT Masa PPh Pasal 21 adalah sebesar
Rp.100.000,- untuk setiap masa pajak.
e. Sanksi tidak setor PPh Pasal 23 adalah sebesar bunga sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Tentang Tarif Bunga Sebagai Dasar Penghitungan Sanksi Administrasi Berupa Bunga x
bulan terlambat x PPh Pasal 23 yang seharusnya disetor.
f. Sanksi tidak lapor SPT Masa PPh Pasal 23 adalah sebesar
Rp.100.000,- untuk setiap masa pajak.
h. Sanksi tidak lapor SPT Masa PPh
Pasal 4 (2) adalah sebesar Rp.100.000,- untuk setiap masa pajak.
Baca Juga :